Di mansion Levin.
Charles melangkah masuk ke rumah mewah berlantai dua itu dengan langkah buru-buru. Namun, langkahnya terhenti tatkala ia mendengar satu suara familiar yang memanggil namanya.
“Charles.”
“Yes, Mom?” jawab Charles kepada wanita paruh baya itu dengan ramah.
Dia adalah Maria Levin, satu-satunya wanita yang sangat Charles cintai. Meski bertemu dengan ratusan wanita lain pun, tidak ada yang bisa menggantikan cintanya pada Maria Levin. Wanita itulah yang membawanya lahir ke dunia ini dan mengajarkan tentang kehidupan. Terlalu banyak jasa berharga Maria yang tidak bisa Charles gantikan dengan bayaran apa pun.
“Mom ingin menagih janjimu, Sayang,” ucap Maria tiba-tiba.
Charles mengerutkan alisnya bingung, tidak pernah ada dalam otaknya ia berhutang atau memberikan janji-janji aneh pada ibunya. “Maksud Mom apa? Charles punya janji apa sama Mom?” tanya pria tampan itu, masih belum mengerti maksud sang Ibunda.
Maria mengambil napas panjang dan menggelengkan kepala melihat tingkah laku pura-pura tidak tahu anaknya.
“Kamu bilang sama Mom kalau tahun ini kamu bakalan menikah, kan? Tapi mana buktinya sekarang? Kamu tidak pernah membawa pulang wanita untuk dikenalkan pada Mom. Lagian usia kamu sudah tidak muda Charles. Keburu tambah tua!” ucap Maria mantap.
Begini-begini, Maria sangat mengkhawatirkan anaknya yang tampak tidak tertarik dengan perempuan itu.
Kali ini giliran Charle yang menarik napas panjang. Lagi dan lagi, yang menjadi bahan diskusi panas keduanya adalah menikah dan menikah. Charles benar-benar belum siap untuk menikah. Ini bukan tanpa alasan. Maria sendiri seharusnya juga tahu alasannya apa. Charles susah lelah dengan topik ini.
“Mom, Charles belum siap untuk menikah.” Entah sudah berapa kali Charles mengulangi jawaban ini pada Maria.
“Memangnya sampai kapan kamu siap, Charles?” desak wanita itu. Ia sudah muak mendengar jawaban Charles. “Kamu itu sudah dewasa, sudah mapan, mau menunggu apa lagi?”
“Mom ....,” keluh Charles sama lelahnya. Ia ingin setidaknya Maria melupakan topik itu barang seminggu saja.
“Apakah kamu menunggu Mom mati baru kamu mau menikah? Kamu tidak kasihan sama Mom yang kesepian karena ingin mencari teman berbincang dan cucu untuk ditimang?”
“Mom … listen,” tegas Charles.
Akan tetapi, Maria tidak membiarkan anak laki-lakinya berbicara. “Kamu bisa bawa siapa saja ke hadapan Mom sama Dad, kok, Charles. Kami pasti setuju sama pilihan kamu, Nak. Kami tahu kamu pasti bisa memilih wanita mana yang cocok untuk kamu habiskna hidup bersama,” rayu Maria dengan tatapan nanar.
Muncul ide nakal di benak Charles. Ia menyeringai dan menggoda Maria, “Bagaimana kalau Charles menikah sama ladyboy saja?”
“Kamu beneran mau menikah sama ladyboy?” tanya Maria. Charles mengangguk mantap. “Ya sudah, tidak apa-apa kalau itu bisa buat kamu bahagia,” jawab sang mama dengan tegas.
“Mom?” Charles mengerutkan dahinya. Kebingungan.
“Dini!” panggil Maria dengan keras, dengan harapan agar suaranya bisa menggapai setiap sudut rumah agar wanita yang ia panggil bisa mendengarnya.
“Iya, Nyonya!” jawab seorang wanita yang sedikit lebih muda dari Maria. Ia berlari denagn terburu-buru menuju Nyonya rumah. Dia adalah Dini, kepala pelayan dan sekaligus pembantu pribadi Maria.
“Nyonya, mau saya melakukan apa?” tanya Dini patuh setelah berdiri tepat di depan sang majikan.
