MANTAN ORGANIK 28 - KEMARAHAN AJENG

1384 Kata
Ajeng merasa malas berjalan menuju ke sekolahnya, bagaimana dia tidak malas? Dia sudah tidak memiliki gairah untuk sekolah. Memang sekolah itu tujuannya untuk mencari ilmu namun bagi seorang ajeng dan juga siswa-siswi yang lainnya sekolah itu semacam tempat untuk melepas penat. “Gue harus gimana?” pertanyaan itu terus muncul di benak Ajeng. Ajeng menghela napas, dia pun berjalan menuju ke ke gerbang. Namun, saat sampai di depan gerbang, Ajeng melihat Dafa yang baru saja datang. Ajeng pun berniat menghampiri Dafa. “Kak Dafa …” panggil Ajeng. Katakanlah Ajeng sekarang seorang perempuan tidak tahu diri yang menghampiri laki-laki setelah melakukan hal yang buruk. Terlepas dari bohongan atau tidaknya, Dafa memang melihat dan meyakini hal tersebut. Mengingat kejadian semalam membuat kepada Ajeng rasanya pusing, dia ingin menangis. Da tentu saja, tempat bersandar untuk menangis yang paling didambakan adalah dipelukan Dafa. “Gue nggak mau ketemu sama lo.” kata Dafa. Dafa pun langsung berjalan meninggalkan Ajeng. Ajeng pun langsung mengejar Dafa, dia tidak mau membiarkan kesalahpahaman ini berlarut-larut. “Kak, aku bisa jelasin. Aku sama David nggak ada apa-apa.” kata Ajeng. “Aku cuma disuruh.” kata Ajeng. Dafa menghentikan langkahnya dan menatap Ajeng dengan tajam. “Udah?” tanya Dafa. Ajeng meneguk ludahnya sendiri mendengar apa yang dikatakan oleh Dafa. Kemudian, Dafa pun langsung pergi begitu saja, “Jangan ikutin gue lagi!” pinta Dafa. Ajeng pun hanya bisa memperhatikan punggung laki-laki itu dengan berkaca-kaca. Dia tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan kepada Dafa. “Kenapa sih nggak mau dengerin gue? Gue nggak kayak gitu, Kak.” kata Ajeng. Air matanya menetes lagi, kemudian dia langsung mengusap air matanya. Ajeng tidak menyangka kalau kebahagiaan kemarin bersama dengan Dafa hanya sesuatu yang singkat saja. “Ajeng!” seru seseorang. Ajeng menghela napas. Itu adalah suara teriakan Ayu. Ajeng sangat hafal akan suara itu. Karena dia tidak mau bertemu dengan Ayu ataupun Andin yang membuat dia begini, akhirnya Ajeng memilih untuk mengabaikan suara itu. MAsa bodoh dengan persahabatan mereka. Ajeng sangat kesal kepada mereka berdua yang menghilang saat dibutuhkan. Mereka sudah berjanji akan memantau pergerakan dan akan membantu bila ada masalah, namun apa yang mereka lakukan kemarin? Menghilang. Dan karena sifat apatis mereka akhirnya Ajeng pun jadi korban. Dia tidak peduli lagi, dia kesal sekali. “Ajeng!” panggil Ayu lagi yang mengira kalau Ajeng tidak mendengar teriakannya. Namun, Ajeng memutuskan untuk masuk ke ruang guru. Entah untuk apa di sana, yang jelas dia hanya ingin menghindari dari Ayu dan Andin. Dia tidak mau bertemu dengan mereka berdua. Melihat mereka membuat Ajeng jadi teringat apa yang terjadi, itu menyesakkan. “Ajeng? Kenapa ada di sini?” tanya seorang guru yang menghampiri Ajeng. Karena Ajeng memang hanya berdiri di pintu saja, tidak menghampiri guru siapapun. “Nggakpapa, Bu. Saya cuma mau tanya, jam masuk jam berapa ya, Bu?” tanya Ajeng yang sangat bodoh. “Loh, kok nanya begitu? Kan biasanya juga jam setengah 7. Kamu lupa?” tanya guru tersebut. Ajeng tersenyum. Meski dalam hati dia merutuki kebodohannya itu. Dia tidak suka saat-saat seperti ini karena dia terlihat begitu bodoh. “O iya, Bu. Saya lupa. Saya mau izin ke koperasi depan soalnya, Bu.” kata Ajeng. “Sebentar lagi bel masuk loh.” kata guru tersebut. “Saya izin sebentar ya, Bu. Ke koperasi buat beli pulpen.” kata Ajeng. Guru tersebut pun langsung menganggukkan kepalanya. Setelah melakukan tindakan konyol akhirnya Ajeng pun keluar dari ruang guru. Kemudian, dia pun benar-benar berjalan menuju koperasi sekolah, dia ingin berada di sana untuk menghindar, dia hanya ingin menunggu waktu bel masuk saja. Selainnya dia tidak peduli lagi. “Loh, Ajeng, lo ngapain?” tanya seorang penjaga koperasi yang ternyata adalah temannya sendiri. Ajeng pun memanfaatkan situasi tersebut, baginya hal ini baik untuk dia bersembunyi, “Pik, lo udah ngerjain PR bahasa indonesia belum?” tanya Ajeng. “Eh, emang ada PR?” tanya temannya yang bernama Fikri. Padahal namanya adalah laki-laki namun teman Ajeng tersebut seorang perempuan. “Iya ada, lo mau nyontek gak sama gue?” tanya Ajeng. Ajeng memang tidak berniat