Part 56

2505 Kata
Part 56 "Kalian berdua lagi marahan?" tanya Pandu bersedekap d**a menghampiri si kembar yang saling diam dan biasanya mereka paling rusuh sendiri. Pria berusia 37 tahun itu berdiri di depan meja makan dan di seberangnya ada si kembar yang duduk. "Iya, Ayah." Juna yang menjawab sambil terkekeh pelan. Pandu sedikit terkejut karena putranya itu mengangetkannya dari belakang. "Kamu ini suka banget muncul tiba-tiba." Pandu mengacak-acak rambut Juna lalu merangkulnya erat sampai Juna tidak bisa kabur darinya. "Arghh ayah sakit." Juna meringis karena ayahnya meremas pundaknya. Pandu merasa gemas kepada putranya. Putra satu-satunya di keluarganya. "Hajar aja, Yah!" ucap Salma. "Sini ayah hajar kamu." "Arghh bunda, ayah nakal!" teriak Juna, berakhir mengadu ke Zena yang berada di dapur sedang mempersiapkan sarapan pagi ini. Hari minggu ini mereka semua bangun kesiangan dan waktu sarapan juga tidak seperti waktu biasanya. "Ayah, jangan gitu ke Juna!" teriak Zena dari arah dapur. "Suka ngadu." Lagi-lagi Salma mencibir, memang mulutnya tak bisa diam untuk menghujat siapa pun dan di sertai raut wajahnya yang sinis. Sedangkan di sebelahnya, Silma hanya diam saja dan sibuk berkutat pada laptopnya. "Dirimu juga ya!" Juna melototi kakaknya sambil menunjuk. "Gak boleh begitu." Pandu menangkup wajah Juna dan menguyel-uyelnya. "Argh ayah! Risih aku itu!" Juna melepaskan tangan Pandu sekuat tenaganya. Ketika sudah bebas dari jeratan ayahnya, Juna menjauh dari mereka dan memilih membantu Zena di dapur. Pandu tertawa dan Salma meledek adiknya. "Ayah lebih sayang mbak, Bun." Juna mengadu kepada Zena di sana dan suaranya masih dapat didengar jelas oleh mereka. "Ngadu terus!" Teriak Salma. "Salma gak boleh begitu sama adiknya." Zena tersenyum dan menyuruh Juna membantu mengangkat nampan. Hari ini tidak ada pembantu di rumah karena setiap hari minggu atau tanggal merah, sengaja Zena meliburkan mereka. "Ya sudah, bunda sayangnya ke Juna saja." Zena menggelengkan kepalanya melihat tingkah manja Juna. "Sa bodo." Salma selalu semangat menganggu adiknya sebab Juna sendiri juga suka menganggunya. "Sudah-sudah jangan berantem." Zena menegur anak-anaknya dan menyuruh semuanya segera sarapan karena waktunya sudah siang. Ia khawatir anak-anaknya dan suaminya sakit gara-gara telat makan. Selesai sarapan, Salma membantu bundanya mencuci piring sedangkan yang lain sibuk pada aktivitasnya masing-masing. "Salma makin lihai ini nyuci piringnya." Zena sebenarnya sudah tau dari dulu tapi ia sangat suka memuji anak-anaknya supaya anak-anaknya lebih bersemangat lagi melakukan hal-hal yang positif. "Iya dong, Bun. Dari dulu ini." Salma menyunggingkan senyumnya lebar. Salma memilih mencuci piring dan Zena yang mengelap piring-piring serta perabot lain sebelum diletakkan di rak khusus atau tempat asalnya. "Benar kata ayah kah? Kamu lagi berantem sama Silma?" tanya Zena, tadi sempat mendengar obrolan mereka di ruang makan. "Ya begitulah," balas Salma. "Tidak boleh berantem lama-lama ya, kalian berdua harus rukun dan bunda sedih lho kalau anak-anak bunda berantem," ujar Zena membujuk anaknya supaya saling berdamai. Apalagi Silma dan Salma kembar pasti mereka sama saja melukai diri mereka sendiri sebab mereka memiliki ikatan batin cukup kuat satu sama lain. Jika ada yang sakit, yang satunya juga ikut sakit. Zena merawat mereka dari kecil dan sudah tau betul anak-anaknya apalagi ada yang kembar. Salma terdiam dan benar ucapan bundanya. Ia juga merasa sakit hatinya mendiamkan kakaknya sebab kakaknya itu tak bisa jauh-jauh darinya dan tidak bisa dibayangkan kalau Silma membutuhkan bantuannya. Ia juga tak kuat menatap balik kakaknya yang memandangnya sendu. Salma mengerti kakaknya mengaku bersalah dari sorot matanya dan ia pikirannya menyuruhnya untuk tidak dulu berdamai dengan Silma. "Iya, Bun," jawab Salma. "Oh ya, besok ulangan kan?" tanya Zena baru ingat sesuatu. "Iya, Bun." "Berangkat jam berangkat?" "Aku siang." "Kalau Silma?" "Gak tau." "Nanti tak coba tanyakan, bunda juga butuh persiapan kalau jam berangkat kalian tidak sama dan kamu belajar aja gih. Ini sudah selesai kok." "Masih males belajar, Bun." Salma merengek dan enggan menghentikan aktivitas yang tengah membantu bundanya. "Gak boleh males, belajar yang giat biar dapat nilai bagus dan banggain bunda sama ayah." Zena tersenyum lembut. "Aku kesulitan." "Emang kamu les?" "Enggak! Gak mau!" tolak Salma cepat. "Ya sudah bunda gak maksa kamu, tapi jangan bantuin bunda ya. Kan kamu mau ulangan, bunda ngerepotin kamu." "Ih bunda jangan bilang begitu, aku sayang sama bunda dan aku senang banget bisa bantu bunda. Bunda tidak ngerepotin aku, justru aku yang banyak merepotin bunda." Salma memeluk Zena dari belakang dan mengecup pipinya. Ia sangat menyayangi bundanya. "Sayangnya bunda." Zena juga membalas ciuman pipi dari putrinya. "Anak besar lagi manja-manjaan ini." Pandu datang dan menyindir Salma. "Ayah ganggu aja moment romantisku sama bunda." Salma memayunkan bibirnya. "Kamu malah ganggu bunda." Pandu mengusap puncuk Salma dan berakhir mengacak-acak rambur putrinya. Salma memukul lengan ayahnya pelan. "Bun, ayah jahil." Salma mengadu ke Zena dan Zena menatap tajam ke Pandu sambil berkacak pinggang. "Ayah." "Dalem, Bunda." Pandu menyingkirkan Salma begitu mudahnya supaya berdiri di samping Zena. "Ayah!" Salma memekik kesal kala bahunya ditarik ke arah lain sehingga jauh posisinya dari bundanya. "Datang-datang gangguin anaknya ya, pergi aja deh!" usir Zena pada suaminya. "Galak amat sih." Pandu menangkup pipi Zena padahal istrinya sedang sibuk menata barang-barang di rak atas. "Mas." Zena menepuk tangan suaminya yang terasa dingin. "Skip deh, aku pergi. Ayah sama bunda malah mesra-mesraan di sini." Salma berlalu pergi meninggalkan orang tuanya yang suka bermesraan apalagi ayahnya itu. "Kamu ini suka banget jahil ke anaknya, kurang kerjaan banget." Zena telah menyelesaikan aktivitasnya merapikan dapur tapi Pandu masih menahannya di ruang dapur. "Hehe aku niatnya di sini cuman nyuruh kamu." "Apa?" "Buatin minuman, ada tamu." "Kenapa gak bilang dari tadi sih, Mas!" Seketika Zena panik dan mencubit lengan Pandu. Pandu berteriak dan meringis mendapat hadiah cubitan maut dari istrinya. "Santai aja, Sayang. Panik banget deh." Pandu menggaruk tekuknya dan melihat istrinya yang panik sendiri. "Emang siapa tamunya?" tanya Zena sambil berkutat menyiapkan minuman dan camilan untuk seorang tamu. "Pak Leo." "Pak Leo?" Zena melirik suaminya sejenak sambil berpikir sebab tak asing lagi mendengar nama seseorang yang disebutkan oleh suaminya. "Kakeknya Asha," jawab Pandu. "Asha, anak kecil yang bersama Cala dulu?" tanya Zena memastikan. "Iya, Asha yang diculik sama Cala." "Ah iya, aku baru ingat." Zena mengangguk cepat. "Baiklah, aku ke ruang tamu dulu." Pandu menepuk pundak istrinya. ... "Kamu sudah tau tentang Cala?" tanya Leo sembari menyesap minuman yang telah disiapkan oleh istri temannya. "Sudah, Pak." Pandu menjawabnya singkat. Sedangkan Zena diam dan tersenyum sopan di samping Pandu. "Kamu harus berhati-hati ya, Cala belum sepenuhnya berubah dan masih ada rasa ingin balas dendam kepadamu serta keluargamu. Meski dia sudah berkeluarganya dengan orang lain." "Iya, Pak. Saya berusaha berhati-hati dari dia." "Hubunganmu dengan Surya bagus kah? Kalian pernah bersaing hingga Surya pernah juga membuat nyawa kalian terancam di dalam mobil beberapa tahun silam." "Saya mencoba berdamai dengan Surya dan sampai saat ini juga hubungan saya dengannya masih baik-baik saja. Saya berharap juga begitu kedepannya meski ada rasa ragu juga karena dia suaminya Cala sekarang," balas Pandu dengan nada yang khawatir. "Kalau Surya memang sudah berubah ya bagus itu. Dia sepertinya juga rasa jera mendekam di jeruji besi atas kejadian yang lalu. Untunglah kalian selamat." "Syukurlah, Pak." Zena tersenyum dan tangannya digenggam Pandu sedari tadi. Pandu paham apa yang dipikirannya saat ini, Zena masih punya rasa takut membayangkan kejadian di dalam mobil itu. "Okelah, jangan bahas ini. Bahas yang lain saja. Aku berniay ke sini juga mengajakmu kerjasama denganku, Pandu." Leo meraih kotak kacamata di saku kemejanya kemudian membuka kotak kacamata itu dan mengambil kaca matanya. Leo memasangkan kaca matanya dan sebelum dokumen penting diberikan kepada Pandu, ia memeriksanya terlebih dahulu. "Ada beberapa dokumen yang kuberikan kepadamu terlebih dahulu sebelum besok lusa kita rapat." "Oh ya, Pak. Terima kasih." "Sama-sama. Mana putri kembar kalian?" "Mereka lagi belajar," jawab Zena yang sedikit tidak enak hati kepada Leo karena tidak bisa bertemu dengan anaknya. Zena hanya khawatir pada anak-anaknya yang sedang belajar malah diganggu dan membiarkan anak-anaknya fokus pada pelajarannya. "Maaf ya, Pak." "Tidak apa-apa, santai saja. Namanya siapa kalau boleh tau? Saya sedikit lupa, kalau gak salah ada yang namanya Salma?" "Iya, Pak. Salma yang kudaftarkan sekolah di Leander dan kakaknya bernama Silma," kata Pandy menjelaskan. "Oh ya, aku baru ingat dan maklum saja aku ini sudah tua haha." Lea tertawa pelan. Berbeda di tempat lain. Salma yang asyik bermain game di laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering dan sebelum menerima telepon dari seseorang, ia menjeda gamenya. "Halo?" "Salma." "Ck! Ngapain sih lo telepon gue?" Salma berdecak kesal karena laki-laki di seberang sana ada saja tingkahnya yang menganggu aktivitasnya. "Gue ada di samping kamar lo." "Apa? Jangan bohong deh!" Salma panik lalu berlari menuju balkonnya dan melihat ke lantai dasar. Benar saja, Malvin ada di sana sambil melambaikan tangannya. "Lo ngapain ke sini sih? Kan kemarin kita udah keluar." Salma merasa kesal pada lelaki itu yang datang tiba-tiba di rumahnya. Tentu saja ia panik sekali karena Malvin sangat jarang sekali bercanda dengan berbohong. Mereka berdua masing-masing sama-sama meletakkan ponselnya di sisi telinga meski sudah saling bertemu walau harus bergarak lumayan jauhnya. Salma juga masih sempat-sempat mendelik ke Malvin dan meninju-ninju tangannya ke arah cowok tersebut. "Sudah, turun aja sini!" Ajak Malvin dan di sana Malvin melambaikan tangannya bertanda turun ke lantai dasar. "Nyebelin dari kemarin deh lo!" Salma kembali masuk ke kamar. "Jangan lupa bawa buku buat belajar. Gue pengen belajar bareng sama lo." "Halah modus." Walau menggurutu, Salma menuruti permintaan Malvin dan kini sedang memasukkan beberapa bukunya ke dalam tas. "Enggak lho. Gue tadi ke sini juga karena kakek gue sih. Selalu saja nuduh gue modus." Di seberang sana, Malvin menggeleng dan tertawa pendek. "Kakek lo? Ke sini?" Salma mengernyitkan dahinya heran. "Iya, urusan pekerjaan sama bokap lo." "Ouh gitu." Salma membawa totebagnya keluar dari kamarmya setelah selesai berberes. Salma mematikan teleponnya secara sepihak dan fokus berjalan daripada nanti dirinya jatuh karena tidak fokus pada jalannya. Baru saja bilang soal jatuh, terdengar ringisan kakaknya dari arah kamar Silma. Lantas Salma membalikkan badannya dan berlari cepat menuju kamar kakaknya dengan perasaannya cemas. "Argh." Silma duduk di ambang pintu dengan salah satu kakinya yang diselonjorkan. Sepertinya kakaknya baru saja kepeleset dilihat dari posisinya sewaktu terjatuh. "Bisa-bisanya jatuh." Salma langsung menolong kakaknya bahkan menuntun Silma sampai duduk di pinggir kasur. Salma pun berjongkok dan memeriksa kaki kakaknya. Silma melihat apa yang dilakukan kepadanya yaitu mengobati lukanya. Salma tidak peduli kalau dirinya sedang marahan dengan kakaknya, yang terpenting luka goresan di punggung kaki kakaknya terobati secepatnya. Baginya keselamatan saudaranya nomor satu dibanding menyelamatkan diri. Segitu besarnya sayangnya kepada sang kakak. Sampai mengenyahkan pikirannya yang seharusnya tidak boleh mengobati kakaknya sebah Silma bisa saja melakukannya sendiri. Namun dari jauh lubuk hatinya, besar kecilmya kesalahan kakaknya tetaplah rasa peduli dan perhatian mengusai akal sehatnya. Salma sangat tidak menyukai jikalau keluarganya terluka dan berusaha menjadi orang pertama yang menolong keluarganya nanti ketika ada masalah. "Sakit-sakit." Silma meringis saat luka goresan dikakinya diobati oleh adiknya. "Makanya hati-hati, fokus ke jalan bukan main ho mulu." Salma menegur kakaknya setelah meletakkan kembali kotak obat ke tempat asalnya. "Gue sudah fokus kok cuman memang waktunya terpeleset saja." "s***p lo." "Lo mau kemana?" tanya Silma penasaran dan memegang tangan Salma. "Bukan urusan lo!" Salma memasang raut wajah datarnya dan melepaskan tangan kakaknya yang mencoba menahannya untuk tidak pergi. "Sal." Silma menatap Salma berjalan cepat keluar dari kamarnya. Silma tidak betah lama-lama dalam posisi ini dan tidak bisa jauh dari Salma. "Gue gak mau diginiin sama Salma." Mata Silma memerah, menahan tangisnya. Dijauhi saudaranya lebih menyakitkan dibanding teman ataupun pacar. ... "Lo bawa laptop?" tanya Salma ketika sampai di gazebo yang tidak jauh dari rumahnya. Memang di perumahan Salma disediakan beberapa gazebo untuk nongkrong bersama dan mumpung hari ini sepi akhirnya Salma menyuruh Malvin ketemuan di tempat ini. "Iya, ini laptopnya kakek." "Banyak banget cemilan yang lo bawa." Salma melihat banyak sekali makanan cemilan milik Malvin. "Kan buat kita berdua biar gak bosen waktu belajar. Gue bosen kalau gak ada makanan sih, gue suka ngemil." Malvin mengulum senyumnya dan menyuruh Salma duduk di sebelahnya. Salma menurut saja sebab di tempat Malvin jauh dari sinar matahari. "Lo apa-apa selalu ikut kakek lo," ujar Salma yang perlahan mengeluarkan buku-bukunya dari totebag yang dibawa. "Enggak juga, tergantung perginya kemana. Dan tadi kakek bilang mau ke sini, gue minta ikut." Malvin mulai menyalakan laptopnya. "Perasaan kemarin malam kita juga keluar, sekarang ketemu lagi. Emang lo gak bosen?" "Enggaklah, ngapain juga bosen? Ketemu sama lo adalah kesenangan bagi gue sendiri. Mood gue langsung baik aja," ucap Malvin. "Gue gak modus ya." Lanjut Malvin, merasa Salma selalu bilang kata modus padahal sudah benar adanya ucapannya baru saja. "Ya drh terserah lo bilang apa." Salma menghembuskan napasnya dan pandangannya tidak sengaja melihat layar laptop milik kakeknya Malvin. "Itu foto keluarga lo?" tanya Salma bingung melihat foto keluarga di kayar laptop milik kakeknya Malvin. "Iya." "Lo yang bayi itu?" "Bukan, gue gak ada di sini. Ini foto orang tua gue baru menikah, alm. Om dan almrh. Tante gue. Ini kakek gue dan almrh. Kakak sepupu gue yang bayi itu. Tapi sayangnya mama meninggal setelah gue dilahirkan di dunia." Malvin mengusap foto mamanya di sana, ia tidak berniat mengganti walpaper laptop milik kakeknya yang selalu dirinya bawa kemana-mana. Malvin menyukai foto keluarga ini walau tidak ada dirinya di sana karena orang tuanya baru saja menikah. "Maaf gue baru tau kalau itu mama kandung lo." "Enggak papa. Sayang banget sama mama." Malvin memandang sendu penuh kerinduan pada foto bagian mamanya. Salma yang melihatnya ikut sedih dan hatinya mencelos. Ia tau rasanya kehilangan seseorang yang disayang itu seperti apa. Tapi kehilangan seseorang yang sudah beda dunia lebih menyakitkan apalagi belum sempat bertemu. Tangan Salma terangkat dan memegang pundak Malvin lalu menariknya ke dalam dekapannya. Salma tidak kuat menatap orang yang bersedih dan mengalami hal lebih berat dari kehidupannya. Malvin terkejut ketika Salma menarik pundaknya dan memeluknya. Tubuhnya menegang sebentar lalu tangannya membalas pelukan dari Salma. Malvin memejamkan matanya dan merasa nyaman dipelukan Salma. "Mama lo pasti bangga, lo tumbuh dengan baik dan menjadi pemimpin di tim basket. Tim basket lo berulang kali dapat juara." Salma mengusap punggung Malvin. "Pelukan lo nyaman banget, Sal. Sering-sering peluk gue ya." Bisik Malvin tepat di sisi telinga Salma. Salma buru-buru melepaskan pelukanya. Menatap kesal ke Malvin dan menghadap tubuhnya ke depan. "Keenakan lo!" Salma salah tingkah namun ditutupi oleh sikapnya yang seolah-olah tidak menyukai Malvin. "Iya dong." Malvin terkekeh dan mengangguk. ... Di tempat yang lain, Alfa sedang berdiam di kamarnya dan maniknya tertuju pada ponselnya. Jarinya bergerak menekan percakapannya dengan seseorang yang sudah tidak ada hubungannya dengannya lagi. Ia duduk di pinggir kasur. "Gue kangen, Silma." Alfa menghembuskan napasnya berat. Alfa masih belum menghapus percakapannya dengan Silma. Ia masih sering membaca percakapannya dengan Silma dan sangat merindukan masa-masa ini. "Gue pengen chat lo pasti lo gak bakalan balas." "Kenapa kita dalam posisi yang rumit begini?" "Gue kangen, pengen ketemu dan haha hihi bareng lagi kayak dulu." Alfa memejamkan matanya sebentar kemudian mendongakkan wajahnya ke atas. Alfa kembali menatap ponselnya dan ponselnya diletakkan di atas nakas. Tangannya meraih sebuah pigura berukuran sedang atau tidak terlalu kecil dan besar. Pigura tersebut terdapat kebersamaannya dengan Silma semasih berpacaran. Alfa masih menyimpannya dan enggan membuang barang-barangnya yang bersangkutan dengan Silma. "Gue ingin balikan lagi tapi lo udah nolak gue" "Gini ya rasanya menyesal dan tidak bisa apa-apa." "Bodoh banget gue." Alfa memegangi kepalanya dan berdecak kesal. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN