"Raya haruskah kusakiti hati wanita yang dulu pernah menyakitiku?"
Aku berbalik menatap Gabrian iba. Laki-laki itu terlihat begitu rapuh. Apa sebenarnya dia masih menyimpan rasa terhadap Nabilah? Lalu jika dia memang masih menyukainya kenapa Gabrian sengaja menyakiti hati wanita itu? Ah cinta memang rumit. Jika memang masih cinta apa susahnya berkata jujur?
"Dengarkan aku baik-baik pak Gabrian. Jika kau merasa sakit saat melihat seseorang terluka, itu artinya kau peduli padanya. Peduli itu tanda bahwa kau juga masih punya perasaan pada orang itu. Saranku, jangan buat dia merasakan apa yang dulu pernah kau rasakan. Jika kau tidak menyukainya lagi, maka lepaskan dia secara baik-baik. Tapi jika kau masih menyukainya, maka jujurlah sebelum kau kehilangan kesempatan untuk mengatakanya."
Gabrian perlahan-lahan mulai melepaskan tanganku. Aku tidak tau harus bersikap seperti apa untuk membuat hatinya merasa lebih baik. Yang pasti aku tidak akan memeluknya sama seperti dia memelukku waktu dulu. Bersikap seperti itu sungguh bukan tipeku. Apalagi aku juga tidak akrab dengan Gabrian.
Karna Gabrian tak kunjung membuka suara, aku memutuskan untuk meninggalkanya sendiri. Lagi pula apa yang dialami oleh Gabrian adalah sesuatu yang memang harus dia tanggung. Dia yang sengaja berbuat demikian maka dia juga yang harus siap dengan konsekuensinya.
Sesaat setelah meninggalkan ruangan Gabrian, ingatanku kembali pada Arron. Apakah yang terjadi terhadap Nabilah dan Gabrian sama dengan apa yang terjadi terhadapku dan Arron? Mungkinkah Gabrian dulunya menyukai Nabilah dan Nabilah memutuskan untuk menghindari Gabrian sama seperti yang ku lakukan terhadap Arron saat ini?
Menyadari hal itu aku langsung meraih ponselku dan segera menghubungi Arron. Aku tidak boleh terus-menerus mendiamkan keadaan ini. Bisa jadi aku akan semakin melukai Arron jika tidak segera memperbaiku hubungan kami. Tak berapa lama terdengar suara malas-malasan Arron di ujung telpon.
"Ada apa?"
"Arron apa hari ini kau sibuk?"
Lama dia diam sebelum menjawab. Aku tau dia juga merasa bersalah terhadap hubungan kami yang jadi canggung seperti ini.
"Raya jika kau bermaksut untuk membahas hubungan di antara kita, sepertinya aku masih belum bisa membahasnya."
"Kenapa kita jadi seperti ini sih? Apa kau memang harus menghindariku terus-terusan? Aku merindukan kebersamaan kita Arron."
Suaraku tercekat. Aku hampir menangis saat mengatakanya. Jujur aku sangat kehilangan Arron. Apa kesalahan sehari yang terjadi waktu itu harus menghancurkan hubungan persahabatan yang sudah kami bina beberapa tahun belakangan ini? Apa sekarang Arron jadi seegois itu?
"Kau mungkin bisa bersikap biasa saja Raya tapi tidak denganku. Sekarang setiap melihatmu hatiku rasanya sakit. Jadi kumohon biarkan aku sendiri dulu. Mungkin saja jika kita mulai menjauh maka perasaan sukaku padamu akan sedikit berkurang."
"Arron..."
"Ku mohon mengertilah sekali ini saja. Dan satu hal lagi berhentilah membuatku dan Grisella terlihat seperti orang bodoh. Jika aku menyukainya maka aku akan langsung mengatakanya, kau tidak perlu jadi pahlawan diantara kami."
"Maksudku tidak seperti itu Ron."
Air mataku akhirnya jatuh. Mungkin Arron berpikir aku ingin jadi pahlawan, tapi sesungguhnya aku hanya tidak mau menyakiti hati Grisella.
"Raya jika memang kau tidak bisa menyukaiku, maka jangan paksa aku menyukai Grisella. Itu saja."
Arron memutuskan sambungan telpon secara sepihak. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Aku menangis terisak-isak di tangga darurat kantor. Aku tau tempat ini adalah tempat yang paling aman untuk menangis. Akhirnya hubungan kami hancur. Entah bagaimana cara memperbaikinya.
***
Pulang kerja aku mengirim chat WA ke Arron. Aku berencana untuk menemui sahabat baikku itu. Aneh. Setelah kuperhatikan lebih teliti ternyata nomorku sudah di blokirnya. Sejak kapan Arron memblokir nomor ponselku? Apa sebenci itu dia padaku? Apa dia benar-benar tidak ingin mempertahankan persahabatan kami?
"kenapa belum pulang?"
Saat sedang kebingungan Gabrian yang entah muncul dari mana tiba-tiba datang mengagetkanku. Sontak ponsel yang semula sedang kupegang jadi jatuh ke lantai.
"Astaga kau mengagetkanku bodoh."
Aku meraih ponselku sembari terus mengomel. Beruntung ponselnya masih menyala dan tidak mengalami kerusakan.
"Hei Raya aku membebaskanmu memanggilku dengan sebutan apa saja bukan berarti kau bisa memanggilku seenaknya seperti itu."
"Sorry. Itu karna kau mengagetkanku Gabrian."
"Siapa suruh kau melamun."
"Sudahlah aku tidak ingin bertengkar. Apa kau akan langsung pulang. Kau tidak sibukkan?"
Gabrian menggeleng.
"Kalau begitu antar aku menemui Arron. Ada sesuatu yang harus kuluruskan pada laki-laki itu."
"Kalian bertengkar? Pantas saja akhir-akhir ini Grisella lebih banyak diam di rumah."
"Sudahlah jangan banyak tanya."
Segera kutarik Gabrian ke arah parkiran. Setelah hampir satu bulan bekerja di perusahaanya aku tau pasti dimana laki-laki itu sering memarkirkan mobilnya. Ah andai aku sudah punya mobil, aku tidak perlu repot-repot meminta bantuan orang lain seperti ini. Terlebih lagi dia adalah Gabrian orang yang menurutku sedikit menyebalkan.
Setelah mobil berjalan cukup jauh Gabrian mulai membuka percakapan.
"Sebenarnya ada apa? Grisella juga lebih banyak murung akhir-akhir ini."
"Entahlah. Aku tidak yakin."
"Kau tidak mau cerita? Siapa tau aku bisa membantumu."
Aku diam sejenak. Apa aku harus meminta pendapat dari Gabrian?
"Gabrian sebenarnya apa yang terjadi diantara kau dan Nabilah dulu? Sepertinya apa yang terjadi padaku dan Arron sama seperti apa yang terjadi pada kalian berdua."
Aku menghela nafas berat. Gabrian tampak bingung setelah aku menanyakan perihal hubunganya dan Nabilah. Sebelum menjawab Gabrian menatapku dan menggelengkan kepalanya. Entah apa yang ada dipikiran laki-laki itu.
"Aku dan Nabilah memang teman baik seperti kau dan Arron Raya. Tapi kemudian kami memutuskan untuk pacaran setelah yakin kalau kami punya perasaan lebih dari sekedar teman. Ah kenapa aku malah mengatakan hal konyol ini padamu. Jadi katakan padaku apa yang terjadi padamu dan Arron?"
"Kau membosankan. Jika kau memutuskan untuk mengatakanya seharusnya kau selesaikan ceritamu."
"Kenapa harus aku? Bukankah kau orang yang sedang punya masalah? Yang pasti cerita kita tidak sama Raya. Aku dan Nabilah pernah pacaran tapi berakhir, apa kau dan Arron juga seperti itu?"
"Tidak. Aku tidak berani menerima perasaan laki-laki itu."
Akhirnya aku mengatakanya. Entah bagaimana Gabrian bisa membuatku bercerita dengan nyaman. Sama seperti saat dia menenangkanku yang patah hati karna kak Vino, kali inipun dengan mudah aku bisa bersikap terbuka padanya. Bisa jadi alasanya karna sampai saat ini Gabrian adalah orang yang bisa menjaga rahasia. Buktinya tidak ada seorangpun yang mengetahui rahasia besar yang sampai saat ini kami sembunyikan.
"Jadi Arron sudah menyatakan perasaanya padamu? Kenapa kau tidak mau menerimanya? Apa karna Grisella?"
Aku yang semula hanya menatap datar ke arah jalanan kini berpaling menatap Gabrian. Dia tau perasaan Grisella?
"Sejak kapan kau mengetahuinya?"
"Dia adikku Raya. Aku tau dengan pasti seperti apa perasaan Grisella pada Arron."
Aku kembali menatap jalanan.
"Gabrian apa yang akan kau lakukan jika ada di posisiku?"
"Jangan tanya padaku Raya. Tanya dirimu sendiri apa yang sebenarnya kau mau. Tapi ingat jangan sampai apa yang kau pilih malah menyakiti hati semua orang."
"Jadi hati siapa yang boleh kusakiti? Jika memilih menerima Arron, maka Grisella akan terluka. Tapi jika memilih untuk menolaknya..."
"Fokus pada hatimu Raya. Kau tidak perlu memikirkan orang lain. Lihat aku, walaupun akhirnya aku tersakiti tapi kemudian aku masih bisa melanjutkan hidupku dengan baik. Begitu pula Arron dan Grisella. Mungkin untuk sesaat mereka akan sangat terluka, tapi yakinlah waktu akan membawa luka mereka pergi."
Aku menatap Gabrian takjub. Ternyata dia bisa bersikap dewasa dalam menyikapi lukanya. Tapi sejauh yang kulihat luka di hati Gabrian belum sepenuhnya mengering.
"Kau tidak pantas mengatakan kata-kata sebijak itu Gabrian. Sangat tidak kontras dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hidupmu. Waktu tidak sepenuhnya membawa lukamu pergi. Nyatanya disaat Nabilah datang, luka itu terbuka kembali."
"Tapi setidaknya Arron dan Grisella bisa belajar dari pengalamanku. Lihatlah aku masih bisa menjalani hidupku dengan baik walaupun tidak bersamanya."
"Terserah kau sajalah."
Sepanjang sisa perjalanan ke rumah Arron, aku dan Gabrian hanya diam saja. Sesekali dia melirikku atau aku meliriknya yang tetap fokus pada jalanan. Sesampainya di rumah Arron aku mengajaknya untuk mampir, tapi Gabrian langsung menolak dengan alasan tidak ingin memperkeruh hubunganku dan Arron.
***
Aku mengetuk pintu rumah Arron dengan ragu. Tidak seperti biasanya kali ini aku bersikap sopan ketika bertamu ke rumah Arron. Saat membukakan pintu, bik Umi pembantu di rumah Arron tampak heran dengan perubahan sikapku. Biasanya aku akan meneriakan nama Arron dan langsung masuk ke rumah tanpa permisi.
"Arron ada bik?"
"Ada non. Tumben non Raya bertanya dulu baru masuk, biasanya langsung masuk saja ke kamar den Arron. Lagi berantem ya non?"
Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan bik Umi dan langsung menuju ke lantai atas untuk menemui Arron. Sesampainya di depan kamar Arron aku jadi sedikit ragu untuk mengetuk pintu kamar itu mengingat percakapanku dan Arron di telpon tadi. Apa dia begitu marah padaku?
Baru saja akan mengetuk pintu kamar Arron, pintu tersebut sudah lebih dulu terbuka. Arron sedikit terkejut melihatku berdiri di depan pintu kamarnya.
"Arron."
"Sejak kapan kau berdiri disana Raya? Ada apa?"
Arron bertanya sambil mempersilahkanku masuk. Aku tau dari sikapnya dia benar-benar masih marah padaku.
"Aku baru saja akan mengetuk pintu kamarmu."
Setelah aku menjawab, tak ada lagi kata yang terdengar. Kami berdua sama-sama diam. Aku bingung harus mulai dari mana. Lama kami terdiam, sampai akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada Arron.
"Arron tidak bisakah kita bersikap biasa saja seperti dulu? Bukankah dulu kita selalu berbaikan lagi meskipun sering bertengkar?"
Arron masih diam. Sepertinya dia sudah bosan membahas masalah ini terus-terusan.
"Kenapa cuma diam? Apa kali ini aku benar-benar tidak bisa dimaafkan?"
"Raya memaafkan itu adalah perkara mudah, tapi untuk kembali bersikap seperti dulu rasanya aku tidak bisa."
"Kenapa Ron?"
Arron kembali diam. Apa yang harus kulakukan agar Arron mau memaafkanku? Haruskah aku memohon padanya?