untuk membeli pulpen hanya ingin menghindar aja. “Mau dong mau.” kata Fakri. Ajeng mengeluarkan bukunya dan memberikannya kepada Fikri. Fikri pun langsung mengeluarkan bukunya dan mulai menyalin PR tersebut. “Kasih gue minuman gratis ya!” kata Ajeng. “Iya, boleh!” jawab Fikri. Ajeng pun langsung mengambil minuman dan langsung memikirkan sesuatu, dia langsung memikirkan mengenai kedua sahabatnya. BEl masuk pun berbunyi, Ajeng meninggalkan Fikri. Mau tak mau dia langsung masuk ke dalam kelasnya, menghadapi kenyataan. “Ajeng!” panggil Andin dari dalam kelas. Ajeng memutar bola mata, dan merasa kesal sekali dengan kedua temannya. Ajeng pun mengedarkan pandangannya ke segala arah mencari tempat kosong, dia tidak mau kalau sampai duduk di samping Ayu. Dia tidak mau., lebih baik dia duduk terpisah. “Jon! Gue duduk di samping lo ya!” kata Ajeng kepada Jono. Jono menganggukkan kepalanya. Jono ini adalah murid laki-laki yang sangat kutu buku. Ajeng dan semua orang tahu itu. Syukurlah kalau begitu sehingga Ajeng tidak perlu mengobrol ataupun apapun dengan Jono. Dia juga pendiam. “Kenapa duduk di sini? Bukannya biasanya di sana?” tanya Jono. “Nggakpapa, emang kenapa? Nggak boleh gue duduk di sini?” tanya Ajeng. “Eh, boleh-boleh.” kata Ajeng. Pelajaran pun dimulai, Ajeng tidak mau kembali ke tempat semula. Di tempatnya Ayu dan Andin saling lirik dengan sikap Ajeng. Mereka merasa kalau Ajeng marah karena kemarin. Bel istirahat pun berbunyi. Ajeng memutuskan untuk keluar dari kelas tersebut. “Jeng, tunggu!” seru Andin. Andin langsung menahan tangan Ajeng. Ajeng pun berang dan langsung menghempaskan tangan temannya itu, “Jangan pegang-pegang gue!” seru Ajeng kesal setengah mati. Andin terperangah, “Lo kenapa sih? Lo marah sama kita? Kenapa sih?” tanya Andin. “Lo masih nama kenapa? Gila ya, gue nggak nyangka kalian kayak gitu banget sama gue.” kata Ajeng. “Apa sih? Kenapa lo marah sama kita? Karena semalem doang?” tanya Ayu. “Doang kata lo? Lo tau nggak si apa yang terjadi sama gue semalem? Kalian nggak tau kan gue gimana semalem? Jahat banget sih!” seru Ajeng. Ajeng memilih berbalik dan lari begitu saja. Ayu dan Andin pun hanya bisa saling lirik. Ajeng sudah pergi, kedua temannya memutuskan untuk pergi ke kantin guna menerka-nerka mengenai apa yang terjadi kepada sahabatnya itu. “Si Ajeng kenapa sih?” tanya Andin. “Lo nggak liat grup?” tanya Ayu yang sepertinya tahu kenapa Andin bingung. “Enggak, Kemarin gue jalan sama Zafir trus gue gak liat-liat hape lagi sih, malah ketinggalan hapenya di rumah,bloon ya gue?” tanya Andin. Ayu menghela napas, “Lo ada-ada aja dah. Semalem kayaknya Si Ajeng itu ada masalah.” kata Ayu. Ayu mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan pesan yang dikirimkan oleh Ajeng ke grup tersebut. Kemudian, dia langsung menyuruh Andin untuk membacanya. Andin memekik, “Eh, jadi Dafa ada di cafe itu? Trus gimana?” tanya Andin yang terkejut setengah kata. “Nah itu gue nggak tau apa yang terjadi setelahnya karena waktu gue telpon si Ajeng, Ajeng nggak angkat. Nomor gue diblokir, gue yakin kalau nomor lo juga diblokir sama dia. Liat aja dia juga sampe keluar dari grup. Kayaknya ada kejadian yang nggak enakan deh. Tapi apa ya?” kata Ayu. Andin pun menghela napas, “Kalau itu kayaknya kita lebih mending tanya ke orangnya langsung aja gak sih?” tanya Andin. “Gimana mau tanya langsung? Lo nggak liat gimana dia yang langsung pergi ketika kita samperin dia? Dia kayaknya kecewa deh sama kita.” kata Ayu. “Duh gimana dong?” tanya Andin. Andin pun menghela napas. Dia mengedarkan pandangannya ke arah lain, dan dia seketika langsung melihat ada Dafa yang sedang makan bersama dengan teman-temannya. “Eh, itu Si Monyet, tanya dia aja gimana?” tanya Andin. Ayu mengamati pandangannya ke arah yang ditunjuk oleh Ajeng dengan menggunakan matanya. Kemudian, dia pun langsung menatap Andin, “Serius kita tanya dia aja?” tanya Ayu. “Gue gedek sih sebenernya tapi mau gimana lagi.” kata Andin. Akhirnya Ayu pun menyetujui apa yang dikatakan oleh Andin. Dia pun menganggukkan kepalanya, “Yaudah ayo, kita samperin aja dia. Biar kita tau apa yang sebenarnya terjadi sama dia.” kata Ayu. “Eh, tunggu deh, sekarang kita lagi di kantin, malu. Apa nggak ntar aja pulang sekolah?” tanya Andin.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN