Boy POV.
“Yang!!, kamu cuti berapa hari untuk temenin aku di sini?” tanya Nadine sudah selesai mandi.
Aku sampai batal masuk kamar mandi.
“Kamu mau lama liburannya?” tanyaku.
Dia menggeleng.
“Aku juga ada kerja Yang, seminggu cukup kali ya kita di sini, kamu pasti butuh holiday jugakan?” jawabnya bertahan menatapku.
“DEAL!!” cetusku lalu dia bersorak.
Aku tertawa dan buru buru menyelesaikan mandiku.
“Hotpants?” ejekku melihat penampilan segar pacar cantikku begitu aku selesai mandi.
Dia tertawa.
“Aku mau holiday tuan muda, masa mesti pakai gaun?, aku bukan mau pergi ke pesta dansa” jawabnya.
Aku tertawa.
“Tutup mata!!’ perintahku sebelum membuka handuk yang melilit di pinggangku setelah beranjak ke tepi ranjang yang sudah tersedia baju gantiku.
“Aku udah lihat, paling tidur pisang sunpridemu, gak akan jadi pisang tanduk” jawabnya santai.
Aku menggeleng pelan.
“Wow” ejeknya saat aku memakai bokserku dengan terburu.
“Hunn…don’t bother me…” rengekku karena dia mendekat dan menarik handukku.
Dia terbahak.
“Aku mendadak h***y Yang…” rengeknya.
Aku menghela nafas lalu tolak pinggang di hadapannya.
“And so….” tantangku.
“Cium…” undangnya setelah tiduran telentang di ranjang.
Aku merangkak juga di atas tubuh pasrahnya, dan dia tertawa saat aku bertahan di posisiku yang setengah menindihnya.
“Hei!!” protesnya karena aku menyipratkan air dari rambut basahku.
Aku tertawa.
“Yang….” rengeknya sambil memeluk leherku.
“Hm…”
“Keceh banget sih?”
“Kamu lagi rayu aku ya?”
Dia tertawa.
“Emang kelihatan?” tanyanya.
“Aku tau semua tentang kamu, masa lupa” jawabku.
Dia tertawa lagi.
“Mau apa?” tanyaku lalu merubah posisiku jadi tidur menyamping di sisinya.
Dia ikutan beringsut tiduran miring menghadapku.
“Mau tanam pisang” cetusnya lalu tangannya mengusap bokserku.
Aku tergelak dan mulai was was. Jadi setan kecil lagi.
“Di pikir pikir, aku rugi banget ya, punya pacar keceh, tajir kaya kamu, trus pinter juga, tapi aku belum rasain bercinta sama kamu” jawabnya lalu tangannya merambat naik ke perutku.
Aku cekikikan.
“GELI IH!!” kataku menyingkirkan tangannya.
Dia jadi cemberut.
“Aku sayang gak mau” keluhnya.
Aku tertawa lalu memeluk kepalanya. Kalo pasangan lain, mungkin sudah ngos ngosan dengan posisi dan kesempatan seperti kami, aku malah takut ya?. Aku normal gak sih?. Pantas kawan kawan Nadine selalu bilang aku gay. Keselkan?.
“Kamu gak berani tidurin aku, kamu tapi berani gak tidurin cewek lain?” tanyanya dan membuatku terbelalak.
“Gila kamu!!” omelku jadi melepaskan diri dan tidur terlentang.
Dia menyanggak kepalanya lagi dengan satu tangan, dan tangan lain mengusap perutku lagi dengan jari telunjuknya.
“Yang…” rengekku.
“Rengek doang, tapi pisangnya tidur tuh” ejeknya.
Aku menggeram lalu menindihnya lagi sampai dia memekik lalu terbahak.
“Jangan coba coba aku!!, kamu taukan berapa umurku?, selama itu juga aku belum pernah ngapa ngapain, jadi kamu gak bisa mengukur seberapa beringas pisangku” omelku.
Malah ngakak.
“Tes drive dong” tantangnya.
Emang mesti aku makan juga kali nih nona muda, jadi aku tarik paksa kaos yang dia pakai dan dia malah tertawa padahal sudah topless. Aku serang juga dengan ciumanku. Dadanya, lehernya, juga paha mulusnya, sampai dia bergerak gelisah dan mendesah hebat. Jangan tanya gimana kondisiku, sudah pasti menggila, seiringan dengan hasratku yang merambat naik.
