kapan ya aku merasakan komentar sampai ribuan dalam sehari? Ratusan aja belum pernah, bismillah semoga suatu saat dapat banyak komentar
tenang kok, aku tetap up tiap hari walau aku tau, tidak ada yang membaca ceritaku ini ☺️
............
Part 22
"Enak nggak bekalku?" tanya Silma saat melihat kekasihnya begitu lahap memakan bekal miliknya.
"Iya, Sayang. Buatanmu kah?"
"Buatan bunda, lain kali aku yang masak buatmu. Maaf ya aku kurang bisa masak," ucap Silma seadanya.
Saat ini mereka berdua berada di kantin dan menghabiskan waktu istirahat dengan makan bersama di kantin sekolahannya tersebut. Mereka berdua duduk saling berhadapan.
"Oh kirain kamu yang buat ternyata bundamu, enak sekali masakannya dan mamiku malah masakannya membosankan." Alfa tersenyum disela-sela mengunyah makanan.
"Jangan bilang begitu sama mamimu, mamimu bisa sakit hati lho." Silma membagi isi bekalnya menjadi dua dan dimakan bersama Alfa. Ia juga diam-diam membaca porai banyak meski bundanya sempat mencurigainya karena biasanya yang menyiapkan bekalnya adalah bundanya sendiri.
"Hehe mamiku harinya keras dan semuanya dianggap bercanda. Pernah kok aku bilang begitu, besoknya dimasakin makanan yang belum pernah dimasak tapi cuman sehari saja. Besoknya balik masak sop ayam."
"Masak sop ayam terus?"
"Hampir tiap hari, kan gue jadi bosan." Alfa memasang muka sebal mengingat masakan maminya yang membosankan menurutnya.
"Ya kamu belajar masak sendiri kalau bosan sama masakan mamimu." Silma terkekeh pelan.
"Gak bisa, bisaku cuman masak mie dan air doang."
"Kalau itu sih aku bisa sambil merem."
"Merem terus gasnya meledak."
"Ada ya hubungannya?"
"Entah."
"Ih." Silma mencemberutkan bibirnya. Alfa tertawa melihat wajah Silma yang kesal.
"Ketawa terus."
"Jangan ngambek dong, gak ada yang sayang-sayangan sama aku." Alfa menyodorkan sendok di depan bibir Silma.
Silma melahap makanan yang disuapi Alfa.
"Pedes banget sih, pas kena lomboknya tau." Silma meringis merasakan lidahnya terbakar dan sepertinya baru saja tak sengaja memakan lombok yang masih utuh.
"Eh? Iya ya." Alfa baru sadar tadi mengambil lombok dan panik seketika mengetahui Silma kepedasan.
"Kamu mau bunuh aku?"
"Enggak kok, maaf ya. Beneran deh itu tidak sengaja. Kamu baik-baik saja kah?" tanya Alfa khawatir menatap Silma tengah menegak botol mineral dingin.
"Masih pedas sih, enggak mau lagi deh disuapin." Silma pun marah seraya melipat tangannya dan ditopangkan di atas meja.
"Maaf Silma, nanti aku periksa lagi kalau mau nyuapin kamu. Aku pesan air hangat ya?"
"Enggak, aku tidak suka minum air hangat. Tambah kebakar menurutku."
"Ya enggak dong, malah cepat reda pedasnya setelah minum air hangat. Aku kalau kepedasan minum air hangat juga."
"Enggak mau."
"Ya sudah terserah, tapi makanannya dihabiskan dong. Masih kurang dikit lagi."
"Porsiku kebanyakan, kamu habisin deh daripada mubadzir."
"Kamu masih marah sama aku?" tanya Alfa, karena Silma masih mengeluarkan suara orang yang lagi marah.
"Enggak," jawab Silma cuek dan tangannya meraih ponsel milik Alfa yang tergeletak di sampingnya.
"Kok cuek gitu?"
Silma mengabaikan Alfa dan mulai membuka isi ponsel kekasihnya. Ia begitu proktektif bahkan hampir tiap hari, Silma menghapus nomor kontak para siswi yang berusaja menggoda Alfa meski Alfa mengabaikannya tapi tetap saja Silma tidak terima dan merasa cemburi sekali.
