Pekerjaan Kedua

1121 Kata
"Selamat pagi, Tuan," sapa Leo yang tampak sangat lelah pagi ini. Wajar saja, ia baru kembali dari Paris, seperti baru keluar dari kamar mandi. "Maaf, saya baru tiba," sambungnya dengan kepala tertunduk. "Baru kali ini aku merasa 18 jam adalah waktu yang lama," jawab Felix yang sama kusamnya dengan Leo. "Lalu, bagaimana sekarang?" tanyanya tanpa perduli, apakah asistennya tersebut sudah istirahat atau belum. "Saya akan segera mencarinya, Tuan." Leo tampak miliki jalan untuk urusan kali ini. "Lakukan yang terbaik!" Felix terlihat tak berdaya, tidak seperti biasanya. "Siap, Tuan." Leo membalik tubuhnya, lalu memutuskan untuk kembali menatap Felix dan berbicara kepadanya. "Tuan, asal Anda tahu saja, wanita itu memang harus pergi di jam yang sama. Jadi, dia tidak berniat untuk meninggalkan Anda." "Maksud kamu?" "Anda memang hanya membeli diri dan waktunya selama 2x24 jam, tidak lebih. Permisi, Tuan." Felix yang tidak mengetahui akan hal tersebut, langsung menyandarkan diri dan memijat dahinya. Ia tidak menyangkal bahwa semua berlalu dengan begitu cepatnya. Seandainya Felix paham akan hal ini, pasti ia akan menambah jumlah waktu, meskipun harus membayar mahal. Sayangnya, saat itu ia juga tidak bertanya kepala Luna ataupun Leo. Dengan langkah sempoyongan, Leo menaruh harapan pada jalanan dan gedung putih itu. Ia berharap, dapat menemukan Luna yang sempat ia lihat beberapa hari yang lalu, di atas panggung, ketika memperlihatkan tarian erotis miliknya nan menggoda. Setibanya di gedung tersebut, Leo tidak menemukan apa pun. Sama sekali tidak ada jejak tentang Luna, bahkan stiker yang saat itu sempat di pajang pun, kini telah raib, hilang entah kemana. Merasa tidak punya pilihan, Leo memutuskan untuk menyambangi setiap rumah singgah untuk mencari dan membawa Luna ke hadapan tuan kesayangannya. Perjalanan panjang pun dimulai. Leo berjanji di dalam hati, bahwa dia tidak akan pulang, sebelum berhasil menemukan Luna dan membawanya kepada Felix Vincent. Sementara di sisi Luna, rencana mami untuk menjualnya kembali, lusa, dibatalkan. Karena rasa marah yang besar, wanita kejam itu memutuskan untuk memberikan tubuh indah milik Luna kepada seorang laki-laki yang mampu membayar mahal untuk spesial servis, hanya satu malam. Luna pun tidak dapat menolak dan dengan terpaksa, mempersiapkan diri sebaik mungkin. Hatinya terasa sakit, bahkan ketika menelan air liurnya sendiri pun, ia merasa seperti memasukkan duri ke dalam tenggorokannya. Malam harinya, di depan meja rias, "Kamar 104!" perintah mami. "Jika terjadi komplain, maka saya akan membuat kamu menderita seumur hidup!" ancam mami sambil menundukkan tubuh dan menatap tajam. Tanpa menjawab, Luna berdiri dan langsung berjalan dengan tatapan kosong. Di hotel yang berbeda, ia akan melakukan apa saja bersama pria lain. Bagi Luna, jalan satu-satunya adalah dengan membayangkan bahwa Felix lah yang berada di sana. Setibanya di hotel yang sudah di persiapkan untuk permainan panas, Luna langsung menuju ke kamar laki-laki yang telah membayar jasanya. Dia adalah laki-laki pertama yang mengacungkan tangan di malam pentas tari, empat hari yang lalu. Pria dengan lingkar perut besar itu, ternyata begitu penasaran dengan kemolekan Luna. Luna berdiri di depan pintu kamar 104, lalu ia pun mengetuk dengan gerakan jari tangan yang sudah ditekuk manja. Belum juga mendapatkan jawaban setelah lima menit, ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar hotel tersebut. Tak lama, terdengar suara teriakan penuh ketakutan, "Tidaaak!" pekik Luna beberapa saat setelah melenggang ke dalam kamar VIP tersebut. "Tolooong!" pinta Luna sambil memegang dadanya. Ternyata, suara teriakan itu, di dengar oleh bodyguard yang selalu berada di belakangnya untuk mengawasi. Dengan langkah cepat, setengah berlari, laki-laki pemilik tato ular tersebut menyambangi Luna. "Ada apa?" "Di-dia!" tunjuk Luna pada laki-laki yang sudah berbusa putih mulutnya. Tubuh gempal yang berada di atas kursi sofa itu terlihat lunglai dan tidak berdaya. "Ayo kita keluar dari sini!" saran laki-laki yang gemar mengenakan rompi kulit berwarna hitam itu. Tubuh Luna bergetar hebat, ia terlihat begitu ketakutan, hingga tidak dapat menggerakkan tubuhnya. Dengan cepat, bodyguard tersebut memapah Luna dan membawanya keluar dari kamar hotel. "Tunggulah di sini!" pinta laki-laki tersebut sambil meletakkan pinggul bulat Luna di kursi tunggu. "Jangan kemana-mana!" Luna mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. Tragis, laki-laki itu tampaknya menelan banyak obat perangsangg dosis tinggi, demi memenuhi hasratnya terhadap Luna. 'Tak lama, pelayan dan pihak hotel lainnya pun datang untuk melihat keadaan laki-laki tersebut. Merasa khawatir salah dalam melangkah, pihak hotel langsung menelepon polisi untuk mengurus jasad buaya darat itu. "Sebaiknya kami permisi," ujar bodyguard tampak tenang di hadapan Luna. "Jika membutuhkan apa-apa, silakan hubungi mami!" sambungnya kepada karyawan hotel. "Baik, tapi kamu yakin bahwa perempuan itu bukan pelakunya?" tanya karyawan hotel yang terlihat memiliki wewenang tinggi di sana. Bodyguard tersebut menepuk, lalu memegang pundak laki-laki berjas biru dongker tersebut, "Dengar! Dia memang pelacuur, tapi bukan pembunuh," ujarnya sambil menatap mata karyawan hotel tersebut. "Silakan cek CCTV-nya!" "Oke." "Selamat malam." "Selamat malam." Karyawan hotel terus saja memperhatikan Luna yang sudah lemas dan sulit untuk berdiri. "Ayo, Luna! Kita kembali, agar kamu bisa beristirahat." "Makasih, Mas," sahut Luna dengan suara yang terdengar bergetar hebat. *** Setibanya di istana mami, Luna langsung di arahkan untuk ke kamar tidurnya. Lagi-lagi, sepanjang malam ia menangis hebat, seorang diri. "Bagaimana bisa semuanya terjadi? Ini akan mempersulit kita. Selain itu, Luna pasti trauma." "Laki-laki itu sepertinya mengkonsumsi obat dosis tinggi untuk mengimbangi fantasinya terhadap Luna. Kali ini, gadis muda itu benar-benar tidak bersalah dan tak ada hubungannya dengan pria itu, Bos." "Jangan membelanya!" "Maaf, tapi saya serius dan tidak berniat apa-apa. Kebetulan, di sana ada saya," timpal laki-laki tersebut tegas. "Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" "Kita hanya perlu menjawab pertanyaan yang diajukan polisi, Bos. Ini adalah pekerjaan kita. Kita membayar banyak hal, untuk semua ini." Mami terduduk, "Kamu benar, tapi tetap saja hati saya jadi tidak menentu." "Saran saya, sebaiknya Anda lebih memikirkan jiwa gadis itu!" "Apa? Tidak perduli!" Mami melipat tangan di depan dadaa sambil memeluk dirinya sendiri. "Siapa dia?" ocehnya terdengar kesal atas saran dari bodyguard Luna sebut. "Seperti yang Anda ketahui, Luna memiliki bakat dan juga pesona seorang bintang. Baru satu malam bekerja saja, ia sudah dapat menghasilkan uang miliaran rupiah untuk Anda, Bos. Coba bayangkan! Bagaimana jika ia tidak dapat lagi bekerja, hanya karena trauma? Anda adalah orang yang paling rugi, di sini." Mami tampak berpikir keras, ia pun mulai melunak dan mendengarkan saran laki-laki yang berada di hadapannya tersebut. "Lalu apa?" "Biarkan dia menikmati udara segar, demi menetralkan hatinya! Anda tidak perlu khawatir, Bos! Sebab, saya akan selalu memata-matai setiap gerak-gerik dan langkahnya," tutur laki-laki yang sulit untuk tersenyum itu. "Kamu terdengar peduli. Hah, jangan-jangan?" "Saya hanya merasa lebih enak menjadi penjaga Luna karena ia tidak suka kabur dari pantauan saya. Berbeda dengan perempuan lain yang suka menyelinap, menipu, dan melarikan diri. Luna, mempermudah pekerjaan saya. Bahkan, saya bisa menghisap rokok beberapa batang, sambil mengawasinya," jelas laki-laki tersebut dan tampak bisa dipahami oleh mami. "Begitu rupanya." "Iya, Bos." "Baiklah, saya mengerti dan tidak akan mencurigaimu lagi." "Permisi!" Kemudian laki-laki tersebut, meninggalkan mami bersama kegalauannya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN