Ajeng memasuki rumahnya dengan malas. Mengikuti Dimas ternyata hanya membuang-buang waktunya. Lelaki itu tak sebaik yang terlihat. Ia masih membayangkan bagaimana mulut manis Dimas berucap tak hanya pada satu perempuan.
"Ih, enek banget gue dengernya!" gerutu Ajeng sambil berjalan ke arah lemari es demi seteguk air dingin dari sana.
"Ah, seger banget."
Matanya terpejam sejenak demi menghilangkan rasa lelahnya. Ia harus memikirkan kembali laki-laki yang akan menjadi target selanjutnya. Semoga tidak salah lagi seperti Dimas.
Namun, di tengah melamunnya, bahunya ditepuk begitu keras sehingga membuat Ajeng melonjak saking terkejutnya.
"Eh, kodok terbang!" pekiknya.
Di tengah keterkejutannya, Ajeng mendengar bunyi cekikikan di belakangnya. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Apa rumahnya ini sudah menjadi angker?
"Ihhh..."
"Woy, Kak!"
Dari teriakan ini, Ajeng akhirnya tahu siapa pelakunya yang tak lain adalah adiknya sendiri.
"Mir, bisa nggak sih biarin hidup Kakak damai? Kamu tuh, ya!" bentak Ajeng.
Tetapi, bukan Mira namanya kalau iya-iya saja dengan ucapan sang kakak. Gadis itu malah menjawab pertanyaan sang kakak dengan tengilnya.
"Iya. Emang aku nggak bisa liat Kakak tenang. Pokoknya, Kak Ajeng tenang sedikit aja itu mengganggu banget buat Mira."
"Dasar anak aneh! Orang tuh ya enaknya adem, damai, tentram sentosa. Ini maunya ribut. Memang aneh."
"Harusnya, Kakak bangga karena punya adik yang anti mainstream kayak aku."
Ajeng benar-benar tak habis pikir dengan sang adik yang selalu saja ajaib kelakuannya.
"Lagian kenapa sih, Kak? Kayaknya lagi mikir keras banget. Kayak punya pikiran aja." ledek Mira.
Hampir saja Ajeng melemparkan vas bunga yang ada di hadapannya kalau saja ia tidak memikirkan omelan sang ibu yang akan dirinya terima nantinya. Ia hanya menatap jengkel Mira dan memilih kembali menyandarkan tubuhnya ke belakang sofa.
"Kalo ditanya tuh jawab, Kak. Malah merem."
"Kamu mending diem deh, Mir. Kakak capek banget ini. Harus mikir, lagi. Mending kamu masuk kamar, gih. Kakak males berantem sekarang."
"Ih, Kakak nggak seru, ah. Ayo, marah-marah." rengek Mira.
Benar kata Ajeng kalau adiknya ini sangat aneh. Kakaknya marah kok malah ingin?
"Mira diem atau Kakak lempar kamu pake vas ini?"
Ajeng sudah mengangkat vas bunga yang kini berada jauh di atas kepalanya. Ya, walau sebenarnya tidak akan ia lempar betulan juga.
"Wah, ayo lempar, Kak. Biar kamu diomelin mama nanti!" seru Mira dengan tampang polosnya.
Mira memang bukan lawan yang bisa ditaklukkan begitu saja. Kesabaran Ajeng harus berjuta kali lipat saat menghadapi sang adik.
"Bodo amat lah, Mir. Minggir kamu! Kakak mau ke kamar!"
Ajeng beringsut meninggalkan sang adik yang malah tertawa jahil saat melihat wajah kakaknya yang ditekuk saat meninggalkannya.
"Emang ada-ada aja." gumam Ajeng yang langsung merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
Sebelum membahasnya esok dengan Andin dan Ayu, ia harus punya strategi lain untuk gagasannya ini. Tetapi, otaknya mendadak buntu dan hal itu membuatnya frustasi.
"Ah gak tau deh. Gue tiba-tiba nggak bisa mikir!" teriaknya.
"Kayak biasanya bisa mikir aja." sahut Mira yang entah sejak kapan berada di ambang pintu kamar Ajeng.
"Heh!"
Mira dengan cepat berlari sebelum bantal yang Ajeng lemparkan mengenai dirinya.
"Bikin kesel aja!"
