Ajeng masih serius menekuri pikirannya mengenai agen yang sangat ingin dia buat bersama teman-temannya. Mantan Organik, menurut Ajeng dari namanya saja sudah menarik dan terlihat berkelas dan tentu berkualitas.
Mantan Oganik ini terispirasi ketika Ajeng datang ke sebuah supermarket, di mana pada saat itu dirinya disuruh ibunya untuk membeli sayur di bagian fresh food. Dan dia menemukan ada sayur organik dan non-organik. Dari sana dia berpikir kalau sesuatu yang sifatnya organic itu menyehatkan dan berkualitas baik. Oleh karena itulah, dia terpikirkan nama itu.
Tujuan dirinya membuat Mantan Oganik adalah dirinya ingin mengumpulkan mantan-mantan yang diputuskan oleh pacarnya karena tertalu baik kepada pacarnya. Menurut Ajeng, tidak semua mantan itu buruk dan mantan-mantan terbaik perlu ditemukan agar bisa disandingkan dengan jomlo yang memang memiliki sifat yang baik juga.
“Gue harus carte tapa-apa aja kualifikasi jomlo yang harus gue cari buat ngelancarin agen Mantan Oganik!”
Ajeng pun mengambil alat tulisnya dan mulai menarikan jari-jemarinya di atas kertas tersebut. Namun, sayangnya, jari jemarinya hanya menari dua sampai lima centi megter saja di atas kertas, sebab Ajeng tidak benar-benar tahu apa yang akan di tulisnya.
“Ngapain lo, Jeng?” tanya Ayu yang baru sampai di kelas dan duduk di depan Ajeng.
“Gue lagi mikir.” Kata Ajeng.
Ayu yang tak ambil pusing dengan apa yang dikatakan oleh Ajeng langsung mengambil kaca dan liptint, lalu mulai memoleskan liptint di bibirnya agar tidak pucat.
Ajeng melirik Ayu, dia memperhatikan Ayu dengan saksama. Ayu sangatlah cantik, dia sebagai perempuan pun bisa mengatakan hal tersebut namun, Ayu memiliki kebiasaan buruk, suka berkata kasar, namun sepertinya semua laki-laki menyukai Ayu.
“Mikir apaan si lo?” tanya Ayu.
Ayu mulai mematut-matut wajahnya di kaca. Dia hari ini berhasil lolos dari pemeriksaan di depan gerbang saat pagi tadi karena dia datang lebih pagi dari biasanya dan beluma ada guru yang berjaga di depan.
“Gue mikir kriteria cowok yang bakal jadi target agen Mantan Oganik kita.” Terang Ajeng. Dia terlihat sangat serius menatap buku dan pulpen di hadapannya.
Mendengar Ajeng mengatakan nama agen aneh tersebut, Ayu langsung menghentikan aktivitasnya. Dia buru-buru memasukkan kacanya ke dalam kolong meja dan kini langsung menatap Ajeng dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
Tempat duduk Ayu memang ada di depan Ajeng karena Ajeng duduk bersama Andin.
“Jeng, bentar deh, sejak kapan gue mau ikut main agen-agenan kayak gitu?” tanya Ayu.
Ajeng hendak menjawab pertanyaan Ayu namun Andin yang duduk di sampinya pun ikut-ikutan menimbrung. Padahal, dia sedang sibuk ngupil, perjalanan yang jauh dan polusi yang tebal membuat hidungnya memproduksi banyak upil belakangan ini.
"Jeng, inget ya jangan catet nama gue. Sumpah gue cuma pengen ngerasain hidup tentram, damai, dan sentausa selama di sekolah. Gue mager kalau kudu ikut-ikutan agen-agenan kayak yang lo bilang." kata Andin.
Andin mengatakannya dengan santai sambil 'ngupil'. Sebenarnya walau tidak terkena debu jalanan, salah satu kebiasaan Andin memang seperti itu, namun ntah mengapa banyak saja laki-laki yang mau mengangkatnya manjadi pacar.
Menjadikan seseorang seorang pacar bisa dianggap suatu pengangkatan drajat bukan? Dari jomlo ke ...
"Andin, jorok banget sih lo!" seru Ayu sambil membuang tisu bekas mengelap bibirnya ke arah Andin yang tidak ketolongan joroknya.
Andin yang merasa kesal karena dilempari Ayu tisu bekas langsung mengupil lagi dan menempelkan upilnya di punggung Ayu. Kejadian ini sontak membuat Ayu mulai mengeluarkan sumpah serapahnya.
"Aaaaa kulit gue! Kulit gue udah gak steril lagi." kata Ayu.
Ayu langsung berlari keluar kelas dan membilas tangannya di keran depan kelasnya.
"Hahahaha emang enak lo." kata Andin yang langsung tertawa dengan kencang.
Ajeng memandang Andin, teman sebangkunya itu sambil bergidik ngeri, dia juga tidak tahan bila ditempeli upil seperti itu.
"Lo mau juga?" tanya Andin.
"Eh, enggak-enggak-enggak." kata Ajeng sambil menyilang-nyilangkan tangannya dengan dramatis.
Andin yang melihat bagaimana Ajeng yang panik dan ketakutan langsung mengeluarkan upilnya dan hendak menempelkan ke baju Andin. Ajeng yang merasakan kalau akan ada bahaya langsung berlari keluar dari kelas.
"Ayu! Tolongin gue!" seru Ajeng.
Melihat Andin yang keluar sambil mengacung-acungkan tangannya yang ada upilnya kepada Ajeng juga dirinya, Ayu pun lebih memilih 'ngacir' duluan.
"Monyet, Andin! macem-macem ama gue, gue sumpahin jomlo seumur hidup lo!" seru Ayu yang kini sudah berlari di samping Ajeng karena Andin juga mengacungkan benda menjijikan itu kepada dirinya.
"Nggak boleh ngomong kasar, Ayu!" seru Ajeng yang mencoba memperingati Ayu.
Ajeng memang suka menceramahi teman-temannya yang berkata kasar dan Ayu adalah sasaran empuk bagi ceramahannya.
"Masih sempet-sempetnya aja lo ceramahin gue." kata Ayu.
Aksi kejar-kejaran pun terjadi.Ayu dan Ajeng terus memacu kecepatan berlarinya. Tiba-tiba dari depan ada seorang guru killer bernama Pak Ikbal yang siap menceramahi mereka bertiga.
"Mencar, Jeng. Mencar!" bisik Ayu.
"Tapi ..." Ajeng benar-benar tidak tahu.harus berbuat apa.
"Sekarang!" seru Ayu.
Ajeng refleks berbelok ke kiri dan Ayu memilih berbelok ke kanan. Dan Andin seketika terkejut dengan pergerakan tiba-tiba yang dilakukan oleh kedua temannya.
Dan ... hap!
Tanpa bisa dicegah, jari telunjuk tangan Andin yang masih tertempel upil sudah mampir di mulut Pak Ikbal.
Ajeng seketika menoleh ke belakang mencoba mengetahui keadaan sahabatnya namun tiba-tiba ... BUG!
Ajeng menabrak seseorang. "Aduh!" serunya.
Namun, alih-alih melihat siapa orang yang ditabraknya, Ajeng langsung bersembunyi di belakang siswa tersebut. Pikiran Ajeng terfokus kepada Andin yang mukanya sudah pucat pasi.
Ajeng benar-benar takut, dia sampai memposisikan kepalanya di ketiak siswa yang ditabraknya. Untungnya ketiak itu wangi.
Di tempatnya, Andin membeku, dia benar-benar terkejut dan merasa ketakutan setengah mati karena orang yang berhasil mendapatkan upilnya bukan kaleng-kaleng, Pak Ikbal, guru paling killer seantereo sekolah.
Andin yang pucat pasi sampai lupa menarik tangan Andin. Pak Ikbal lansung mengeluarkan tangan muridnya. Andin bergetar di tempatnya.
"Apa ini asin-asin, Andin?" tanya Pak Ikbal.
Andin membeku di tempatnya.
"Jangan bilang upil, jangan bilang upil ..." Ajeng merapalkan kata-kata itu berharap Andin tidak mengatakan hal serupa kepada Pak Ikbal.
"U-upil, Pak." jawab Andin sambil meringis.
Pak Ikbal seketika berjalan ke saluran air dan memuntahkan isi perutnya yang baru saja di isi di sana.
"Aduh, mati gue." Ajeng hendak menepuk jidat namun dia seketika sadar kalau dirinya tangah memeluk dan masuk di ketek seseorang.
Ajeng yang tersadar langsung meloloskan diri dan mengamati siswa yang ditabrak dan dipeluknya. Seketika matanya membelalak kaget.
"K-kak Dafa?" tanya Ajeng seakan tidak percaya dengan siapa yang dilihatnya.
Di tempatnya, Dafa terkekeh saat melihat tampang terkejut Ajeng.
"Eh, M-maaf, Kak. A-aku nggak sengaja." kata Ajeng langsung mencoba menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi.
"Ajeng! Ayu! Ke mari kalian!" seru Pak Ikbal.
Ajeng meringis di tempatnya, "Aduh, metong gue metong ..." gumam Ajeng menyedihkan.
"Lo lucu banget sih. Namanya siapa?" tanya Dafa.
"Sayang. Eh, astaga maksud aku .. maksud aku." seketika Ajeng merasa kalau dia mulai kehilangan fokusnya, dia bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan sederhanya mengenai siapa namanya.
"Ajeng! Saya hitung sampai tiga. Satu!" seru Pak Ikbal.
"Maaf, Kak." kata Ajeng.
Ajeng pun langsung berlari ke arah Pak Ikbal. Dia sangat sedih saat ini, ada dua hal yang membuat dirinya sedih, pertama karena dia menghilangkan kesempatan untuk melakukan pedekate dengan kakak kelas pujaan hatinya dan dia dia harus merelakan tubuhnya untu mendapatkan hadiah berupa hukuman.