Rela terluka demi seseorang yang kita cintai itu membuat kita senyum-senyum sendiri dan seketika melupakan rasa sakit yang kita alami~
Part 25
Salma menghembuskan napasnya lebar dan berkacak pinggang, menatap seragam kotornya yang masih tergeletak di atas kasur. Ia meraih seragam yang dipakainya tadi dan akan dimasukkan ke dalam keranjang pakaian kotor. Tapi Salma malah menemukan sesuatu di baju seragamnya dibagian pundak.
"Kok ada bercak darah?" Seketika Salma melihat pundaknya sendiri, anehnya tak menemukan bagian tubuhnya yang terluka dan Salma juga tidak merasakan sakit di tubuhnya.
"Terus ini darahnya siapa dong? Haduh mana seragam putih yang kena." Salma panik dan berlari keluar dari kamarnya untuk menemui pembantunya.
"Bibi, ini bisa hilang sehilang-hilangnya kan?" Teriak Salma yang tidak lama menemukan bibinya yang ternyata belum tidur.
"Bisa, Non. Sini bibi cuciin langsung. Tenang ya non."
"Iya, Bi. Terima kasih, takut soalnya jejaknya enggak bisa hilang karena seragam putih."
"Bisa kok, saya duluan ya."
"Oke bibi."
Pembantunya mengangguk dan pergi dari hadapannya. Salma kembali masuk ke kamarnya dan duduk di meja belajar disertai perasaan tidak tenang. Ia memikirkan bercak darah yang seperti baru di seragamnya dan malam ini membuatnya tidak bisa tidur.
"Itu darahnya siapa sih?" Salma menekuk tangan sebelahnya dan dibuat untuk menopang wajahnya yang posisinya miring. Tangannya lain memegang pena dan diketuk-ketuk beberapa kali di meja. Mulutnya menguap namun matanya sulit dipejamkan.
Salma berpikir keras dan berulang kali mengubah posisi duduknya. Kesal karena tidak menemukan tentang darah tadi di seragamnya. Salma memutuskan tidur terlentang di atas kasur dan menatap langit-langit kamarnya.
"Darah darah darah," gumam Salma heran.
Salma perlahan memejamkan matanya sebentar dan memori kejadian tadi sore sewaktu melakukan piketnya terputar hingga seseorang datang menolongnya dari sebuah benda padat terjatuh mengarah di kepalanya.
Mata Salma terbuka lebar dan mulut didekap.
"Apa jangan-jangan itu darahnya dia?"
Salma langsung duduk dan napasnya tercekat. Pikirannya kembali ke beberapa jam yang lalu lalu menangkup wajahnya sebentar.
"Emm gue ingat lagi."
***"Jahat banget deh lo, lo gak lihat tadi tangan Malvin terluka lho!" teriak temannya saat dirinya sudah keluar dari kelas***
"Ya ampun." Salma tak percaya ucapan temannya tadi dan ternyata ucapannya temannya itu benar.
Bahwa tangan Malvin rela terluka demi menolongnya dari musibah buruk yang akan menimpanya jika seseorang terlambat menolongnya.
"Astaga. Tidak mungkin." Salma mengusap wajahnya pelan dan masih tidak percaya.
"Tapi kenapa dia diam doang? Gue juga gak dengar suara teriakan dia kok." Sekarang menjadi beban dipikiran Salma, ia merasa penasaran kondisi tangan lelaki itu.
"Jam dinding itu bisa merobek tangannya." Salma juga mengerti bentuk jam dinding di kelasnya dan dulu pernah ada yang robek tangannya sewaktu membenarkan letak jam dinding tersebut.
"Pasti itu parah." Salma semakin gelisah lantas membuka ponselnya.
Salma melihat status lelaki itu, Malvin memposting dua orang tengah berpelukan dan lelaki itu menambahi emot tersenyum senang. Memang lelaki itu sering membuat status di aplikasi berwarna hijau dan sangat random sekali. Seringnya memposting foto temannya yang tidur dengan mulut lebar dan Malvin yang jahil itu memberikan timun berukuran besar di mulit temannya dan lain sebagainya.
"Argh gue lihat statusnya jadi dia nanti lihat nama gue dong?" Salma berdecak kesal, meruntuki dirinya yang ceroboh hanya karena merasa penasaran.
...
Beberapa jam yang lalu...
Malvin keluar kelas setelah menolong seorang gadis yang membuatnya tertarik dan rela telapak tangannya yang robek demi melindungi Salma.
"Argh sakit." Malvin merintih pelan dan tangannya diayun-ayunkan namun darah segar terus merembes keluar.
Tangannya sebelahnya merogoh ponsel di saku jaketnya dan menelpon seseorang. Ia sadar tidak bisa memaksakan diri mengendarai motornya dalam keadaan tangan kanannya yang terluka amat parah.
Berselang waktu kemudian, sebuah mobil mewah berwarna hitam datang menjemputnya di depan pagar sekolah dan seseorang lagi keluar untuk membawa motornya pulang. Malvin masuk ke mobil dan terkejut karena kakeknya juga ikut menjemputnya pulang. Akhirnya ia duduk bersebalahan dengan kakekmya di kursir penumpang.
"Tanganmu kenapa, Malvin?" Leo Leander---nama kakek Malvin dan pernah muncul di cerita Because Of You (Bagi yang sudah membaca pasti tau cerita BOY tentangnya).
"Kena goresan doang."
"Doang? Katamu itu!" sentak Leo yang sangat mengkhawatirkan cucu kesayangannya yang tengah terluka parah di telapak tangannya.
"Aku baik-baik saja kakek, ini cuman diobati nanti langsung sembuh."
"Kakek tampar mulutmu ya, jelas-jelas parah begini kamu bilang begitu. Kakek akan bawa kamu ke rumah sakit, ini bisa infeksi." Leo memegang tangan cucunya dan memeriksa keadaan telapak tangan Malvin.
Malvin pasrah, percuma menolak nantinya karena kakeknya sangat mengkhawatirkannya. Ia bersyukur masih ada orang yang peduli yakni kakeknya dan teman-temannya meski seringnya Malvin menjadikan babu kepada teman-temannya.
"Pak, ke rumah sakit."
"Siap Pak Leo." Sopir pribadi Leo mengangguk cepat dan memutarkan arah jalan pulang berganti menuju ke rumah sakit.
"Kamu ke rumah kakek aja nanti kalau kamu tidak mau pulang ke rumah," ujar Leo.
"Kakek," panggil Malvin pada kakeknya setelah beberapa menit saling terdiam.
Leo menoleh dan menatap penuh tanya ke Malvin.
"Bolehkah aku memiliki apartemen? Aku tidak tahan lagi tinggal sama mereka." Malvin menghela napasnya lelah.
"Tidak boleh. Kakek lebih mencemaskan keadaanmu kalau tinggal sendiri."
"Kan Malvin bisa juga belajar mandiri karena tidak selama tinggal sama keluarga dan ada kalanya aku pergi jauh untuk mengejar impianku." Malvin mengutarakan keinginannya yang tidak pernah dituruti keluarganya.
"Kalau begitu nanti naik kelas, kamu pindah ke Canada dan tinggal bersama saudaramu di sana. Kamu akan tau kata mandiri yang kakek maksud."
"Harus ya aku pindah? Itu berat."
"Makanya tidak usah berpikir hidup sendiri, bagi kakek kamu itu masih anak kecil yang suka manja."
"Kan aku masih ingin tinggal di Indonesia, aku ngekost boleh?"
"Enggak."
"Emm buatin Malvin rumah aja deh, Kek." pinta Malvin yang semakin aneh.
Leo menatap nyalang ke Malvin membuat Malvin terdiam karena takut. Takut nantinya tidak diberi uang saku darinya sebab setelah keluar dari rumah, ayahnya tidak mengirimkannya uang sepeser pun.
Malvin memandangi telapak tangannya yang terluka, sebenernya ia takut melihat darah semengerikan ini rupanya karena luka goresan yang cukup parah. Walau begitu, Malvin merasa tenang sebab sosok yang disukainya tidak jadi terluka. Malvin tak bisa membayangkan jam dinding itu mengenai kepala Salma dan menbuatnya bergidik ngeri.
"Kamu kenapa? Takut sama luka sendiri?" tanya Leo heran melihat gelagat cucunya yang aneh. Baru saja tersenyum dan bergidik-gidik.
"Emm." Malvin malu menjawabnya.
"Oh apa karena kamu habis menolong seseorang yang kamu sukai?"
"Lho kok kakek tiba-tiba jadi cenayang begini?"
"Kakek dulu semasa sekolah juga pernah seperti kamu."
"Kakek ingatannya masih kuat. Rahasianya apa sih?"
"Ada deh."
"Dan rela terluka demi seseorang yang kita cintai itu membuat kita senyum-senyum sendiri dan seketika melupakan rasa sakit yang kita alami."
...