***
Seperti yang dikatakan Ajeng kemarin, hari ini harusnya Andin dan Ajeng datang ke rumahnya. Tetapi, ini sudah lewat tiga puluh menit dari waktu janjian mereka dan kedua sahabat Ajeng itu belum juga menunjukkan batang hidungnya.
"Ini pada lupa apa gimana? Perasaan tadi di WA pada bilang OTW, deh. Jangan-jangan OTW ke kamar mandi lagi." gerutu Ajeng.
Ya, mau bagaimana lagi? Memang hobi rakyat Wakanda ini ngaret. Kalau mengatakan sudah sedang di jalan, bukan berarti di jalan menuju tempat tujuan. Bisa saja di jalan menuju kamar mandi atau bahkan di jalan dari ranjang ke pintu kamar.
"Kenapa sih, Kak?"
"Anak kecil nggak usah sibuk ikut-ikutan. Hush hush!" Ajeng membuat gerakan mengusir agar sang adik menjauh darinya.
Mira memang tak pernah membiarkan dirinya tenang barang sedetikpun. Heran.
Tak lama dari itu, Ajeng mendengar huru-hara di depan rumahnya. Ia tahu siapa itu tapi tak langsung membuka pintu rumahnya.
"Misiii..."
"Assalamualaikum."
"Spada."
"Atok, oh, Atok!"
Teriakan demi teriakan terdengar di depan rumah Ajeng. Membuat sang empunya merotasikan matanya dengan malas.
"Udah telat, malah berisik. Ini kalo tetangga denger, lo pada diguyur!"
"Ya elah, sensi bener. Kayak lo nggak tau jalanan semacem apa aja, Jeng." sahut Ayu sebelum menyedot es cekek yang dibawanya.
"Sok-sokan pake alasan macet."
"Emang iya. Belom lagi tuh angkot ngetemnya luar bisa. Sepuluh menit nurunin penumpang, naikin lagi. Lo pikir nggak lama?" Kali ini, Andin yang bersuara.
"Ya udah iya. Tapi lo pada bilang OTW-nya udah lama. Masuk, masuk."
"Dari tadi, kek nyuruh masuknya. Udah pegel desek-desekan di angkot juga."
Ajeng hanya membuang napasnya kasar dan membiarkan kedua sahabatnya itu meluruskan kakinya di lantai. Ia hendak mengambilkan minum untuk keduanya tapi diurungkan karena melihat Andin dan Ayu sepertinya sudah jajan.
"Emang bagus ya bikin alasan macet tapi lo berdua bisa-bisanya udah jajan es. Nggak beliin gue lagi!" protes Ajeng.
"Ya elah, es doang. Lo banyak kali. Nih, kita beliin cimol."
Mendengar kata cimol, Ajeng langsung sumringah. Ia jadi lupa akan tujuan menyuruh kedua sahabatnya ini ke rumahnya.
"Anaknya malah nyantai makan cimol. Gimana, sih?"
"Bentar, ngomong tuh butuh tenaga. Jadi, gue mau makan cimolnya dulu." sahut Ajeng yang terus menjejalkan cimol tersebut ke dalam mulutnya.
"Jadi, gini... Yeh, malah lo berdua molor!" Ajeng menepuk lengan Andin dan Ayu yang kini menutup matanya. Padahal, ia ingin menceritakan masalah kemarin.
"Ngantuk. Jadi, gimana?" tanya Andin.
"Dimas nggak bisa jadi target kita."
Berhubung yang memiliki ide adalah Ajeng, Andin dan Ayu masih belum memberikan reaksi apapun. Mereka pikir, Ajeng akan melanjutkan pembicaraannya.
"Kok kalian malah diem aja, sih?"
"Gue kira lo masih mau ngomong."
Jawaban Ayu langsung diangguki setuju oleh Andin yang kini malah berdiri.
"Jeng, minta minum, dong. Haus gue."
"Ambil sendiri. Cepet balik. Gue mau ngomong serius."
Ketiganya kini duduk melingkar. Benar-benar terlihat seperti akan mendiskusikan hal yang gawat.
"Sumpah, ya. Ngikutin Dimas beneran menguras energi gue. Aduh gue sampe mual banget asal lo berdua tau."
Andin dan Ajeng saling pandang karena tidak mengerti dengan maksud perkataan Ajeng tersebut.
"Gue kan bilang kalo si Dimas playboy kemarin."
Andin dan Ayu mengangguk serempak dan membuat keduanya tampak seperti anak kembar karena begitu kompak.
"Itu beneran woy! Ngomongnya udah kayak template. Beda cewek, omongannya sama. Ih, gila gue enek banget dengernya. Kok bisa sih dia dibilang cowok baik-baik. Baik banget kali tuh mulutnya bisa bohongin cewek." cerocos Ajeng.
Gadis itu begitu menggebu karena merasa kesal target yang ia bidik ternyata tidak sesuai harapan sama sekali. Bahkan, bisa dikatakan sangat jauh dengan kriteria mantan organik ini.
"Terus?" tanya Andin.
"Ih, gue udah jelasin panjang lebar dengan power yang amat sangat luar biasa dan lo cuma nanya terus? Yang bervariasi dikit, kek."
Ajeng merasa Andin masih tidak begitu tertarik dengan apa yang digagasnya ini. Sahabatnya itu tampak tak begitu peduli.
"Ya elah. Kan lo yang punya ini gagasan. Ya gue nanya lo dong terus gimana? Kita kan ngikut lo." Andin menambahkan.
"Ya udah oke jadi gini, lo pada ada kandidat gak? Yang sekiranya oke banget nih?"
"Ah, gue males banget mikir, Jeng. Jajan mie ayam depan, yuk!"
Ayu yang sejak tadi hanya diam itu kini bersuara dan malah membahas hal di luar topik yang tengah mereka bahas ini.
"Gue setuju. Laper juga, Jeng. Bahas beginian bikin perut kosong."
Kan, sudah Ajeng duga. Kalau semua ini tidak akan berjalan lancar. Apalagi, kalau sudah dibelokkan ke arah makanan. Andin yang berseru menyetujui perkataan Ayu itu pun sudah berdiri di ambang pintu rumah Ajeng.
Mau tidak mau, mereka akhirnya pergi menuju warung mie ayam yang sebenarnya memang sudah menarik perhatian Ayu sejak mereka tiba di rumah Ajeng.
Lain dengan kedua sahabatnya yang tampak sumringah, Ajeng agak setengah hati. Ya, sebenarnya ia juga lapar. Tetapi, saat ia berjalan keluar rumah, adiknya Mira dengan sangat tidak berakhlaknya malah berteriak untuk menitip. Adiknya itu tetap kekeh meski Ajeng bilang kalau mereka akan makan di sana dan lama.
"Udah, jangan bete gitu, Jeng. Abis ini kita bahas lagi." ucap Andin.
Di sinilah mereka sekarang. Warung mie ayam yang cukup ramai. Mereka begitu semangat dengan makanan yang amat menggugah selera ini. Lebih tepatnya hanya Andin dan Ayu yang bersemangat. Ajeng masih memikirkan misinya yang sepertinya masih kurang menarik di mata sahabat-sahabatnya.
"Ayo, makan, Jeng. Kalo lo nggak makan, gue sikat, nih."
"Sikat-sikat. Lo pikir baju kotor?" balas Ajeng yang akhirnya menyantap mie ayamnya dengan cepat.
"Jeng, ini lo yakin bakal lanjut?"
Ajeng yang tengah mengunyah itu pun melirik ke arah Ayu. Ia yakin kalau Ayu ingin memintanya untuk berhenti.
"Ih, santai dong jangan kayak gitu ngeliatin guenya. Lo serem, Jeng."
Meski begitu, Ayu tetap tertawa kecil agar suasananya tidak terlalu mencekam. Ini bukan genre horor, kalau keseringan mencekam tidak baik.
"Maksud gue, ini bakal berhasil emang?"
"Udah makan dulu habisin, tar balik lagi ke rumah Ajeng. Jangan bahas di sini. Nggak nyaman." Andin mencoba menengahi yang membuat Ajeng dan Ayu akhirmya mengangguk setuju.
Mereka bertiga kembali berkumpul di rumah Ajeng dengan pembahasan yang lebih serius.
"Kalian beneran nggak niat, ya ikut ini?" tanya Ajeng.
"Eh, bukan gitu. Maksud gue, kita bahkan susah banget nyari orang yang tepat. Gimana mau cepet jalan?" Ayu memberikan pembelaan atas tuduhan yang dilontarkan Ajeng.
"Nah iya. Si Dimas aja yang katanya cowok baik-baik malah kayak gitu kelakuannya." Andin menambahkan sambil melirik ke arah Ayu yang langsung dibalas tatapan tak terima oleh pihak yang dilirik.
"Ngapain sambil liatin gue?"
"Ya, kan si Dimas mantan lo. Masa gue harus ngelirik jendela?"
"Gue masih nggak patah arah ya, guys. Gue masih bertekad untuk mengurangi populasi jomlo di muka bumi ini." ujar Ajeng menggebu-gebu.
"Ini harusnya lo dulu punya pacar nggak, sih?" celetuk Andin.
"Kok malah gue?"
"Mengurangi populasi jomlo adalah dengan membuat orang tidak jomlo lagi. Betul apa betul?"
Ajeng dan Ayu mengangguki perkataan Andin.
"Terus, gimana ceritanya yang mau melakukan hal itu malah masih jomlo?"
"Masuk akal." balas Ayu.
"Tuh kan! Lo berdua ini emang nggak niat bantuin gue, kan? Bukannya mikirin kandidat selanjutnya malah ngeledekin gue terus."
"Eh tapi ya gue beneran penasaran sama yang lo liat, Jeng. Katanya kan si Dimas ini terlalu baik. Kok bisa-bisanya dia begitu? Lo nggak bohong, kan?"
Andin tiba-tiba kembali membahas Dimas yang membuat Ajeng membuang napasnya kasar. Apa Andin ini lupa dengan kriteria yang Ajeng sebutkan sebelumnya? Bagaimana mungkin ia mengada-ada?
"Kan udah gue kasih tau kriterianya gimana, Andin. Ngapain gue bohong? Kalo emang dia baik, ya nggak bakal gue lepasin gitu aja, kali."
"Kok bisa gitu, Yu?" Andin beralih menatap Ayu.
"Kalo lo nanya gue, gue nanya siapa, dong?"
Jawaban yang sangat bermutu. Mereka bertiga akhirnya sepakat untuk menuliskan beberapa nama yang sebenarnya mereka tidak tahu betul orang-orang tersebut sehingga satu persatu mulai dicoret sampai tak menyisakan satu orang pun di atas kertas tersebut.
"Kata gue juga susah. Ini, ya. Nggak bakal bener-bener ada orang yang kayak kriteria lo, Jeng. Kadang, putus emang karena brengsek." ucap Andin
"Bener tuh. Kadang, ini orang egois makanya putus."
"Atau bisa aja alay. Ngekang."
"Atau bisa juga nggak doyan cewek."
Andin dan Ayu saling menyebutkan alasan-alasan mengapa orang pacaran putus dan yang terakhir disebutkan itu... Ah, sudahlah. Memang terlintas begitu saja di pikiran Ayu.
"Terus, cewek yang nggak pernah pacaran lo mau nyari ke mana? Zaman sekarang, Jeng?" tambah Ayu.
"Lo nanya gitu apa nggak liat orang yang ada di depan kita?" Andin melirik Ajeng sambil tertawa.
"Ah, pokoknya gue yakin kalo kriteria yang gue sebutkan ini ada. Gue yakin dan optimis. Pasti ada!"
Ajeng dan segala tekadnya memang sulit dipatahkan begitu saja. Entah, ia denial dengan ucapan Andin dan Ayu atau memang ia benar tahu ada orang semacam itu, pokoknya Ajeng akan terus maju dengan tekadnya dalam agen mantan organik ini.
"Ya udah deh, kalo lo yakin banget."
"Lo sekarang yakin juga kan, Yu?" tanya Ajeng dengan pandangan penuh harapan kepada Ayu.
"Gue... Nggak yakin banget, sih. Maksudnya, bukan sama tekad lonya, ya. Tapi sama targetnya. Karena lo gigih banget, gue yakin sih pasti ketemu."
Jawaban Ayu membuat Ajeng cukup yakin kalau ia bisa. Ah, mereka maksudnya.
"Lo gimana?" Pandangan Ajeng beralih pada Andin yang tampak berpikir.
"Kayaknya, kita belum nyebutin satu nama lagi, deh."
Ajeng dan Ayu tampak tertarik dengan ucapan Andin dan menatap gadis itu dengan saksama. Andin mulai menyebutkan nama dan rupanya diangguki oleh Ajeng dan Ayu.
"Oke, kita selidiki dulu." final Ajeng.