“Sekarang juga kamu terbang ke Thailand! Siapakan barang-barang kamu! Biar saya pesankan tiketnya! Bawakan saya seorang ladyboy secepatnya!” perintah Maria yang sukses membuat Dini dan Charles kaget.
“Bawa apa tadi, Nyonya?”
“Mom, jangan bilang-?!”
Maria memotong cepat kalimat putranya. “Iya, Mom bantu kamu cari seorang ladyboy untuk kamu nikahi! Jangan bilang kamu cuma bercanda?!” jawabnya lugas.
“No, Mom! Please, Charles cuma bercanda tadi! Charles masih normal, kok, Mom! Please don’t do that,” ucap Charles cepat dan menarik kembali ucapannya.
Charles tidak menyangka jika Maria akan sangat serius menikahi anaknya dengan ladyboy. Bergidik ngeri Charles membayangkan jika dirinya harus menikahi kaum sejenis. Meskipun sudah melakukan operasi transgender, tetap saja menjijikkan.
“Jadi?” Maria melemparkan tatapan serius.
“Okay! Charles bakalan menikah secepatnya, tapi bukan sekarang,” putus Charles.
“Kapan?” tanya Maria butuh kepastian.
Charles berpikir keras, lalu memutuskan, “Kasih Charles waktu dua bulan, Mom. I promise, I will be getting married. As soon as possible!” Charles akhirnya mengalah dengan kemauan sang mama.
Maria memicingkan tatapannya, mencari kebenaran di wajah anaknya. “Mom pegang kata-katamu, Charles.”
“I will keep my promises,” janji Charles yang terdengar sangat meyakinkan. “Sekarang Charles mau ke kamar, capek mau istirahat,” imbuh Charles lagi.
Sebelum melanjutkan langkahnya menuju kamar, pria tampan itu berbalik dan menghampiri sang mama. Charles memeluk Maria dengan hangat dan erat, kemudian mendaratkan ciuman di kedua belah pipi kiri dan kanannya untuk menunjukkan seberapa besar ia menyayangi sang mama meski mereka selalu berdebat mengenai pernikahannya.
***
“Om, Tante, Kok kalian wajahnya muram gitu?” tanya Sofia setelah melihat om dan tantenya yang sedang tertekuk wajahnya. Mereka duduk di ruang tengah sembari merenung seolah sedang memikirkan masalah yang sangat berat.
Wanita itu melirik Sofia, lalu memanggilnya, “Sofia, sini, Nak. Ada yang mau kami bicarakan denganmu.” Percy, sang tante, memanggil Sofia sambil menepuk sofa di sampingnya yang kosong.
Sofia yang kebingungan pun menuruti Percy dan duduk tepat di sebelahnya. “Ada apa, Tante? Apa ada yang bisa Sofia lakukan untuk kalian?” tanya Sofia khawatir.
Percy menyentuh lutut Sofia dengan hangat seolah sedang berusaha untuk menenangkan wanita itu. “Tadi itu, mamanya Derry datang ke rumah, Sayang. Dia bilang jika pesta pertunangan kalian di batalkan.”
Percy menarik napas panjang. “Lalu beliau minta kamu buat balikin apartemen yang sudah Derry hadiahkan buat kamu,” imbuh Percy lagi dengan wajah sedih. Matanya tidak mau menatap Sofia karena merasa berat memberitahukan informasi mendadak ini.
‘Kukira mereka sedih karena apa,’ batin Sofia lega. Sofia mengulas senyum dan mengambil tangan sang tante dari lututnya. Ia menggenggamnya erat, menyalurkan perasaan ‘tidak perlu khawatir’. “Tante, Om, kalian tidak usah sedih begitu. Sofia baik-baik saja, kok. Sofia memutuskan hubungan dengan cowok itu. Di dunia ini, laki-laki bukan hanya Derry saja, kok.”
“Lagian …”
Sofia memutuskan untuk menceritakan semua yang telah terjadi pada dirinya dan Derry, tentang bagaimana ia menemukan pria berengsek itu sedang selingkuh dan tidur dengan wanita lain, apalagi wanita itu adalah sekretarisnya. Wajah om dan tante Sofia seketika merah padam mendengarnya.
“Apa? Jadi mamanya Derry memutar cerita dong!” seru om Sofia.
“Sepertinya begitu. Kalian tenang saja. Sofia tidak sedih meski mereka meminta kembali apartemennya. Sofia tidak mau berurusan lagi dengan Derry, bahkan sampai berhutang budi kepada keluarganya. Lebih baik Sofia cari laki-laki lain yang lebih baik saja,” putus Sofia.
“Terus bagaimana dengan apartemen yang sekarang kamu tinggali?” tanya Percy.
“Aku berani bersumpah kalau apartemen itu aku kredit pakai nama aku sendiri. Aku juga membayarnya dengan uang hasil kerja kerasku, tidak ada campur tangan Derry sama sekali, Tante,” jelas Sofia panjang lebar.
“Ternyata! Bukan cuma tukang selingkuh, mereka juga tukang bohong!” geram Percy. Amarah Percy sudah mencapai ubun-ubun.
Ingin sekali rasanya Percy mencakar wajah pria dan ibunya yang tidak tahu malu itu. Bisa-bisanya mereka telah merusak nama baik Sofia. Akan tetapi, Percy menahan amarahnya dengan menarik napas dan mengelus dadanya.
“Om sama Tante percaya sama kamu, Sofi. Sekarang kamu istirahat saja, ya? Apa kamu jadi menginap di sini?” tanya om Sofia yang sduah mendengarkan cerita yang sesungguhnya dari Sofia.
Sofia mengangguk cepat. “Aku menginap, kok, Tante! Lagian ada teman aku yang numpang nginap di apartemen.”
“Ya sudah, kamu istirahat saja.”
Belum jauh Sofia melangkah mau ke kamarnya. Ponselnya tiba-tiba bergetar menandakan ada panggilan masuk. Dengan cepat wanita itu merogoh tasnya, lalu mengeluarkan alat canggih itu dari dalam sana. Matanya menatap layar yang masih lagi menyala dan menunjukkan siapa yang sednag memanggilnya malam-malam begini.
“Duh, ini ada apa lagi, sih?” keluh Sofia setelah membaca nama yang tertera pada layar ponselnya. Ia menggeser tombol hijau ke samping kemudian melekapkan ke telinganya. “Halo?”
“Jawab panggilan saja lama sekali?!” serobot suara pria dari ujung sana membuat Sofia memutar malas kedua bola matanya jengah.
Sofia berusaha menenangkan dirinya agar tidak emosi dengan sikap atasan barunya itu. “Ada apa, Tuan Charles?”
“Share loc, sekarang!”
“Share loc? Emang mau ngapain?” tanya Sofia aneh. Ini sudah di luar jam kerja mereka.
“Kamu share loc sekarang atau saya perintahkan anak buah saya buat mengobrak abrik seluruh kota ini buat nyari kamu?” ancam Charles. Sepertinya dia tidak main-main dengan kalimatnya membuat bulu kuduk Sofia merinding.
“Iya! Iya! Sebentar lagi akan saya share loc,” ucap Sofia panik.
“Now!”
Tuut …
Seperti biasa, Charles sekali lagi mematikan telepon secara sepihak setelah selesai memberikan perintahnya pada Sofia tanpa basa-basi.
“Ini orang kesambet apa, sih? Padahal udah malam juga. Mau istirahat aja susah mah kalo begini,” omel Sofia dan tak kunjung melaksanakan perintah dari atasannya itu.
“Siapa yang barusan nelpon? Derry?” tanya suara tiba-tiba.
“Astaga, Om! Kaget aku. Bukan, kok. Ini Bos saya yang menelpon,” jawab Sofia jujur tanpa menyembunyikan fakta apa pun.
“Om kira si Derry yang menelpon.” Pria itu berlalu menuju dapur dan meninggalkan Sofia.
Ting!
Satu pesan masuk ke dalam aplikasi hijau. Dengan cepat Sofia membukanya.
|| Charles galak.
Tiga puluh menit, kamu harus sudah berada di luar rumah.
Jangan biarkan saya menunggu walau sedetik!