"Arron ku akui selama ini aku terlalu egois hingga tanpa sadar aku selalu mengutamakan Grisella dan terus mengabaikanmu. Aku bukan sengaja mau melakukanya, aku hanya berharap dengan begitu aku masih bisa menjaga persahabatan kita. Aku tidak menyangka sikapku yang seperti itu malah menyakiti hatimu. Aku minta maaf Arron."
"Kita sudah sering membahasnya Raya. Kali ini biarkan aku tetap pada pilihanku. Jika aku menjauh, mungkin saja kau akan mengerti arti keberadaanku di sisih mu."
Aku terdiam. Jika Arron tetap bertahan dengan pendirianya maka dapat dipastikan aku akan kehilangan Arron. Tapi jika aku mulai membuka diri untuknya, maka Grisella pasti akan menjauhiku. Apa boleh kali ini aku berada di sisi Arron dan mencoba mengabaikan perasaan Grisella?
"Raya jika sudah tidak ada lagi yang mau kau sampaikan sebaiknya kau pulang"
Tak kuhiraukan perintah Arron yang memintaku untuk segera pulang. Hatiku masih berkecamuk antara membuka hati untuk Arron atau membiarkanya pergi menjauh.
"Raya..."
"Arron bagaimana kalau kita coba untuk pacaran?"
Seketika Arron menatapku terkejut. Dengan yakin aku membalas tatapan mata Arron. Kali ini sudah ku putuskan. Aku akan menerima perasaan Arron. Sudah terlalu sering laki-laki ini kusakiti. Sudah terlalu sering aku menyangkal perasaanya.
"Jangan mengasihaniku Raya."
"Aku tidak mengasihanimu Arron. Kali ini aku benar-benar ingin menerima perasaanmu."
"Sudahlah. Aku tau siapa orang yang ada di hatimu, jadi jangan coba untuk mengasihaniku. Aku sudah cukup terluka dengan penolakanmu Raya, jadi jangan terima aku jika hanya karna kasihan."
"Jadi apa maumu? Aku salah jika aku menolakmu, kali ini kau menganggap aku mengasihanimu jika aku menerimamu. Jadi aku harus apa Arron?"
"Aku tidak memintamu untuk menerima cintaku Raya, tapi tolong jangan abaikan perasaanku dan menganggapnya tidak ada hanya karna kau mengasihani Grisella. Hanya itu permintaanku padamu."
Arron sudah berdiri ingin pergi, tapi aku segera menahan tanganya. Aku tidak ingin kehilangan Arron. Sungguh dia teman terbaikku. Aku tidak akan sanggup jika tanpa dia. Akhirnya air mataku mengalir. Aku tau aku sangat menyayangi Arron.
"Aku tidak akan mengabaikanya lagi Arron. Aku menyayangimu."
Mendengar tangisku Arron segera berbalik dan memelukku. Aku semakin terisak dipelukanya. Ini kali pertama kami bertengkar lebih dari 3 hari.
"Maafkan aku Raya. Aku tidak bermaksud membuatmu bersedih."
Aku terus menangis dalam pelukan Arron. Arron terus membujukku untuk segera diam dan berjanji tidak akan mengabaikanku lagi. Akhirnya tangisku reda. Kulepaskan pelukan Arron dan menatap laki-laki itu lekat. Kali ini aku sudah bertekad, aku ingin membahagiakan laki-laki ini.
"Arron ayo kita pacaran."
Arron terperangah tidak percaya dengan permintaanku. Sekali lagi dia membawaku ke pelukanya. Hatiku seketika jadi menghangat. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan dari apapun kecuali kembali berbaikan dengan Arron.
Suara ponsel Arron yang terletak di atas meja membuat kami segera melepaskan pelukan satu sama lain sambil saling melempar senyum. Arron terlihat sangat bahagia sambil meraih ponselnya.
"Hallo ada apa Gris"
Ternyata Grisella yang menelpon. Aku mengelengkan kepalaku ke arah Arron agar dia mengerti kalau aku tidak mau Grisella tau kalau aku sedang bersamanya.
"Hei kenapa menangis? Ada apa?"
Arron terlihat sedikit panik saat mendengar Grisella menangis. Ada apa? Apa terjadi sesuatu pada Grisella?
"Apa?"
Arron menjatuhkan ponselnya setelah mendengar sesuatu dari Grisella. Mukanya langsung berubah pucat. Seketika Arron terduduk lemas di lantai kamarnya. Ada apa? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
To be continue...