BAB 7

739 Kata
Dian melingkarkan tangannya di sisi pinggang Liam. Baju kantor, yang ia kenakan tadi, kini sudah berganti dengan celana jins dan kemeja putih berbahan lembut. Dengan posisi memeluk seperti ini, Ia dapat mencium aroma mint dari tubuh Liam. Liam dapat merasakan tangan Dian melingkar di sisi pinggangnya. Ia suka jika seperti ini, rasanya begitu intim dan menenangkan. Liam sengaja tidak melajukan kecepatannya, karena ia memang ingin berlama-lama dengan wanitanya. "Kamu baru kali ini naik motor," ucap Liam, ia masih fokus ke depan. "Iya," "Kenapa orang tua kamu enggak bolehin naik motor?" Tanyanya lagi. Kali ini ia memegang jemari Dian, ia selipakan jemarinya di jari jari lentik itu. "Iya, soalnya dulu mama dan papa takut, anak perempuannya di culik," "Kok gitu, emang orang tua kamu punya musuh, atau tindak kan yang tidak menyenangkan dengan orang lain, sehingga kamu mau di culik," "Enggak, kata mama, aku terlalu cantik," "Emang kalau cantik enggak boleh naik motor?" "Ya, boleh sih. Kata mama, biar aku aman aja. Masalahnya mama sibuk jagain toko. Jadi papa yang antrian terus. Tapi itu dulu waktu kecil, sekarang sih di biarin-biarin aja," "Kamu masih takut, setelah naik motor sama aku seperti ini," tanya Liam penasaran. "Ya, masih lah. Ini aja aku peluk kamu kenceng banget," ucap Dian, ia semakin mengetatkan pelukkannya. Liam tersenyum, ia lalu tertawa, Baru kali ini dirinya memiliki kekasih seperti ini, ada saja hal yang membuatnya bahagia. "Kamu sudah ngajuin cuti?" Tanya Liam lagi. "Belom, kenapa?" Dian menyandarkan wajahnya di punggung Liam. "Kamu lupa kita mau ke Bali," "Kan kamu enggak ngasi tau aku, kapan perginya," timpal Dian. "Lusa kita pergi," gumam Liam. Dian merasakan angin berhembus di permukaan wajahnya baginya, naik motor seperti ini tidak seburuk yang ia pikirkan. Rambut yang ia tata rapi, ia yakini sudah tidak berbentuk lagi, karena terpaan angin. "Boleh ngajak temen nggak?" "Kamu mau ngajakin siapa?" Tanya Liam "Ngajakin sahabat aku, namanya Rene," "Pasti sahabat kamu ingin merusak kencan kita di Bali kan," "Ya, enggak lah," timpal Dian. Belum apa-apa Liam sudah tahu maksud dan tujuannya dirinya mengajak Rene. "Kalau dia enggak ganggu kencan kita, dia boleh ikut," "Yang bener !," ucap Dian antusias. "Iya bener, kita perginya rame-rame. Sama teman-teman aku juga. Kebetulan mereka ada di Jakarta, masalahnya susah banget mau ketemu mereka," Alis Dian terangkat, jika ia tahu bahwa dirinya pergi ramai-ramai seperti ini. Dirinya enggak akan memikirkan ini sepanjang hari. "Kok kamu baru kasih tahu aku, kalau perginya rame-rame," "Kan, kamu enggak nanya sayang," Liam mengecup punggung tangan Dian. "Aku pikir kita pergi berdua loh," Alis Liam terangkat, ia lalu menoleh sekilas kebelakang. Ia hanya ingin memandang wajah cantik kekasihnya ini. Ia lalu tersenyum mendengar penuturan kekasihnya ini. Wajahnya kembali lurus ke depan, "Jadi kamu, maunya kita berdua aja di Bali. Ya nanti, kita pasti misahin diri dari mereka. Kalau kamu mau, nanti kita sewa vila tersendiri. Kamu tenang aja sayang, aku maunya juga begitu," ucap. Sementara Dian terperangah mendengar jawaban Liam. Sebenarnya bukan seperti itu maksudnya. Kenapa Liam selalu menyalah artikan apa yang di pikirannya. Oh Tuhan, ingin rasanya dirinya gantung diri sekarang juga. Ia tidak bisa membayangkan jika berdua dengan si babon ini. ******* Liam memarkir motornya di basement, Dian lalu melepaskan pelukkanya, dan lalu berdiri. Liam melepaskan helm yang di kenakannya. Ia menatap Dian yang berdiri tepat di sampingnya. Liam meraih pundak Dian, dan memandang iris mata itu. Ia membuka pengait helm, dari kepala Dian. Dian merasa lega, ketika helm itu sudah lepas dari kepalanya. Dian merapikan rambutnya dengan jari-jari tangannya. "Reuninya di mana" Tanya Dian, melirik Liam. "Skye," "Owh, Skye," gumam Dian. Liam mengerutkan dahi, memicingkan matanya, dan mulai menyelidiki kekasihnya ini, "Kamu sering ke sini?" Tanya Liam. "Ya, Kadang-kadang," "Sama siapa?" "Sama Rene, enggak sering kok, hanya sebulan sekali," "Ya, enggak apa-apa," Liam meraih jemari lentik itu. Ia genggam dengan erat, Ia melangkahkan kakinya menuju pintu lift, sementara Dian menyeimbangi langkah Liam. Para pengunjung mulai berdatangan. Dian dan Liam, mengantri untuk memasuki pintu lift. Memang butuh sedikit perjuangan untuk ke Skye, yang letaknya di lantai 56 menara BCA. Setelah menunggu beberapa menit, Liam dan Dian, masuk ke dalam Lift. Liam melirik kekasihnya, ini masih tampak tenang berada di sampingnya. Akhirnya pintu lift pun terbuka. Skye ini terdiri dari dua area utama, jika sebelah kanan dari lift, maka itu adalah area indoor, restoran yang d******i kayu dan dinding bebatuan. Jika ia dulu bersama Rene, ia suka duduk di sofa berwarna biru dekat jendela kaca. Rasanya begitu tenang dan mengobrol intim. Tapi Liam memilih melangkahkan kakinya ke sebelah kiri. Ia tahu bahwa area ini adalah area outdoor, ia akan melihat pemandangan mengagumkan kota Jakarta. Sangat tepat untuk bersantai sambil menyesap cocktail. Liam mengedarkan pandangannya ke segala penjuru sisi area. Ia mencari keberadaan teman-temannya. Liam menemukan apa yang ia cari, ia mendapati teman-temannya sedang duduk di sofa, dekat kolam renang mini tepat di pinggir atap. Liam meneruskan langkahnya dan membawa Dian bersamanya. Dian merasakan angin berhembus, menerpa wajahnya. Liam membawanya ke sofa dekat kolam renang itu. Ia tahu bahwa tempat ini telah di reservasi beberapa hari yang lalu, jika tidak begitu, mana mungkin ia bisa duduk di tepi atap seperti ini. Dian melirik Liam, laki-laki itu tersenyum memandang teman-temannya. Dian menghitung ada dua orang laki-laki dan dua orang wanita di sana. Dian memegang sisi lengan Liam, karena ia bukan jenis wanita yang bisa mudah berbaur dengan orang yang baru di kenal. Di sini hanya Liam lah yang ia kenal. Ia tidak yakin bahwa teman-teman Liam adalah bukan laki-laki yang baik. Sudah ia pastikan semua laki-laki disini sama saja seperti sekawananya si babon ini. Ia bisa menilai dari tatapan semua laki-laki itu, mereka semua terlihat begitu licik. "Sayang, perkenalkan ini teman-teman aku," Liam memandang Dian di sampingnya. Dian membalas tatapannya, ia tahu dengan tatapan itu, menyatakan bahwa kekasihnya itu tidak nyaman. "Itu Darka, dan Ini Daniel. Mereka teman aku, karena waktu itu kami pernah bertemu di Dubai, mengerjakan proyek yang sama disana," Dian memandang laki-laki bernama Daniel, laki-laki itu berperawakan tinggi besar, wajahnya tampan dan rambutnya cepak. Terlibat jelas laki-laki yang senang mengencani seorang wanita, dan lalu laki-laki tersenyum kepadanya. Dian kembali mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki bernama Darka, setidaknya hanya laki-laki itu masih normal di sini, karena laki-laki itu begitu tenang. Dian menarik nafas, ia baru tahu bahwa ini adalah yang di maksud reuni oleh Liam. Ia pikir di ballroom sebuah hotel, atau Reuni sekolah yang pernah ia lakukan sebelumnya. Ini mah namanya nyantai bareng. Liam terlalu berlebihan mengatakan ini adalah sebuah reuni. "Sayang," "Hemmm," gumam Dian. "Kamu enggak suka ada disini?," "Bukan enggak suka, aku kurang nyaman aja, karena enggak kenal," "Kamu bisa berteman dengan mereka," pemandangannya tertuju kepada dua orang wanita yang tidak jauh dari dua orang laki-laki itu. Dian menatap dua orang wanita yang tidak jauh darinya. Wanita itu nampak berbincang-bincang, satu sama lain. "Saya yakin mereka juga baru mengenal satu sama lain," Dian menperhatikan dua orang yang di maksud Liam, "Iya," Liam mengecup puncak kepala Dian, ia memegang wajah cantik itu, "saya akan mengawasi kamu dari sini, jika tidak nyaman kita langsung pulang," "Oke," *********
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN