Air Mata

1038 Kata
Dua bulan berlalu, Bunga semakin tertarik hatinya, untuk pergi menyambangi kediaman tuan Sanur yang selama ini sama sekali tidak pernah ia datangi. Selain itu, Bunga juga ingin mengajak kedua buah hatinya, untuk berziarah ke makam ayah mertua yang selama ini sudah begitu baik, dan perduli terhadap dirinya. "Bunga yakin sekali, seandainya masih ada papa. Nasib Bunga tidak akan seperti ini. Papa akan meyakinkan mama, agar memberi sedikit waktu kepada Bunga," gumamnya seraya membayangkan wajah laki-laki yang biasa memegang kepalanya, sejak ia masih kanak-kanak. "Hanya sedikit waktu saja, dan mama akan bahagia karena memiliki dua cucu yang begitu istimewa." "Mama!" panggil si kembar secara bersamaan. Luka dan Luke berada di kelas, dan sekolah yang sama. Mereka merupakan murid-murid yang berada di urutan terdepan tahun ini. Untuk peringkat satu, dipegang oleh Luke. Dan urutan kedua, ada Luka yang menyusul. Nilai keduanya pun, tak jauh berbeda. "Sudah jajannya?" tanya Bunga sambil memeluk lapor kedua buah cintanya yang sudah diambil. "Sudah, Ma. Kantinnya juga sudah mau tutup." Luke memegang sebuah kantong makanan ringan kegemarannya, yang terbuat dari singkong dan ditaburi bumbu sapi panggang. Bunga mengalihkan pandangannya. "Luka nggak jajan?" tanya Bunga heran. Sebab, hanya Luke saja yang tampak memegang jajanan. "Emh, Luka mau makan masakan Mama saja di rumah. Masih kenyang kok, Ma," kata si tampan. Kruk-kruk! Tak lama, terdengar suara runtuhan lelah, dan tidak nyaman di dalam perut putra keturunan Sanur tersebut. "Tadi, katanya kenyang?" Bunga langsung menyorot mata putranya yang tenang. "Tadi, Luke sudah beli jajan saat menunggu bu guru datang, Ma. Jatahnya Luke sudah habis. Tapi, masih ingin yang ini." Luka menunjuk ke arah jajanan yang adiknya peluk sejak tadi. Bunga menundukkan tubuhnya. Setelah berhasil menetralkan rasa haru, ia pun mulai berkata. "Terima kasih untuk semua rasa bangga yang kalian berikan. Teruslah pintar, dan saling menjaga! Maaf, karena Mama tidak mampu memberikan lebih!" Bunga berusaha menahan perasaan sedih yang dalam. "Nggak apa-apa kok, Ma. Nanti sampai di rumah, Luka langsung makan saja. Apa bedanya?" "Tapi ... ." Bunga kembali tersesak. "Kita akan pulang dengan berjalan kaki, dan itu ... cukup jauh. Kamu pasti kelelahan, Luka." "Kalau bersama-sama, pasti jadi seru, Ma," timpal Luka yang selalu tampak tidak keberatan dengan apa yang terjadi di dalam hidupnya. "Nanti, singkong ini kita makan sama-sama. Mama mau, kan? Ini enak loh, Ma." "Iya, tentu saja. Ayo!" ajak Bunga yang mulai berdiri dan mengayun langkah bersama dua jantungnya yang lain. 'Terima kasih, Tuhan. Terima kasih.' Kata Bunga tanpa suara. 'Mereka adalah anak-anak yang luar biasa.' Kendaraan lalu lalang di siang terik dalam nuansa yang kian panas hari ini. Tapi, senyum dan langkah kecil itu masih saja lincah. Bunga pun dapat merasakan semangat yang ingin kedua buah hatinya tunjukkan terhadap dirinya. Bagi Bunga, Luka adalah dewa. Sedangkan Luke merupakan peri kecil yang manja. "Mama!" "Ya?" "Tahun depan, Luke boleh ikutan pramuka tidak?" "Iya, tentu saja boleh." "Asiiik." Luke semakin riang, dan tidak terlihat lelah. "Luka nggak ikutan?" "Ikut dong, Ma. Kalau tidak, siapa yang akan menjaga Luke?" Bunga melengkungkan bibirnya, dan terus merasa bangga. "Ya, Sayang." Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit, dan baru saja tiba di gapura, tak jauh dari kediaman mereka. Luka melihat asap hitam membumbung tinggi ke udara. "Itu ... asapnya apa, Ma?" gumam Luka yang sudah merasa bahwa hal buruk telah terjadi. Bunga menatap ke arah ujung jari putranya. Spontan, senyumnya pun langsung menghilang. Karena memiliki firasat yang sama, Bunga pun langsung berlari ke arah sumber api. Benar saja, sebagian dari toko, dan bagian depan rumah mereka hancur dilahap di jago merah. Hanya bagian kamar belakang dan dapur saja yang masih tersisa. Mata Bunga terbelalak. Begitu juga dengan Luka, dan Luke. Ketika melihat ketiganya telah tiba, bersama peluh, serta wajah lelah, beberapa tetangga mendekati untuk menyabarkan mereka. Tubuh Bunga lunglai dan jatuh ke tanah. Kali ini, ia benar-benar tidak kuat lagi dengan sejumlah penderitaan yang tak putus-putusnya menyayat hati. Semua orang panik, si kembar pun menangis sambil memanggil sang mama berulang. "Mamaaa!" suara kesedihan dan terdengar tak berdaya itu, membuat orang-orang di sekeliling mereka terenyuh. "Mama, bangun! Mama ... ." "Ayo kita bawa ke puskesmas!" kata ketua Rukun Tetangga yang juga ada di halaman rumah Bunga. Sepanjang perjalanan ke puskesmas, air mata Luka dan Luke menetes deras. Tetapi, Luka langsung menghapus rintik itu, demi menenangkan adiknya. Bocah laki-laki yang satu ini, memang memiliki hati yang luas, dan dalam. Dia adalah putra yang kuat, dan pandai menguatkan. "Luke! Tenang saja! Ya?" "Mama, Kak!" Luka menghela napas panjang. "Iya," jawabnya terdengar parau. Lalu menarik pundak Luke, dan membiarkannya bersandar. Setibanya di puskesmas, Bunga langsung diperiksa, dan mendapat pertolongan pertama. Selang sepuluh menit, ia tersadar, dan langsung menangis hebat. "Ma-ma ... ." Luke menyusul, dan memeluk Bunga yang berada di atas ranjang dengan erat. Ia juga ikut menangis, bahkan tubuhnya tampak bergetar. "Ya Allah, Tuhan ku," ratap Bunga, tatkala mendengar suara putrinya yang sama sedih dan terpukulnya. "Ya Allaaah ... ." Bunga tak mampu mengatakan apa pun, kecuali nama Sang Pencipta yang mengetahui tentang langit, bumi, beserta isinya. "Mama ... ." Luke mengerang ketakutan, akibat suara teriakan Bunga. Sebab, ini adalah pertama kalinya, ia melihat sang mama bernada tinggi, dan frustasi. "Ya Allah ... ." Bunga tak mampu menghentikan air mata dan emosinya. Bukan tanpa alasan, rumah itu masih harus dibayar selama empat tahun ke depan. Sementara kondisinya sangat buruk saat ini. Apalagi, barang dagangan di dalamnya juga turut terbakar habis. Luka mendekat, ia menggenggam tangan kanan mamanya begitu erat. Lalu mencium punggung, serta jari jemari tangan Bunga yang bergetar hebat. "Mama ... ," ucapnya lirih seraya menggigit bibirnya. "Ma-ma tenang saja! Luka, kan sudah besar. Luka pasti akan membantu Mama. Luka janji." Bunga semakin hancur, dan terluka. Ia mengutuk dunia dan segalanya. Bahkan untuk pertama kalinya, ia menyesal sudah masuk ke dalam keluarga Sanur. Menurutnya, semua itu merupakan langkah awal terburuk, sehingga hidupnya hancur berantakan. Apalagi, anak-anaknya juga ikut merasakan, dan terseret ke dalam beban yang tidak ringan ini. "Mama jangan sedih lagi!" pinta Luka sembari mengusap air mata, dan merapikan rambut mamanya. "Ke, sudah ya!" pintanya lembut, lalu mencium kepala adiknya yang masih bertumpu pada perut sang mama. 'Ya Allah, tabungan saya. Semua habis tak bersisa. Bagaimana sekarang?' Tanya Bunga di dalam hatinya. 'Padahal, uang itu untuk memenuhi janji kepada Luka dan Luke. Saya ingin membawa keduanya menemui almarhum opanya.' Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN