"Aku bukan anti sosial, tetapi hanya lebih suka menikmati kesendirian. Sebab, di luar sana terlalu banyak kebencian. Sementara aku butuh kedamaian untuk terus bernyawa." Felix Vincent.
Seorang pria berusia 30 tahun, merupakan ahli waris tunggal kerajaan bisnis ekspor impor perhiasan dan berlian, tengah bosan dengan segudang aktivitasnya.
Sambil menghela napas hangat, ia menatap lurus ke depan. Tidak ada apa pun dan siapa pun di ujung tatapannya. Mata itu tampak kosong dalam jiwanya merasa kesepian.
Lelaki hebat itu tidak mempunyai waktu untuk bersenang-senang sejak remaja dan mamanya meninggal dunia. Sementara sang papa, hanya terus mengurus diri dan istri mudanya.
Felix Vincent. Lelaki berpostur tubuh tinggi besar dan memiliki rahang yang tegas ini, memang bergelimang harta. Sayangnya, ia tidak pernah merasa bahagia atas nama cinta.
Bagi Felix, para wanita yang datang silih berganti, hanya karena uang dan keperkasaannya saja. Tidak ada cinta, tidak ada kasih sayang, tidak ada perhatian, tidak ada pengorbanan. Yang ada hanya kepuasan dan kesenangan.
"Leo!" pekik Felix kepada asisten pribadi yang setia mengurus semua urusannya, termasuk soal hasrat.
"Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Leo dengan suara yang lembut dan kepala tertunduk.
Leo adalah satu-satunya orang kepercayaan Felix. Ia merupakan anak dari asisten almarhum nyonya Marseille yang sudah bekerja dan mengabdi sejak lama di keluarga Vincent.
Saat bersama dirinya, Felix merasa bahagia. Sebab, Leo begitu lugu dan konyol. Ditambah lagi sikapnya yang feminim, padahal ia memiliki bentuk tubuh yang gempal dan wajah menyeramkan.
"Saya butuh wanita, tapi tidak ingin yang biasa," jawab Felix lugas tanpa basa-basi.
"Hm." Leo mulai curiga karena merasa, kali ini akan menjadi sesuatu yang sulit baginya.
"Cantik, sintal, memiliki bentuk bokoong yang indah dan menggoda, putih, bersih, tinggi, wangi, dan ... ."
"Iya, Tuan?" tanya Leo menunggu kelanjutan kalimat yang Felix tahan, untuk menggoda dirinya.
"Masih perawan!" pinta Felix seraya melonggarkan dasi yang ia kenakan.
"A-apa, Tuan?"
"Ini tidak mudah bukan? Saya beri kamu waktu dua hari."
"Baik, Tuan muda." Leo menekuk wajahnya.
Ia memang mengenali banyak wanita bayaran maupun mucikaari. Namun yang seperti Felix minta saat ini, pastinya akan sulit sekali untuk dicari.
"Silahkan pergi! Saya ingin sendiri."
"Baik, Tuan."
'Aku harus mendapatkannya. Wanita dan olahraga adalah rekreasi terbaik untuk melemaskan otot-otot yang tegang dan kaku bagi tuan muda. Lagipula, ia sudah lama tidak bersenang-senang.' Kata Leo, tanpa suara.
Usai menyanggupi keinginan Felix, Leo langsung bergegas untuk menghubungi beberapa orang mucikari yang biasa ia datangi, untuk memenuhi hasrat tuannya.
Jawaban yang sama dari para mami membuat Leo tidak nyaman dan tak bisa beristirahat dengan tenang.
"Maaf, Sayang! Stok seperti itu Mami nggak punya. Lagian, zaman sekarang ini, sudah susah banget lho mendapatkannya."
"Oke, makasih," jawab Leo sembari menutup teleponnya. "Siaaal, sulit sekali mencarinya," kata Leo setelah menghubungi lima orang mucikari andalannya.
Leo merasa tertekan dan lelah. Ia memutuskan untuk merebahkan punggung di atas sofa, sambil menutup mata dengan tangan kanan yang ia angkat dan timpa sempurna di atas dahi.
***
Setelah dua hari berjuang tanpa hasil, Leo merasa gusar. Tapi saat ia melangkah ke sudut kota, dirinya melihat lembar pengumuman yang ditempel pada dinding berwarna putih.
"Ini, malam ini? Astaga, untung aku tidak terlambat," ucap Leo sambil berlari menuju tempat tiket pementasan tari terbuka.
"Ada apa, Bos?"
"Jangan bilang tiketnya habis! berapapun harganya, pasti aku bayar."
"Tiketnya habis, Bos. Lagipula, ini bukan pementasan tari biasa. Jadi, orang menengah ke bawah seperti kita, tidak akan sanggup," kata penjaga tiket karena melihat pakaian sederhana yang Leo kenakan sore ini.
"Aku nggak mau basa-basi," ucap Leo gemulai. "Kalau ada tiketnya saat ini. Berapapun harganya, pasti aku beli," kata Leo sekali lagi.
"Aku punya sih tiketnya, tapi pengen nonton juga. Soalnya penari malam ini, katanya sangat cantik dan masih rapet (perawan)."
Penjaga tiket menggosok tangannya karena merinding. Tampaknya, ia sudah membayangkan kemolekan penari perut yang akan tampil malam ini.
"Bagaimana kalau tiketnya aku beli 10 kali lipat?" tanya Leo dan mulai mengajak untuk bernegosiasi.
"Eeemmm ... ."
"10 juta, deal?"
"Oke, deal," jawab penjaga tiket dengan cepat.
"Ini duit kamu," ujar Leo sambil mengeluarkan uang ratusan ribu yang sudah terikat rapi dengan tulisan Rp. 10.000.000,-.
Seusai bernegosiasi dan mendapatkan tiketnya, Leo langsung pulang untuk menemui Felix.
'Jika dilihat dari poster dan ucapan penjaga tiket, bisa dipastikan gadis ini tidak akan mengecewakan.' Ucap Leo di dalam hati sambil berjalan cepat menuju mobil yang ia parkir di ujung pintu gedung.
Setibanya di kediaman Felix. "Tuan!" Leo menyapa dengan napas yang berantakan.
"Bagaimana?" tanya Felix kaku. "Waktumu hampir habis."
"Saya sudah mendapatkannya," sahut Leo dengan senyum sembari menyerahkan tiket yang baru saja ia perjuangkan.
"Apa ini?" tanya Felix, sembari mengerenyitkan kedua ujung alis mata dan melepaskan barbel dari kedua tangannya. Felix menghela napas panjang, "Leo, aku butuh perempuan! Bukan tiket konser."
"Sorry, Tuan Muda. Ini bukan tiket biasa, jadi di akhir pementasan nanti, akan ada tawar-menawar harga dan wanita muda ini sesuai dengan permintaan Anda," jelas Leo dengan kalimat yang tergesa-gesa.
"Kalau begitu, kamu saja yang urus semuanya! Aku tinggal terima bersih. Berapapun itu, asalkan menurutmu sesuai dengan keinginanku, ambil saja!"
"Baik, Tuan muda." Leo mengunci mulutnya rapat-rapat dan pergi meninggalkan Felix.
***
Sore berganti malam, Leo melangkahkan kaki kembali di gedung yang sudah terisi banyak wajah laki-laki haus sentuhan dan pelayanan maksimal.
Mereka semua rata-rata mengenakan jas elit dan keluar dari mobil yang terkesan mewah.
"Huh." Leo membuang napas dengan cepat, lalu mengambil bangku tengah yang masih kosong.
Pagelaran tari dalam show malam yang dilaksakan akhir minggu di Kota Bunga ini dimulai. Ini bukan tentang penampilan yang biasa.
Pada akhir acara, sang penari akan melayani kebutuhan jiwa seorang pria yang mampu memberikannya harga tertinggi di malam yang sama.
Tubuh molek dan indah terlihat sangat jelas, ketika penari memamerkan gerakan-gerakan nan indah dengan busana yang hanya sedikit menutupi bagian sensitif dari tubuhnya.
Saat ini, semua mata tertuju pada gadis yang tampak bercahaya di atas panggung. Mereka menganggap penampilannya, sebagai awal pemanasan yang manis, sebelum melakukan aksi tawar-menawar, untuk menikmati waktu satu malam bersama.
Tidak ada yang mengetahui secara persis identitas wanita yang diperebutkan dengan harga tertinggi saat ini
Yang mereka tahu, sang penari adalah refleksi terbaik dan menyenangkan, serta mampu melemaskan otot-otot lelah, setelah satu bulan bekerja keras.
Ketika musik dan penari usai memamerkan gerakannya yang gemulai, lincah, dan memesona, tawar menawar pun dilaksanakan.
"50 juta," ujar lelaki paruh baya dengan ukuran lingkar perutnya yang sangat besar.
"50 juta," ujar pembaca acara dengan suara yang mulai lantang.
"100 juta."
"Seratus juta, dari Tuan Agustinus Bastia," ucap pemandu acara malam yang terdengar mulai bersemangat.
"200 juta." Laki-laki tampan yang memiliki tubuh Atletis mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Dua ratus juta, dari Tuan Alfa Yuga."
"500 juta."
"Lima ratus juta dari Tuan Barel Farma. Beliau seorang pengusaha muda yang selalu berhasil mendapatkan wanitanya," ucap pembawa acara menyanjung tuan muda dengan alis mata tegas dan bibir tebal.
"Satu milyar," ucap Leo sambil berdiri dan mengatur napasnya yang sudah tersendat-sendat, akibat merasa gelisah.
Leo tampak stres dengan perkataannya sendiri. Sebab, uang sebanyak itu, bisa digunakan untuk membeli mobil ataupun rumah mewah.
"Wooow ... satu milyar." Pembawa acara berteriak penuh semangat. "Ada lagi?" tanyanya sambil menatap semua wajah yang sedang terdiam di bangku masing-masing.
Lalu suasana seru menjadi hening. "Satu milyar untuk sang penari malam ini, jatuh kepada Tuan?" Pemandu acara menghentikan ucapannya, "Maaf, nama Anda siapa?"
"Le-Leo. Aku, Leo."
"Satu milyar untuk sang penari malam ini jatuh kepada Tuan Leo."
Tepuk sorak sorai bergemuruh mengisi ruangan, namun sang penari tidak pernah tahu tentang siapa laki-laki yang memberikan bayaran tertinggi, sebelum tiba di kamar hotel berbintang lima yang telah dipersiapkan untuk permainan panas pertamanya.
Bersambung.
Novel yang satu ini, berbeda dengan cerita horor milikku ya. Bagi kalian yang belum cukup umur, please stop sampai di sini saja. Sedangkan buat kalian yang sudah siap mental, sebelum lanjut, tab love dulu dong, tinggal komentar, dan follow aku ya. Makasih