Kemarahan Albert

1357 Kata
Aneke mendapat senjata untuk menghancurkan Valery dan menendang calon anak tirinya itu keluar dari dalam istana Albert. Sebuah testpack yang ia yakini adalah milik Valery. Dengan bukti testpack tersebut dia yakin Albert akan murka pada anaknya yang telah mencoreng nama baik keluarga. Bagaimana tidak, Valery adalah anak satu satunya keluarga besar Albert yang dikenal sebagai keluarga baik baik, bahkan perselingkuhannya dengan Aneke sebisa mungkin ditutupi oleh Albert agar nama baiknya tidak tercoreng. Namun anaknya sendiri yang melakukan kesalahan fatal. Saat ini, Aneke sedang menanti kepulangan calon suaminya yang tengah mengurus toko perhiasan di beberapa Mall besar di Jakarta. Setelah tadi dia sudah mengirim pesan singkat pada Albert. Ia tengah duduk bersandar di sofa ruang keluarga dengan santai. Hingga akhirnya kedatangan Valery yang tiba-tiba membuatnya terkejut. "Tante tadi masuk ke kamar aku, ya? Untuk apa Tante masuk ke kamar aku di saat aku sedang di kamar Mama? Tante mau mencuri apa di dalam kamarku?" cecar Valery yang berdiri di belakang Aneke. Aneke berdiri dari sofa lalu berjalan mendekati Valery, "Maksud kamu apa Val? Siapa yang masuk ke dalam kamarmu? Tante sama sekali tidak mengerti dengan tuduhan-mu itu. Untuk apa juga Tante masuk ke dalam kamarmu?" kelit Aneke sambil memegang bahu Valery. Valery menepis tangan Aneke dengan kasar lalu menatap tajam. "Jangan mencoba membohongiku Tan. Aku tahu Tante baru saja keluar dari dalam kamarku. Apa yang Tante cari di sana? Tante ingin mencuri apa? Hah!" Valery semakin emosi. "Valery kok kamu tega sih bicara begitu sama Tante? Apa buktinya kalau memang Tante masuk ke dalam kamarmu? Tante juga tidak pernah mengambil apapun di dalam sana. Kalau kamu memang tidak suka dengan Tante, tidak perlu kamu menuduh Tante seperti itu. Tante sama sekali tidak pernah mencuri apapun. Untuk apa? Semua yang diberikan oleh Papamu sudah lebih dari cukup untuk Tante." Valery menatap Aneke dari ujung kepala sampai ujung kaki, kemudian dia meraba tubuh Aneke mencari sesuatu yang disembunyikan oleh perebut suami ibunya itu. "Kamu ngapain sih Val? Kamu mencari apa? Tante sama sekali tidak. mengambil apapun dari dalam kamarmu." Aneke masih bersikap seolah dia adalah orang yang teraniaya, walau sebenarnya Valery tahu busuknya hati wanita di depannya. "Mungkin Tante bisa membohongi Papa dengan sikap sok baik Tante itu, tapi semua itu tidak berguna di depanku. Aku tahu siapa Tante dan apa tujuan Tante mendekati Papaku! Tante tidak akan mendapatkan apa yang Tante inginkan!" cecar Valery menahan gejolak amarah di dalam d**a. Valery merogoh saku celana yang dikenakan Aneke dengan kasar. Masih mencari sesuatu yang diambil dari dalam kamarnya. "Apa sih yang kamu cari? Tante sama sekali tidak mengambil apapun dari dalam kamarmu," dusta Aneke. "Diam! Atau aku akan melaporkan Tante ke polisi!" bentak Valery emosi. "Siapa yang ingin kamu laporkan ke polisi? Hah? Lancang sekali kamu bicara seperti itu!" bentak Albert yang baru pulang ke rumah setelah mendapat kabar mengejutkan dari Aneke. Ya, Aneke sudah mengirim foto testpack pada Albert lengkap dengan segala penjelasan dari mana dia mendapatkan alat test kehamilan tersebut. Awalnya dia mengira Albert belum membaca pesan darinya, tetapi ternyata .... Aneke mengulum senyuman saat mendengar Albert murka pada Valery. Rencananya berjalan mulus. Ia melangkah mundur lalu berlari ke arah Albert yang masih berdiri di ambang pintu rumah. "Mas," ucapnya memeluk Albert. "Sepertinya Valery marah karena aku mengetahui rahasia besarnya." Aneke menangis terisak. Valery membulatkan kedua matanya, "Rahasia apa? Apa maksud ucapanmu? Hah?" cecar Valery semakin emosi. Aneke semakin membenamkan kepalanya di d**a bidang Albert. "Aku hanya tidak ingin kamu malu, Mas. Itu sebabnya aku memberitahumu. Apa aku salah?" "Kamu tidak salah, yang salah itu dia! Dasar anak tidak tahu diri. Tidak tahu di untung! Bisanya hanya menyusahkan saja! Kamu dan Ibumu sama. Wanita tidak berguna yang hanya bisa mempermalukan keluarga!" cecar Albert melangkah maju mendekati Valery. Valery diam mematung, masih tidak mengerti dengan ucapan sang ayah. Apa maksud Albert mengatakan semua itu? "Maksud Papa apa?" tanyanya tidak mengerti. Albert mendengus. Berjalan dengan emosi mendekati sang anak, satu tangan diangkat ke atas lalu ... "Anak tidak tahu diri!" Satu tamparan keras mengenai pipi Valery hingga meninggalkan bekas merah menyala berbentuk jemari tangan. Valery sesak dalam d**a, ia menangis merasakan sakit yang menjalar ke seluruh wajahnya. Rasa panas dan perih terasa sampai ke relung hati. Untuk pertama kali seumur hidupnya dia dipukul oleh ayahnya sendiri. Ayah yang dulunya sangat ia banggakan dan ia sayangi. Ayah yang dulunya sangat ia kagumi, bahkan membuatnya memimpikan suami seperti sang ayah. Namun sekarang, perasaan bangga, kagum dan sayangnya berubah menjadi benci mendalam. Semua karena wanita ular yang masuk ke dalam rumah tangga kedua orang tuanya. "Papa," isak Valery menatap lirih. "Papa mukul aku?" Ia menangis sejadi-jadinya. "Papa tidak hanya akan memukul kamu. Tapi Papa juga akan mengusir kamu dari rumah ini! Dasar anak tidak tahu diri! Kamu dan ibumu sama! Sama sama pembawa sial! Pergi kalian dari rumah ini! Bisanya hanya bikin malu keluarga saja!" bentak Albert menunjuk pintu keluar. Valery membulatkan mulutnya membentuk O besar, sambil memegang pipinya yang memerah ia terus menangis terisak. "Maksud Papa apa? Papa mengusirku dari rumah ini?" "Iya! Kamu Papa usir dari rumah ini! Dan bawa juga Ibumu yang lumpuh itu! Bawa dia pergi jauh dari rumah ini! Kalian berdua tidak pantas tinggal di sini!" bentak Albert semakin emosi. "Kenapa? Kenapa Papa mengusirku dan Mama? Ini rumah yang dibeli menggunakan uang Papa dan Mama!" "Cih! Mamamu tidak pernah mengeluarkan uang sepeserpun untuk membeli rumah ini! Semua ini dan seisinya adalah rumah yang Papa beli dengan keringat Papa sendiri! Kalian harus pergi dari rumah ini dan mulai sekarang aku bukan Papamu lagi! Aku tidak sudi memiliki anak perempuan murah-an sepertimu!" bentak Albert. "Perempuan muraha-n? Maksud Papa?" Valery terhenyak. "Yang murahan itu dia! Bukan aku!" Ia menunjuk Aneke yang berdiri di belakang ayahnya. "Beraninya kamu menghinanya!" Albert kembali mengangkat tangannya. "Mas. Sudah, jangan emosi. Kasihan Valery," tahan Aneke. "Kamu lihat? Wanita yang selalu kamu hina, dia memiliki hati sebaik Malaikat. Dasar anak tidak tahu diri. Lebih baik kamu keluar dari rumah ini. Bawa Ibumu dan anak di dalam kandunganmu itu! Aku yakin kamu tidak tahu siapa ayah dari anakmu. Iya kan? Dasar wanita ja-lang! Bikin malu keluarga saja!" Valery menghapus air matanya lalu menatap Albert dan Aneke dengan tatapan tajam. "Aku akan pergi dari rumah terkutuk ini! Asal Papa tahu, Papa akan menyesal melakukan semua ini padaku dan pada Mama!" "Cih! Yang akan menyesal itu kamu!" balas Albert lalu berjalan mengikuti Valery yang melangkah menuju kamar. "Jangan bawa apapun selain pakaian kalian! Semua barang di rumah ini adalah milikku!" cecar Albert. Valery tidak mengambil apapun. Dia hanya memindahkan ibunya dari atas tempat tidur ke atas kursi roda dibantu oleh Bibi Innah. Ia membawa ibunya keluar dari dalam kamar dan hanya membawa pakaian yang melekat di tubuh mereka. "Aku membeli mobil itu dengan uangku sendiri!" cecar Valery lalu keluar dari rumah menuju garasi mobil. Albert berjalan dengan gontai menuju sofa. Tenaganya terkuras habis karena marah-marah. Ia memegang d**a yang terasa sesak lalu mengatur napasnya. "Aku tidak menyangka, anakku bisa melakukan perbuatan yang membuat malu keluarga," ucapnya. "Sabar Mas, sabar. Tenangkan dirimu. Aku yakin setelah ini, Valery akan menyadari kesalahannya." "Terima kasih karena kamu selalu ada untukku," ucap Albert memeluk Aneke erat. *** Valery naik ke dalam mobil bersama ibunya yang hanya bisa menangis. Ya, Ganie hanya bisa pasrah menerima nasibnya. Ia mendengar dengan jelas kemarahan Albert pada anaknya. "Nona, sama Nyonya sudah yakin mau pergi dari rumah ini?" isak Bi Innah tak dapat menahan tangisan. "Kami sudah diusir Bi, tidak mungkin kami bertahan di sini terus," jawab Valery. "Yang sabar ya, Nyonya, Nona Valery. Semoga setelah ini kehidupan kalian akan menjadi jauh lebih baik." "Aminn," ucap Valery. "Kami pergi dulu ya, Bi. Jaga diri Bibi baik-baik." "Nona Valery juga, tolong jaga Nyonya dengan baik." Bi Innah menangis sejadi-jadinya. Valery melajukan mobil keluar dari halaman rumah Albert setelah pintu pagar dibuka oleh satpam di rumahnya. "Kita mau ke mana, Sayang?" tanya Ganie lirih. "Cari Hotel yang murah untuk menginap satu malam. Besok aku akan meminta Hanna untuk mencari kontrakan di dekat perusahaan BarTex, agar aku tidak mengeluarkan banyak uang untuk membeli bensin," jawab Valery. Ganie mengangguk pelan lalu menatap anaknya, "Apa benar, kamu sedang mengandung?" DEG! Ternyata ibunya mendengar semua yang dikatakan ayahnya tadi. Ia menghela napas panjang lalu mengangguk pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN