Dua minggu setelah kejadian buruk beruntun yang mengguncang hidupnya, Bunga berusaha tegar. Ia mulai berpikir untuk mencari pekerjaan dan menjalani takdir yang telah Tuhan gariskan, dengan senyuman.
Dari pintu ke pintu, ia menawarkan keahlian dan ijazah miliknya. Meskipun wajah cantik itu sudah dihiasi dengan lipstik bernada merah muda, sesuai dengan warna kulitnya. Tetapi ia tetap tidak dapat menutupi kesedihan pada kedua bola matanya.
Hidupnya terlalu hancur sama dengan jiwanya. Tidak ada satu pun yang dapat dijadikan alasan untuk bertahan. Sambil menahan air mata dan kesedihan, Bunga menapaki langkah di sebuah perusahaan keuangan sembari menaruh harapan besar di dalamnya.
Namun, baru saja melangkah pada pintu kaca yang disusun 2 berjajar, tubuh mungil itu ditabrak oleh perempuan lainnya. Dengan cepat, ia terperosok ke bawah serta jatuh.
"Lain kali, kalau jalan pakai mata dong!" pekik perempuan yang tampak glamor sambil menunjuk wajah Bunga. "Jalan aja nggak becus, apalagi kerja. Heh," ejeknya dalam gerutu panjang.
Perempuan malang itu berusaha untuk mengangkat tubuhnya dengan cepat. Namun tiba-tiba saja, ia merasakan pusing yang luar biasa dan tubuh itu kembali terjatuh tidak sadarkan diri.
"Astaga, Mbak. Kamu kenapa?" tanya seorang pegawai bersih-bersih di kantor tersebut.
Melihat Bunga kian pucat, cleaning service membawanya ke rumah sakit dibantu oleh seorang satpam untuk diperiksa. Walau bagaimanapun, perempuan itu jatuh di depan kantor di mana si cleaning service bekerja. Selain itu, ia juga merasa iba terhadap Bunga.
Setelah 45 menit, Bunga tersadar dan berusaha untuk menegakkan tubuhnya. Lalu ia menatap sekeliling sambil menerka apa yang telah terjadi.
"Dok!" panggil si cleaning service sesuai dengan pesan dokter sebelumnya, bahwa jika Bunga sudah sadarkan diri, maka ia harus segera memanggil.
"Di mana ini?" tanya Bunga sambil menatap satu-satunya orang yang berada di sisinya.
"Ruang IGD, Mbak," jawab sih cleaning service sambil menatap dan tersenyum.
"Maaf, sudah merepotkan." Bunga menatap sayup. "Siapa namanya?"
"Nggak apa-apa, Mbak," jawab si cleaning service santun. "Saya Indah."
"Saya Bunga."
Sedang memperkenalkan diri, dokter masuk dengan langkah cepat seraya tersenyum. "Selamat sore!" sapanya lembut.
"Silakan, Dokter!" kata Indah seraya mundur beberapa langkah.
"Apa yang saya derita, Dokter?"
Dokter menarik kedua sisi bibirnya sama rata, "Anda tidak sedang sakit, melainkan hamil. Usia kandungannya sekitar lima minggu dan ini sangat rentan," jelas dokter tersebut.
Seketika, mata Bunga berbinar dan hatinya berbunga. Ini adalah kebahagiaan pertama setelah penderitaan yang datang tanpa ampun.
"Serius, Dokter?" tanya Bunga seraya menahan air mata dan mengelus perutnya yang masih ramping. "Ini adalah berita terindah," ucapnya yang tidak lagi mampu membendung air mata.
"Jika saya tidak salah, kemungkinan ada dua. Denyutnya terasa sama-sama kuat. Untuk lebih jelasnya lagi, Anda bisa memeriksakan si cabang bayi, setelah berusia di atas 6 bulan. Biasanya, jika kembar, maka akan terdeteksi dengan akurat pada usia tersebut," jelas sang dokter yang masih tersenyum.
"Oh ... Terima kasih, Dok. Terima kasih ya Allah ... ." Bunga meremas kedua tangannya karena tidak ada satu pun yang bisa ia peluk untuk berbagi kebahagiaan saat ini.
"Selamat ya, Bu. Jangan lupa untuk menebus resep dan menjaga pola hidup agar sehat!"
"Terima kasih, Dokter," ucap Bunga sekali lagi dan ia merasakan memiliki kekuatan baru.
Dokter keluar dari ruangan IGD bersama senyum yang sama cemerlangnya dengan Bunga. Tampaknya, kebahagiaan seorang pasien sama dengan kebahagiaannya.
"Selamat ya, Mbak," kata Indah yang juga ikut tersenyum.
"Terima kasih banyak, Indah."
***
Keesokan harinya, Bunga memutuskan untuk kembali ke rumah tuan Sanur. sejak semalam, ia berusaha untuk mengumpulkan keberanian karena memiliki sesuatu yang begitu berharga untuk diberikan kepada nyonya Susan, tuan Sanur, dan juga suaminya.
Bersama detak ketakutan, perempuan berparas dewi tersebut menaiki kendaraan sebanyak dua kali, hingga ia tiba di kota dan kembali bergerak menggunakan ojek di pangkalan yang sering ia naiki ketika kuliah dulu.
"Bunga! Apa kabarnya?"
"Sehat, Pak."
"Lama nggak kelihatan loh," ujarnya sembari memberikan helm kepada Bunga yang sudah duduk di belakangnya.
"Bunga pulang ke rumah bapak dan ibu. Ibu meninggal dunia, Pak."
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Yang sabar ya bunga!"
"Iya, Pak. Sekarang, antar ke rumah Lucky ya, Pak!"
"Iya, baiklah."
Bunga dan sopir ojek langsung bergegas menuju ke kediaman tuan Sanur, yang sangat dihafal lokasinya. Sebab, sopir tersebut sering mengantarkan Bunga ke rumah di mana almarhumah ibunya bekerja selama ini.
Setibanya di lorong pertama sebelum menggapai rumah megah bernuansa putih keemasan tersebut, ada pemandangan yang tampak janggal.
Rumah yang biasanya tampak tertata rapi, bersih, dan dijaga ketat, kini terlihat langgang. Bahkan, bagian halaman luar rumah yang biasanya di sapu bersih, kini tampak kotor dan banyak dedaunan kering menetap di sana.
"Bunga, kok rumahnya kotor begini ya?" tanya ojek tersebut, tampak heran.
Bunga yang terlihat sama bingungnya pun, tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. "Mmm, makasih ya sudah nganterin Bunga, Pak. Ini ongkosnya." Bunga menolak menjawab dan meminta ojek tersebut untuk pergi.
Setelah tinggal seorang diri, Bunga menatap setiap bagian rumah sambil menghela napas panjang. Hatinya benar-benar tidak karuan dan matanya ingin sekali mengucurkan air bening.
"Sebenarnya, apa yang terjadi?" gumamnya sambil menunduk dalam kebingungan besar.
Sekitar lima menit berdiri seorang diri. Seseorang menyapa dari samping. "Bunga?"
Perempuan cantik itu menoleh ke kiri dengan mata yang basah. "Mama Lutfi?" jawab Bunga dalam nada tanya.
"Kok masih di sini?" tanyanya heran. "Kenapa nggak ikut mama Lucky pindah ke luar negri?"
"Apa?" tanya Bunga kembali dan ia kian bingung. "Luar negri?"
"Iya, sekitar sepuluh hari yang lalu. Semua orang yang bekerja, dipulangkan ke kampung halaman mereka masing-masing dan rumah ini dijual dengan harga murah."
"Jangan-jangan, mama butuh uang untuk pengobatan Lucky," gumamnya sambil menunduk.
"Sepertinya tidak, Bunga. Soalnya harta kekayaan tuan Sanur, sudah dilimpahkan kepada Lucky dan mamanya lah yang mengelola saat ini."
"Apa?" Bunga kembali terkejut.
"Tuan Sanur sudah meninggal dunia. Apa kamu tidak tahu?"
Sontak, tubuh Bunga bergetar hebat. Air mata yang sejak tadi ia tahan, runtuh dengan cepatnya. Bahkan kedua kaki itu bergetar kuat, hingga ia kembali kehilangan kesadarannya.
***
Pukul 16.00 WIB. Setelah melewati sore, Bunga kembali sadar dan mengucapkan rasa terima kasihnya kepada tetangga yang bersedia membantu. Tidak ingin membuat perkara baru, Bunga pun bergegas untuk kembali ke rumah almarhumah ibunya, di pinggir kota.
Saat ini, kebahagiaannya seakan digulir dengan perasaan duka sekali lagi. Namun, Bunga yang hancur tidak bersedia menyerah. Sebab, ia memiliki calon buah cintanya bersama Lucky, dan ini adalah kenangan terindah, serta terbaik di dalam hidupnya.
Perempuan berambut panjang itu pun melangkah dan berjalan kaki hingga ia kembali tersadar bahwa hidup yang semakin berat, akan segera dimulai. Ia pun menghentikan langkah dan menatap dunia yang berada di depannya seraya menguatkan hati.
'Saya selalu bersama Lucky.' Ucap Bunga tanpa suara, sembari memegang erat perutnya dan mengelus dengan penuh cinta.
Bersambung.
Bagaimana perjuangan Bunga untuk bertahan hidup? Apakah dunia akan membantunya? Baca di episode-episode selanjutnya ya. Jangan lupa tab love, dan tinggalkan komentar, makasih banyak buat yang sudah ngikutin.