“STOP!!!” jeritnya dan aku menghentikan semua.
“APA LAGI???” bentakku kesal.
Malah dorong tubuhku dari atas tubuhnya.
“Udah ah, mager, lagian cuma mau tau, tuh pisang sunpride bisa berubah jadi pisang tanduk apa gak” jawabnya santai sekali.
“Astaga….” desisku bercampur geraman karena si pisang sudah mulai bertanduk.
Dia terbahak lalu santai pakai kaosnya lagi.
“Pakai baju Yang…ayo jalan jalan….mau naik sepeda” rengeknya.
Aku sampai melempar bantal ke hadapannya karena kesal dan dia malah terbahak keras.
“Dih, tuan muda kesel…” ejeknya.
Aku terbelalak lalu bangkit dari ranjang.
“SAKIT TAU!!, di bikin kenceng, trus berhenti, kamu pikir enak!!” bentakku lagi.
Dia ngakak lagi.
“Kamar mandi ada sabun, mau aku bantu urut gak?” guraunya.
Aku abaikan dan buru buru pakai bajuku, kaos dan celana pendek, sesantai penampilannya.
“Cayang….” rengeknya merayuku yang bersiap memakai sepatu ketsku yang juga dia siapkan.
“Yang ih!!” omelku melepaskan pelukannya dari belakang kepalaku.
“Cayang aku, cayang aku, cayang aku” rapalnya mencium pipiku dari samping berulang kali sampai aku selesai pakai sepatu.
“Ayo jalan, kamu eror kelamaan di kamar” ajakku.
Dia tertawa lalu turun dari ranjang dan memakai sepatu ketsnya juga. Aku jadi menonton paha mulusnya dan dia cengar cengir meledekku.
“Yuk cayang!!, pergi yuk!!’ ajaknya merangkul lenganku keluar kamar hotel.
Mana mungkin bisa ngambek lama pada pacarku yang memang bawel. Mulutnya punya kemampuan bicara tanpa henti.
“Kita mau kemana?” tanyaku begitu di lobi hotel.
“EIFELL, kan I’m in love” jawabnya centil.
Aku tergelak, lalu membantunya masuk mobil yang akan mengantar kami. Ini holiday yang benar, tidak ada yang kami bawa, selain dompet dan handphone. Kami santai berbaur dengan turis lain, lalu ikutan foto foto norak seperti turis lain. Sayang tidak bawa kamera, jadi harus cukup puas dengan kamera handphone.
“Santai dong mukanya, gak usah acting jadi bos TV, gak bisa apa?” ejek pacarku batal mengajakku selfie.
Aku terbahak dan dia asyik memotoku yang terbahak.
“Gitu dong, gak pantas bos kaya kamu, keliatan punya beban hidup berat, duitmu meteran, masa depanmu cerah, punya calon istri keceh…”
“Tapi bawel” potongku dan dia terbahak lalu merangkul lenganku lagi mendekat ke arah penyewaan sepeda.
“Harusnya di Kota Tua tuh, yang jaga sewaan sepeda, keceh keceh kaya bule gini ya Yang, jadi banyak kali yang bakal sewa, ini masa babeh babeh yang mukanya ngajak perang” komennya.
Aku terbahak.
“Atau gak, tuh noni noni Belanda KW yang sibuk foto sama turis, harusnya di karyakan buat jadi tukang sewa sepeda, pasti laku keras deh penyewaannya” tambahnya lagi dan membuatku terbahak lagi.
Kami lalu naik sepeda dan terus menerus tertawa.
“Andai ya objek pariwisata di negara kita di manageman dengan baik, pasti akan banyak menghasilkan devisa untuk negara. Orang luar negeri jadi tidak hanya kenal Indonesia dengan Bali doang. Tapi tau Jogja, Solo, Danau Toba, Bunaken, Raja Ampat, Dieng, hadeh, aku kadang gemes tau gak sih” keluhnya lalu menyedot minuman yang aku belikan setelah puas main sepeda.
“Kenapa gak mulai jadi duta pariwisata juga?” tanyaku.
Dia menoleh menatapku.
“Kenapa kamu gak buka usaha bisnis tempat wisata di Lombok, Raja Ampat atau Labuan Bajo, buat hotel atau Resort mewah, suruh bang Andra design kalo perlu suruh bang Brie buat jalannya, bekerja sama dengan Kementrian PUPR, jadikan destinasi wisata keren, kalo semua bekerja sama?” balasnya.
Aku tertawa.
“Lalu aku akan semakin sibuk, dan pacarku di gondol orang” jawabku.
Dia terbahak.
“Sayang banget ya sama aku?” tanyanya.
“Masih nanya sih Nad?” tanyaku jadi kesal.
Dia tertawa.
“Cium….” rengeknya memonyongkan mulutnya.
“Hei, banyak orang” tolakku.
Dia celingukan.
“Paris, siapa perduli, sepanjang jalan kita lewatin, banyak banget orang santai cipokan, kali cewek sama cowok doang, yang laki sama laki, atau cewek sama cewek aja ada” jawabnya.
Aku tertawa lalu merangkul bahunya.
“Bukan Indo Yang….yang banyak CCTV, gak ada wartawan yang bakalan foto kita, atau emak emak gibahin perawan sama bujang cipokan. Kamu tuh darah British tapi mental Indo” ejeknya.
“Hei, akukan nasionalis” bantahku.
Dia cemberut dan aku tertawa.
“Nih cium!!” gantian aku memonyongkan mulutku dan dia bersorak saat langkah kami terhenti lalu memeluk leherku dan mencium bibirku.
“BADASSSSS, YOUNG LADY” jeritku setelah ciuman kami terlepas, dan dia terbahak lagi.
Liburan dengan Nadine itu sebenarnya menyenangkan. Dia jarang mengeluh cape, apalagi merengek minta pulang, atau ribut bosan. Pengalamannya bertemu banyak orang dan banyak kalangan, membuatnya kaya ilmu. Mengobrol soal apa pun nyambung. Aku kadang terkaget kaget mendapati dirinya, yang dulu aku kenal malas sekali belajar, jadi berubah menjadi sosok yang cerdas. Ya bukan berarti dia tahu banyak hal. Ada kalanya dia juga tidak tau, tapi dia punya cara untuk mencari tau.
Nadine itu tipe yang punya public speaking bagus sekali. Setiap lawan bicaranya, pasti nyaman untuk mengobrol dengannya. Dia tidak terlihat mendominasi, tidak suka menyela, dan pendengar yang baik. Kalo di mintai pendapat baru dia bicara. Selebihnya dia mendengar, walaupun kadang aku lihat dahinya berkerut, atau wajahnya tersenyum. Beda sekali pokoknya. Pacarku sudah bermetamorfosis menjadi sosok cerdas dan punya intelektual.
“Enak aja bilang, Indonesia negara kecil, aku ajak jalan kaki , juga bakalan gempor” omelnya setelah mengobrol dengan seorang turis asing.
Aku tertawa.
“Masa dia bilang Asia itu, ya Singapure, Cina, dan Korea Selatan doang. Indonesia punya 17 ribu pulau, matanya bakalan juling kalo lihat peta Indonesia. Lihatnya Google sih yang cuma kenal negara Asia yang dia sebut” omelnya lagi sambil merangkul lenganku menjauh dari si turis.
Aku tertawa lagi.
“Kenapa gak kamu undang datang ke Indo?, fasilitasi dengan akomodasi dan transportasi. Trus ajak keliling destinasi wisata di Indonesia” saranku.’
Dia menggeleng.
“Bukannya dia, blogger dan youtuber pariwisata beken?” tanyaku lagi.
“Aku hilang minat. Jadi impulser itu harusnya Objektif, jangan subjektif. Dia bilang sendiri belum pernah ke Indonesia, kok bisa langsung judge, kalo gak ada yang menarik di Indo. Dia pikir dia siapa?, gemes aku, harusnya aku tunjukin video kemenangan timku tadi malam, biar dia melongo. Baru tarian, belum makanan, rumah adat, alat transportasi local, bahasa daerah” omelnya lagi.
Aku tertawa lagi.
“Trus kenapa gak kamu kasih tau videonya?” tanyaku.
Kali ini dia berdecak.
“Gak akan dapat apa apa, berdebat dengan orang yang sudah terlanjur bersikap subjektif. Hanya akan jadi perdebatan panjang tanpa hasil. Mau aku berbusa ngoceh sampa mulutku kram, dia tetap akan bertahan dengan argumennya, itu yang buat aku malas. Aku sudah terlalu sering bertemu dengan orang macam itu” jawabnya.
“Kalo sefaham sama kamu, kamu pasti gak akan sesewot ini” ejekku.
Dia melotot menatapku.
“Mana ada, kalo pun dia sefaham dengan pendapatku, aku akan bahas sisi kekurangan dari pendapatku, supaya aku tidak sombong dan tinggi hati, jadi siap belajar menerima masukan. Kamu emang gak merasa, aku, Opie, dan Pipit, yang nasionalis sekalipun, kami tetap sadar, kalo banyak kekurangan dari bangsa kita, atau negara kita. Itu yang justru menarik untuk bahan diskusi, kan nanti jadi dapat jalan keluar kalo kita nanti berdiskusi. Gak akan dapat apa apa juga Yang, kalo misalkan kita sefaham dengan seseorang trus malah kita ikut membanggakan pendapat kita, dan mengabaikan kekurangan pendapat kita. Kapan belajar menerima masukan kalo seperti itu” jawabnya.
Aku tersenyum.
“Pinter sih kamu?” gurauku.
“Kalo aku bego, pasti udah di kadalin kamu!!” jawabnya dan aku terbahak.
Tuh menyenangkan sebenarnya. Karena liburan bersama dan di jalani dengan mode santai, kami jadi bisa mengamati keadaan sekitar tempat yang kami kunjungi. Dari perilaku orang orang, makanan, komunikasi antara sesama, baik local warga Paris, atau turis. Over all, jadi banyak diskusi ringan juga antar kami. Tidak ada yang ngerti jugakan bahasa Indonesia?.
“Lihat tuh Yang, aneh ya mereka tuh, santai gak pake BRA, tapi nanti ribut nenennya kendor, salah sendiri gak di sanggah BRA” komennya karena memang banyak cewek cewek yang jelas jelas seliweran tanpa BRA.
Aku tertawa.
“Kamu sagne gak sih lihatnya?, kacamata cowok kebanyakan ya?, jangan kacamata BOY SEBASTIAN SMITH yang aku bugil depan kamu, kamunya tetap anteng” lanjutnya.
“Aku pura pura anteng doang, aslinya aku kenceng” sanggahku.
“Oya?” ejeknya memutar mata.
Aku tertawa. Aku jujur aja dia gak percaya.
“Sagne gak Yang?” tanyanya lagi.
Aku menatap sekilas, cewek bule lumayan cantik yang di maksud Nadine.
“Gak” jawabku.
Dia tertawa.
“Loh benaran, gak perlu aku remes aja, udah pasti lembek, kamu gak lihat turun gitu” jawabku lagi.
Baru ngakak pacarku.
“Bukan laki fantasi terbesarnya nenen ya?, di film blue, buktinya suka yang ukuran nenennya gak masuk akal” ejeknya.
“Aku pengecualian” jawabku.
“Masa?” tanyanya mengejek.
“Gede gede buat apa?, gak muat di mulutku. Kecil malah bagus, muat di mulutku, gak tumpah tumpah, yang kecil itu justru bikin gemes Yang” jawabku sambil meremas sebelah dadanya.
Dia memekik lalu terbahak. Aku ikutan terbahak.
“Aku juga gak suka pisang sunpride yang terlalu gede” katanya sambil tersenyum menggodaku.
Aku tertawa.
“Seaku cukup gak?” gurauku.
“Lumayanlah, Opie bilang punya laki itu cukup matinya 10 cm, hidupnya 15 cm. Cukuplah!!” jawabnya lalu terbahak.
Aku ikutan terbahak. Kenapa jadi obrolan seperti ini sih?.
“Apalagi kak Ocha bilang, yang udah tahunan jadi pawang uler. Gede doang percuma Yang, kalo bengang bengong, gak apa kecil, yang penting ngacak ngacak” katanya lagi.
Aku semakin terbahak.
Sampai hotel dan malam datang yang buat aku pening. Kadang kadang pacarku sakit jiwa juga. Buat aku stress kalo dia sudah mode sakit jiwa.
“Buka celana Yang!!” perintahnya setelah aku bergabung di kasur.
“Mau apa?, aku cape, mau tidur, kakiku pegel” tolakku.
“Eh, aku lupa ukur, pisangmu itu matinya sampe gak 10cm, tar aja aku gak bisa jawab kalo Opie sama Pipit tanya aku, kan aku malu” jawabnya.
Aku menggeram lalu memeluk tubuhnya agar berhenti bersikap gila. Dia ngakak dalam kungkungan tubuh besarku. Mungil sekali tubuh Nadine tuh, untung tinggi, tapi wajahnya tetap aja kelihatan segar dan muda.
“Ayo Yang kita bercocok tanam” ganggunya padaku yang mulai terpejam.
“Malas, nanti kamu jerit” tolakku masih terpejam.
Dia tertawa.
“Ngepasin pala deh, eh tapi kamu udah sunat belum sih?” ejeknya.
“NADDDDD!!!!” jeritku kesal dan memeluk kepalanya supaya dia berhenti tertawa dan menggangguku.
“Night Boi…” akhirnya menurut tidur juga.
“Night Nad…” jawabku bersamaan ciumanku di kepalanya.
Begitu saja kerjaan kami selama seminggu di Paris. Hanya main, luntang lantung di tempat wisata Paris, malamnya tidur berpelukan, setelah bercanda trus. No shopping dan no s*x berlebih. Paling ciuman atau pelukan dan saling menggoda. Aku semakin bisa mengendalikan diri walaupun kami tidur seranjang. Tapi…awas aja, kalo kami sudah nikah, gak akan aku lepas sampai dia teriak mohon aku berhenti. Terkesan kejam, habis dia selalu siksa kewarasanku trus.
Aku ribet lagi, waktu kami akhirnya pulang, setelah seminggu di Paris. Aku sih santai menghadapi pertanyaan mamiku.
“Kamu lamar Nadine di Paris?” tanya mami begitu mendengar aku sudah pulang dari Paris.
“Belum mih” jawabku.
“Trus , Nadine hamil gak?” tanya mami lagi dan membuatku menyemburkan kopi yang aku minum.
Mami malah bersikap seakan tidak berdosa sudah membuatku tersedak.
“Pih!!, mami ngomong apa sih?” omelku.
Papi menghela nafas.
“Loh salah mami dimana?, kalian berduaan loh di Paris, sekamar, masa gak oh yes oh no” jawab mami.
Papi ngakak dan aku cemberut.
“Ari kamu teh, normal gak sih?” tanya mami dan membuatku melotot.
Astaga…mamiku meragukan kejantananku. Aku jadi malas ngomong.
“GAY!!” jawabku asal.
“Astagfirullah…pih, kumaha ini?, bawa ke dokter atuh, masa kita nanti gak punya cucu” dan membuatku menggeram.
Papi ngakak lagi.
“Pih gak bantu amat sih?” protesku.
“Loh, bantu apa?, papi bisa cari tau dokter kandungan mana kamu bawa Nadine sampai dia gak hamil hamil, atau dokter kesuburan untuk tes tingkat kesuburanmu?” jawab Papi.
Aku menggeleng saking frustasi.
“Kalian kenapa sih?” keluhku.
“Gak kenapa kenapa, tapi jadi kenapa kenapa karena kamu bilang belum lamar Nadine, atau Nadine yang belum hamil juga. Terus kapan kalian nikah?” jawab mami.
Astaga….jadi gila gini. Andai aku punya abang atau adik, pasti aku tidak harus di tekan untuk cepat nikah begini.
“Yakan gak bisa mami ngomong trus aku sama Nadine langsung nikah” sanggahku.
Mami diam dengan wajah cemberut. Papi sih tetap kelihatan santai.
“Ngebet banget sih aku sama Nadine nikah, kami masih muda mih” kataku lagi.
“Masalahnya, papimu udah gak muda lagi, mami juga, trus calon mertuamu juga. Biar kami tenang. Kamu pikir, kami gak khawatir, lihat kalian malah santai kesana kemari berduaan trus?” omel mami.
Aku mengacak rambutku.
“Kapan aku berduaan terus sama Nadine?, kita punya kesibukan kok” jawabku.
Mami cemberut lagi.
“Sudah mih, papi sudah kasih tenggat sama Boy. SETAHUN!!, ingat Boy pembicaraan kita di lift, dan papi gak akan terima lebih dari itu” kata papi melerai.
Begitu aja mami masih cemberut.
“Gak bisa di tawar apa?, setahun?, kalo kredit mobil, udah bisa di bawa kabur orang” keluh mami lagi.
Astaga…….