11. Sesuatu Yang Keras Menghantam Kepalanya

1037 Kata
Setelah kejadian menyebar berita yang menyudutkan Carl, kehidupan Prisma menjadi tidak tenang. Ia sering memimpikan kejadian kecelakaan kedua orang tuanya, dua setengah tahun yang lalu. Bayang-bayang tubuh pucat dan wajah ayah ibunya yang bersimbah darah terus tergambar. Hal itu membuatnya tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak dan selalu terbangun di tengah malam. Malam ini pun sama, ia baru beberapa menit memejamkan mata dan sudah terbangun dengan keringat membasahi seluruh tubuh. Napas yang terengah-engah dan suara yang tiba-tiba berubah serak. Itu karena ia menangis sejadi-jadinya di dalam mimpi yang terbawa di alam nyata. Prisma dengan linglung mengedar pandang. Menatap bingkai foto ayah dan ibunya di sisi kiri tempat tidur, tepatnya di nakas. Meraihnya dan mengusapnya perlahan. "Kenapa aku memimpikan kejadian ini terus? Kenapa harus selalu memimpikan Mama dan Papa di saat mereka meninggalkanku, bukannya masa-masa bahagia kami?" tanya Prisma lirih dengan wajah sembab. Wanita dengan tinggi proporsional itu menyibak selimut, mengulurkan kaki, dan berjalan keluar kamar. Lehernya terasa kering dan sakit. Jadi, ia bergegas menuruni tangga menuju dapur untuk mengambil air minum. Setelah meneguk segelas penuh air, ia menghentakkan gelas di meja. Menarik kursi dan menghempaskan bokongnya di sana. Melipat kedua tangan dan meletakkannya di meja, lalu merebahkan kepala. "Sebenarnya apa yang akan terjadi? Kenapa akhir-akhir ini perasaanku tidak enak? Mama dan Papa pun sering muncul di mimpi," batin Prisma bertanya-tanya. Sudah hampir satu minggu ia tidak pernah keluar rumah karena takut sesuatu yang buruk terjadi di luar. Namun, mimpi buruk itu tak kunjung usai. Selalu datang di setiap waktu tidurnya, tidak peduli itu siang atau malam hari seolah sedang memberinya sebuah peringatan. "Kenapa perasaanku tiba-tiba semakin tidak enak?" Prisma mengangkat kepala dan mengedar pandang. Menatap area meja makan dan dapur dengan bingung. "Apa aku panggil Hades saja untuk menginap?" "Yah, panggil Hades saja," ujarnya memutuskan. Akhirnya, ia kembali ke kamar dan meraih ponselnya di nakas. Duduk di tepi ranjang sambil menekan tombol satu dan dalam satu kali bunyi bip, panggilan langsung tersambung. "Halo, Hades. Kau belum tidur, kan?" "Baru pukul berapa ini? Kau pikir aku ini anak kecil?" "Aku hanya tanya dan kenapa kau menyebalkan sekali?" tanya Prisma ketus. Ia sedang merasa tidak nyaman dan Hades justru membuatnya kesal. Lihat saja, hidungnya sudah memerah dengan bibir yang dimajukan ke depan. "Bercanda, Prisma. Ada apa? Apa kau ingin aku melakukan sesuatu lagi?" tanya Hades. "Tidak, bukan itu. Perasaanku tidak enak, bisakah kau datang ke sini dan menginap untuk malam ini saja?" "Apa kau baik-baik saja? Aku perhatikan sejak tadi, suaramu serak sekali? Apa kau sakit?" Alih-alih menjawab, Hades justru balik melempar pertanyaan. Hades merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya. Meski dalam keadaan sesulit apa pun, wanita itu tidak pernah meminta untuk ditemani, bahkan terkadang menolak jika ia ingin menemani. "Aku mimpi menangis dan setelah bangun suaraku sudah habis," sahut Prisma menjelaskan. Hades tidak mengeluarkan suara, hanya terdengar suara napas teraturnya saja. Mungkin ia sedang sibuk melakukan sesuatu dan memikirkan, apakah harus mengiyakan atau tidak . "Bagaimana? Apa kau bisa datang ke sini dan menemaniku?" ulang Prisma bertanya. "Sebenarnya aku sedang ada kerjaan penting dan --." "Untuk malam ini saja, Hades. Kalau tidak, biar aku yang ke sana dan menginap di rumahmu?" potong Prisma berusaha membujuk. Perasaannya benar-benar tidak enak dan ia tidak bisa menghabiskan waktu malam ini dengan sendirian di rumah. Seumur-umur, ia baru merasakan hal seperti ini. Bahkan dulu ketika kedua orang tuanya meninggal, ia tidak mengizinkan satu orang pun menemaninya, termasuk Hades. "Tidak, biar aku saja yang menginap di rumahmu. Sekarang aku siap-siap dulu dan akan langsung ke sana." Panggilan berakhir. Prisma merebahkan tubuhnya ke belakang dan menghembuskan napas lega. Meski perasaannya masih tidak enak, tetapi sedikit berkurang karena memikirkan Hades akan menemaninya malam ini. Merasa bosan dan rasa kantuknya sudah hilang, ia memilih memainkan ponselnya. Berselancar di internet dan mencari sesuatu yang menarik. Tiba-tiba, ia menemukan sebuah artikel tentang Birru. "Andai tidak tahu seperti apa sifatnya, mungkin aku sudah langsung jatuh cinta pada ketampanan dan kehebatannya. Sayangnya dia itu menyebalkan, tukang menuduh, dingin, dan yang paling menjengkelkan dia itu meminta syarat di luar nalar ketika mau membantu." Prisma membayangkan wajah tampan Birru dengan kesal. "Ya ampun, ya ampun! Kenapa aku jadi membayangkan wajah Birru, sih? Harusnya aku melupakan dia dan berharap agar tidak bertemu dengannya lagi meski hanya kebetulan. Tapi, apa ini? Dasar Prisma aneh." Wanita cantik itu beranjak duduk secara mendadak. Menepuk-nepuk pipi dan berganti mengacak rambutnya kasar. Bergegas mematikan ponselnya dan melemparkannya ke sebelah. Berhubung tadi ia meminum segelas air penuh, jadi ia ingin pergi buang air kecil. Namun, belum lama ke kamar mandi, ia sudah merasa haus lagi. Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke dapur. "Loh, Hades sudah sampai? Kok cepat sekali?" Prisma mendengar suara bel. Ia pikir, belum ada dua puluh menit dan bagaimana bisa Hades sudah sampai? Bukankah pria itu dari rumahnya? Seharusnya sampai nanti sekitar pukul sepuluh lewat tiga puluh menit karena jaraknya lumayan jauh. Bel kembali berbunyi dan Prisma bersiap untuk ke depan. Ia tidak menaruh rasa curiga sama sekali. Berpikir, jika bukan Hades yang datang, lalu siapa lagi? Jadi, ia langsung ke depan tanpa pikir panjang. "Sebentar!" teriak Prisma. "Hades, apa-apaan, sih. Tidak sabaran sekali?" Manik matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. "Astaga!" Prisma menyentuh dadanya karena terkejut. Selain bel yang terus berbunyi, kini ia dikejutkan dengan ketukan yang bertubi-tubi. Ia bergegas menyentuh gagang dan membuka pintu. Belum sempat melihat sosok Hades, tiba-tiba sesuatu yang keras menghantam kepalanya. Tubuhnya limbung dan ia jatuh tersungkur di lantai. Tangan kanannya diulurkan menyentuh kepala yang basah. Melihat telapak tangannya penuh noda merah membuat kepalanya semakin pusing. Ia teringat wajah ayah dan ibunya yang bersimbah darah. Ternyata, selama ini mimpi itu muncul memang untuk memberinya peringatan, bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. "Apa ini yang dinamakan takdir? Sekeras apa pun aku berusaha menghindar, takdirku akan tetap mendatangiku. Usahaku selama satu minggu mengurung diri di rumah sia-sia. Pada akhirnya, sesuatu yang buruk benar-benar terjadi. Terima kasih, Ma, Pa, karena kalian sudah menemaniku di detik-detik terakhirku meski hanya dalam mimpi." Sepersekian detik kemudian, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Manik mata mulai terasa berat sekedar untuk dibuka. Hal terakhir yang Prisma ingat sebelum akhirnya tidak sadarkan diri adalah seorang pria dengan wajah tertutup mendekat. Perlahan, semuanya mulai terasa gelap dan ia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN