Episode 3

1155 Kata
Aku berusaha lapang d**a dan menerima penolakan Anyelir. Mau bagaimana lagi, semua memang salahku. Andai aku tidak bodoh dengan menikahi Kinanti secara diam-diam hanya karena kasihan pada gadis itu, tentu semuanya tidak akan seperti ini. Rumah tanggaku dan Anyelir tidak akan luluh lantak seperti sekarang. Anyelir tidak akan menganggapku sebagai sosok yang harus dihindari dan ditolak keberadaannya. Kuhembuskan napas begitu mencapai pintu rumah. Rumah yang kutempati bersama Kinanti dan Dianti—anak Kinanti. Kami tidak hanya tinggal bertiga, karena Pak Hidayat—ayah dari Kinanti juga tinggal di sini. Terpaksa aku menerima Pak Hidayat tinggal di sini, karena tidak mungkin membiarkan pria berusia senja itu tinggal seorang diri di Bandung sana. Juga tiga ART yang membantu Kinanti untuk mengurus rumah dan Dianti. Ya, tiga ART. Berbeda dengan Anyelir yang bersedia mengurus rumah, aku dan anak-anak dengan tangannya sendiri. Kinanti terlalu manja untuk melakukan itu semua. Selama dua tahun pernikahan kami, bisa dihitung baru berapa kali perempuan itu menginjakkan kakinya di dapur untuk memasak. Selama ini, Kinanti hanya menyusun daftar menu yang untuk dimasak oleh ART kami. “Masih ingat pulang?” Suara itu terdengar ketika aku hendak membuka pintu ruang kerjaku. Selama ini, memang aku lebih senang tidur di ruang kerja dari pada di kamar pribadiku bersama Kinanti. “Aku mau tidur,” jawabku tanpa perlu memutar tubuh menghadap Kinanti. “Sudah bisa ketemu dia, makanya ingat pulang?” Kinanti kembali bertanya dengan nada menyindir yang menyebalkan. Memang, sudah beberapa hari ini aku memilih tidur di mess pabrik setelah pertemuanku dengan Anyelir tempo hari. Rasanya aku malas sekali untuk pulang ke rumah saat itu, terlebih bertemu dengan Kinanti yang selalu mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan penuh kecurigaan dan menyudutkan. “Bukan urusanmu!” ketus aku menjawab. “Silakan pergi, aku ingin tidur dan tidak mau diganggu!” usirku padanya. “Kak Adi jahat sekali ke aku. Kalau tahu aku akan diperlakukan seperti ini, lebih baik aku ….” “Lebih baik apa?” tanyaku menantang dan refleks membalikkan badan menghadapnya. Menatapnya tajam! Kinanti menggeleng lemah dan kudapati maniknya sudah diselimuti kaca-kaca tipis. Namun hal itu sama sekali tidak membuatku mengasihaninya. Tanpa menunggu Kinanti menjawab atau pergi dari sini, aku masuk ke dalam ruang kerjaku. Mati rasa aku pada Kinanti karena gadis itu sudah membawa petaka di hidupku! Pagi harinya, tak kutemukan Kinanti, Dianti maupun Pak Hidayat di ruang makan. Hanya ada salah seorang ART yang tengah menyiapkan makanan di meja makan. “Kinan ke mana, Bi?” tanyaku pada ART yang berusia pertengahan empat puluhan ini. “Tadi Bu Kinan, Dianti dan Abah pamit pergi ke Bandung, Pak, katanya ada keperluan mendadak,” beritahu ART ku. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih atas informasi tersebut. Jika benar mereka pergi ke Bandung, mengapa Kinanti tidak pamit atau memberitahuku? Lekas kuambil ponsel yang tertinggal di ruang kerja. Ah rupanya, Kinanti sudah berpamitan melalui pesan singkat. Dan aku hanya sebatas membacanya tanpa berniat untuk membalas pesan tersebut. Setidaknya, Kinanti masih menganggapku sebagai pemberi modal untuk kehidupannya, jika dia enggan menganggapku sebagai suami. Selagi Kinanti pergi aku memutuskan untuk bermalas-malasan hari ini. Aku berencana menyelesaikan pekerjaanku dari rumah saja, karena kebetulan juga tidak ada jadwal bertemu dengan klien hari ini. Membaca email dan berbagai laporan, kunyalakan lagu-lagu klasik dengan volume rendah untuk memecah keheningan ruangan ini. Aku juga membuka lebar jendela kaca ruangan ini, agar pengap di ruangan ini tergantikan udara segar dari luar sana. Kebetulan, ruang kerjaku ini menghadap pada taman belakang yang dipenuhi tanaman hijau yang tumbuh subur, juga menghadap pada kolam renang. Nyaman sekali digunakan untuk bekerja. Terlebih sekarang tidak ada Kinanti maupun Dianti yang akan menggangguku. Kuistirahatkan mata yang sudah lelang memandangi angka-angka di monitor. Kuluruskan punggung sejenak, menyeruput kopiku dan berjalan menuju tepi jendela. Senyumku terbit begitu saja kala menyaksikan dedaunan yang saling bergesekkan karna tertiup angin. Dulu, aku dan Anyelir kerap duduk di taman belakang untuk sekadar menikmati kue-kue buatan wanita itu seraya menikmati secangkir teh hangat. Sembari bergandengan tangan, kami membahas tumbuh kembang Lathif dan Syahreza, atau membahas rencana finansial kami kedepannya. “Aku ingin memiliki bisnis sendiri A, suatu saat nanti,” ucap Anyelir kala itu. Kepalanya ia sandarkan pada bahuku dan aku berkali-kali mengecupi surainya yang beraroma bunga. “Bisnis apa?” “Mungkin pastry. Menurut penilaian orang-orang terdekat kita, pastry buatanku enak. Menurut Aa bagaimana?” tanyanya dengan wajah berbinar. “Enak sekali,” jawabku jujur yang membuat wajah Anyelir kian berbinar. Dan Anyelir benar-benar mewujudkan impiannya itu. Bisnisnya berkembang sangat baik, hingga sudah memiliki tiga cabang dalam kurun waktu dua tahun. Tapi sayangnya, bukan aku yang menjadi salah satu support system Anyelir dalam membangun bisnisnya. Bukan aku yang menjadi tempat berbagi keluh kesah wanita itu. Dan bukan aku yang dijadikan tempatnya bersandar di kala lelah. Dering ponsel menghentikan apa pun yang tengah kupikirkan tentang Anyelir. Panggilan video dari Ibu rupanya. “Assalammu’alaikum, Bu,” jawabku menjawab panggilannya, setelah wajah Ibu terlihat di layar monitor. “Wa’alaikumsalam, Nak. Kamu masih di rumah? Nggak ke resto, Nak?” tanya Ibu dari seberang sana. Terlihat sekilas, Ibu sedang berada di teras rumah. “Hari ini saya kerja dari rumah, Bu. Mumpung Kinanti nggak di rumah,” jawabku. Lantas terdengar helaan napas panjang dari bibir Ibu dan ponsel digenggamannya kini berpindah tangan. Kini berganti wajah Bapak yang muncul di layer ponsel. “Nak, kalau memang rumah tanggamu sudah tidak bisa dipertahankan dan kamu sudah tidak berniat untuk mempertahankannya, kenapa kamu tidak menceraikan Kinanti saja? Kasihan dia, kalau kamu terus-terusan bersikap ketus ke dia.” Dan itu adalah suara Bapak yang tengah membeikan nasihat untukku. “Bapak ini bagaimana, malah nyuruh anaknya cerai?” Suara Ibu memprotes di samping Bapak. “Ya dari pada nikah tapi cuma status saja dan nggak saling cinta. Tidur juga pisah kamar. Sudah dua tahun lho ini, Di. Kamu nggak kasihan sama Kinan?” Kembali Bapak bertanya. “Nanti saya pikirkan dulu ya, Pak.” Sejujurnya mudah saja menceraikan Kinanti karena pernikahan kami hanya sebatas pernikahan siri. Hanya saja, selama ini aku memilih bertahan karena tidak ingin hidupku semakin rumit setelah menceraikan perempuan itu. Aku malas mendengar rengekan dan kalimat-kalimat penuh drama darinya. Juga aku malas harus mencari-cari alasan agar bisa terlepas sepenuhnya dari genggaman Pak Hidayat setelah menceraikan puteri keduanya itu. Jujur dari hatiku terdalam, soal materi memang aku tidak keberatan untuk membantu Kinanti dan keluarganya. Terlebih, mereka adalah bagian dari keluarga Melati—wanita yang dulu begitu aku cintai. Namun semakin hari aku semakin sadar, jika kebaikanku ini justru dimanfaatkan oleh kedua orang itu. Contohnya ketika aku pergi keluar kota dalam waktu yang cukup lama, mereka akan mengundang kerabat dan kawan-kawan mereka untuk berpesta di rumah tanpa seizinku. Aku jelas murka karena hal itu terjadi tidak sekali dua kali saja. Tapi berkali-kali dan membuat kacau seisi rumah ini. Aku bahkan sampai mengusir Pak Hidayat dari rumah ini pada waktu itu. Namun karena rengekan Kinanti yang kuanggap seperti rengekan Melati, aku meminta Pak Hidayat untuk pulang. Karma? Ya mungkin benar ini karma untukku karena telah menyakiti Anyelir. Lagi. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN