Kepala yang sangat berat akibat pusing yang menyerangnya tiba-tiba, membuat penglihatannya seketika menjadi buram.
Setelah melewati pingsan selama satu jam lebih, akhirnya Avelyn siuman. Wanita itu membuka matanya dengan sangat pelan, karena pusing yang dideranya belum juga sepenuhnya hilang.
Dia merasakan keadaan di sekitarnya sangatlah asing baginya. Suasana kamar yang begitu dominan dengan warna hitam yang bercorak silver. Dia pun melihat kearah bawah tubuhnya, dia sendiri takut jika telah terjadi sesuatu pada dirinya.
Ternyata semua pakaiannya masih utuh dan bahkan sepatunya masih terpasang lengkap pada kakinya. Dia merasa lega ketika melihat miliknya masih lengkap terbalut pakaiannya
Avelyn mengamati kamar tersebut dan dia merasakan ketenangan yang belum pernah dia alami sebelumnya, saat berada di dalam kamar tersebut.
Dia tersadar dalam kehanyutannya, ketika melihat sebuah bingkai yang di dalamnya terpampang jelas foto Theodor yang sangat tampan, di dalam foto tersebut Theodor mengenakan pakaian tuxedo berwarna biru langit dengan dasi kupu-kupunya yang berwarna hitam.
"Jangan-jangan saya tertidur di kamar Theo, astaga kalau ini sampai benaran pasti dia akan marah. Ya Tuhan apa yang harus saya lakukan?" batin Avelyn.
Dengan segera Avelyn bergegas dari tempat tidurnya, dia merapihkan kembali tempat tidurnya menjadi seperti semula, begitupun dengan penampilan pada tubuhnya yang berantakan. Setelah dirasa bersih dan rapih dia menarik napasnya dalam-dalam agar lebih tenang, jika saat nanti berhadapan dengan Theodor dia sendiri sudah sedikit siap.
Avelyn berjalan santai keluar dari kamar tersebut. Belum sampai dia menggapai knop pintu itu, tiba-tiba pintu tersebut terbuka lebar dengan menampilkan sosok Theodor yang hendak masuk ke dalam kamar itu.
Avelyn merasa kaget di tempatnya, dia tidak tau harus bagaimana.
Theodor masuk dan menelusuk gelagat Avelyn yang seperti ketakutan padanya. Theodor berjalan mendekati Avelyn hingga memotong jarak diantara keduanya.
Dengan refleks Avelyn mundur beberapa langkah kebelakang hingga terpojokan didaerah sudut pintu kamar.
Theodor mendekati wajah Avelyn yang ketakutan, nafas teratur Theodor di hadapannya terdengar sangatlah jelas, dengan refleks Avelyn langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Theodor menoyor kepala Avelyn kebelakang hingga membuat Avelyn tersentak dan membuang napas jengahnya dengan kasar.
"Kalau sudah bangun kenapa diam saja disini? Apakah kamu begitu nyaman di kamar saya ini, hingga sangat betah berlama-lama di sini! Hey ingat, ini bukanlah kamarmu!"
"Iya saya tau, memangnya siapa yang bilang ini kamar saya?!”
"Ya sudah cepat kamu keluar dan tunggu saya di ruang tengah!"
"Ishhh ... menyebalkan sekali bisanya hanya menyuruh dan menyuruh," gerutu Avelyn.
"Kenapa kamu masih diam saja di sini, cepat!"
Avelyn keluar dari kamar tersebut dengan hati yang masih terus menggerutuinya.
Di sebuah ruang tengah sudah ada Jeff dan Erland yang sedang duduk di kursi panjangnya. Avelyn menyapa keduanya dan langsung dibalas oleh mereka.
Avelyn duduk di kursi samping kiri Erland. Jeff dan Erland merasakan aura yang tidak enak dalam diri Avelyn.
"Avelyn, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Jeff.
" Ya, tentu saja. Memangnya saya kenapa?"
"Kamu lupa? Kamu tadi pingsan. Cepatlah minum ini, agar kamu terlihat sedikit segar." Erland menyodorkan air mineral kepada Avelyn.
Avelyn meminum minuman tersebut. "Terimakasih," ucap Avelyn.
"Avelyn bagaimana rasanya memegang jantung orang yang masih berlumuran darah?" tanya Jeff.
"Ishh ... kamu ini! Sudahlah Avelyn, cukup kamu hiraukan saja dia, abaikan saja ucapan Jeff. Dia hanya mengasal" kata Erland.
Avelyn mengingat kembali, dimana dia dibawa oleh Theodor ke dalam sebuah ruangan rahasia yang disana terdapat banyak organ-organ tubuh manusia yang berjejer di dalam tabung transparan yang di tempatkan pada sebuah rak yang berada disana.
Mengingat kejadian itu kembali membuat bulu roma Avelyn berdiri, dia merasakan sedikit ketakutan kembali.
Theodor datang menghampiri mereka dengan tampangnya yang seperti biasa, dingin dengan tatapannya yang menusuk.
Theodor duduk dihadapan mereka bertiga, dia menatap Avelyn yang belum sadar dengan kedatangannya.
"Saya tidak suka diacuhkan!" ucap Theodor, tapi Avelyn masih pada lamunannya.
Avelyn masih diam membisu memikirkan kejadian yang tadi dialaminya, hingga akhirnya dia tersentak oleh Jeff yang memanggil namanya dengan nyaring.
"Avelyn ... heyy Avelyn, sadarlah! Theodor sudah ada didepanmu," kata Jeff.
Avelyn mengerjap beberapa kali, dan membenarkan ucapan dari Jeff bahwa Theodor sudah berada dihadapannya dengan tatapannya yang sangat dingin dan tajam padanya.
"Saya juga tidak suka basa-basi jadi langsung saja. Erland bagaimana perusahaan Archen setelah kita tarik sahamnya?" tanya Theodor.
"Seperti yang sudah kita duga, setelah kita tarik investasi kita di perusahaannya dengan sedikit mempengaruhi para investor lainnya untuk ikut menarik kembali juga, akhirnya perusahaan itu mengalami penurunan yang sangat drastis," ungkap Erland.
"Di tambah lagi, akibat Alex yang mati dibunuh membuat kinerja pemimpin tersebut tidak profesional dan banyak mengalami kegagalan dalam setiap penanganan sahamnya. Hingga menyebabkan para investor lain ikut menarik kembali investasinya, dan saat ini juga para investor tersebut sudah tidak percaya lagi pada sistem kinerja perusahaan itu,” tambah Jeff.
Theodor menganggukan kepalanya, dia sangat bangga pada dirinya, satu per satu orang-orang yang sangat dia benci akhirnya musnah ditangannya.
"Bagus kerja yang baik, lalu bagaimana dengan seorang jaksa, apa kalian sudah mendapatkan informasinya?" ucap Theodor.
"Jaksa itu punya satu anak, anaknya baru saja kembali dari Amerika dan meneruskan sekolahnya di Sky High Scholl," jelas Jeff.
"Baik kalau begitu, Avelyn ..." Theodor memusatkan perhatian penuhnya kepada Avelyn. "... tugas kamu saat ini ialah menyamar menjadi murid disana!" tegas Theodor.
"Apa?" tanya Avelyn belum bisa menerimanya. "Tidak! Itu sangat tidak masuk akal. Kamu lupa? Umur saya sudah memasuki kepala tiga. Kamu gila! Mana mungkin wanita yang sudah berumur menjadi salah satu murid di sekolah menengah atas. Itu terdengar sangat aneh," bantah Avelyn.
"Lancang kamu! Dengan beraninya kamu membentak dan menolak saya!" Tatapan Theodor mengarah lurus tepat pada iris indah Avelyn.
"Bukan begitu Pak Theo yang terhormat, hanya kedengerannya sangat aneh kecuali, kalau Bapak menyuruh saya untuk menjadi guru disana, itu terdengar baru lebih masuk akal."
"Kamu tak berhak untuk membantah ini tugasmu dari seorang atasan. Paham kamu!"
"Theo, apa yang diucapkan Avelyn itu benar. Dia terlalu tua untuk menjadi seorang murid di sana," kata Erland.
"Heyy jaga ucapanmu, saya bukanlah tua, melainkan dewasa. Kamu tidak lihat wajah saya yang masih begitu kenyal dan mulus bahkan tidak ada keriput sama sekali diarea menapun. Umur boleh saja dewasa tapi penampilan saya masih layaknya seperti remaja pada umumnya," tandas Avelyn.
"Kalau memang terlihat seperti remaja, mengapa kamu menolak tawaran ini?" tanya Erland.
Avelyn bergeming di tempatnya, kalimat tanya yang dilontarkan oleh Erland memang benar adanya hingga dia sendiri tidak bisa menjawabnya lagi.
"Selama kamu menyamar sebagai murid di sana, maka saya sendirilah yang akan menjadi guru untuk memantau secara langsung perkembanganmu selama di sana," kata Theodor.
"Apa?" Avelyn terperanjat kembali di tempatnya.
"Tumben sekali seorang Theodor bersikap ini," sindir Jeff.
Theodor menatap Jeff dengan sengit.
"Setelah tugas kemarin yang membuang banyak waktu. Kini saya sedikit tidak percaya lagi padanya. Bisa saja dia mengulur banyak waktu dan memanfaatkan semua laki-laki yang berada disana."
"Heyy lihat! Seorang Theo cemburu pada Avelyn," goda Jeff.
Avelyn tersenyum lebar mendengarkan kalimat yang diucapkan oleh Jeff. "Baik kalau begitu saya setuju dengan tawaran ini."
Theodor menatap Avelyn dan menyelidiki sesuatu lewat iris matanya. "Jangan macam-macam kamu, dan jangan sampai kamu main gila dengan para siswa yang berada disana!"
"Memangnya kenapa? Selagi saling bahagia dan memuaskan kenapa tidak?" kata Avelyn.
"Kalau sampai kamu lakukan hal gila itu lagi, maka dipastikan hukumanmu akan lebih parah dari yang sebelumnya.”
Tiba-tiba Avelyn membayangkan dirinya yang sedang memegang jantung berlumuran darah terlintas kembali diingatannya, dia pun bergidik ngeri.
Theodor mengalihkan perhatiannya dari Avelyn dan tersenyum licik dengan ucapannya sendiri yang baru saja dilontarkan.
"Erland, siapkan semua data palsu untuk wanita ini masuk ke dalam sekolah itu, begitupun dengan data saya yang akan menyamar sebagai guru disana," perintah Theodor.
"Baiklah" jawab Erland.
Segala keputusan yang sudah ditetapkan Theodor tidak bisa sama sekali untuk diubah oleh siapapun, begitupun dengan Avelyn yang hanya bisa mengikuti cara liriknya. Seberapa besar usaha untuk menolaknya itu hanya akan menjadi sia-sia.