"Gitu amat lihat ponselku." Alfa menghela napasnya ketika Silma sedang menggeledah isi ponselnya.
"Apa harus aku blokir nomor mereka? Menganggu saja. Apa kamu tidak merasa terganggu sih? Kenapa dibiarin doang? Mereka malah semakin melunjak, lihatlah chat dari mereka berisi kata-kata v****r. Menjijikan." Silma tiba-tiba cerewet sambil menghapusi beberapa nomor ponsel yang dirasa itu adalah para siswi yang centil pada kekasihnya.
"Justru kalau diabaikan, mereka akan capek sendiri." Sejujurnya Alfa tak pernah melakukan seperti yang dilakukan Silma terhadap ponselnya. Alfa menjaga privasi Silma supaya kekasihnya itu nyaman dan agak kecewa Silma memaksa membuka ponselnya setelah mereka resmi berpacaran beberapa waktu yang lalu. Karena ini pertama kalinya bagi Alfa menjalani hubungan yang seriua dengan seseorang dan Alfa begitu sangat mencintai Silma.
"Tidak mungkin, mereka akan terus menganggu. Besok kalau masih banyak, kamu ganti nomor deh."
"Aku enggak mau." Alfa menggeleng cepat, menolak permintaan Silma.
"Lho kenapa?"
"Nomor ini penting."
"Kamu bilang begitu, buatku makin resah aja."
"Silma, kamu kok jadi begini?" tanya Alfa, merendahkan suaranya dan mencoba bersabar menghadapi Silma berubah sikapnya.
"Jadi apa sih? Biasa aja kok," balas Silma.
"Iya deh ya," ucap Alfa mengalah dan melanjutkan melahap makanannya sampai habis tak tersisa, tentu juga sisa makanan Silma.
Bel masuk sudah berbunyi membuat keduanya beranjak pergi dari kantin. Alfa melirik Silma yang melepas genggaman darinya.
"Kamu masih ngambek?"
Silma hanya menggeleng sebagai jawaban padahal biasanya gadis itu suka sekali bercerita kepadanya.
"Jangan gitu dong." Alfa merangkul pundak Silma dan Silma menolaknya.
"Enggak mau, kita jalan sendiri-sendiri. Kamu tidak usah nganter aku ke kelas." Silma berjalan mendahuluinya dan Alfa berhenri berjalan seketika.
Alfa memandang punggung Silma dari tempatnya berdiri, Silma benar-benar menghiraukannya kali ini bahkan tidak mencarinya saat tau dirinya tidak berjalan di sebelahnya.
"Maafin aku, buatmu marah begini."
"Andai kamu tidak meragukanku mungkin kamu tidak akan bersikap begini. Padahal mereka yang mendekatiku tetap aku abaikan dan beberapa juga aku hapus. Aku tidak bermaksud selingkuh darimu."
"Dua minggu ini aku bisa full menghabiskan waktu bersamamu dan setelah itu aku terpaksa membagimu dengan Silvia. Semua yang kulakukan ini demi kamu, maafkan aku dan nantinya pasti kamu sulit menerima maaf dariku jika ini benar-benar ketahuan."
"Kuusahakan kamu yang lebih aku utamakan dibanding dia." Alfa berjalan ke arah lain yakni menuju kelasnya sendiri.
Di tengah perjalanan, Silma terkejut berpapasan dengan Silvia dan gengnya.
Silvia menatapnya sinis ke arahnya dan Silma menundukkan wajahnya. Tangannya meremas tas bekalnya saat Silvia mengangkat segelas kopi ke arahnya.
"Wah sudah sehat rupanya?"
"Bagaimana keadaan kakinya?"
"Cacat kah?"
Suara Silvia entah mengapa membuat nyalinya menjadi menciut dan menebak dirinya akan disiram lagi.
'Kenapa gue harus bertemu dia? Sungguh gue baru saja keramas kemarin'--batin Silma.
"Ketakutan ya? Haduh sampai gemetaran begitu?" Silvia tertawa terbahak-bahak melihat Silma ketakutan padahal sebelum kakinya ditendang olehnya, dia begitu sangat berani kepadanya.
"Mau gue siram kopi yang masih panas ini?" Silvia mengangkat tinggi gelas minumannya dan di arah tepat di atas kepada Silma.
Silma memilih diam dan terdengar pula gelak tawa teman-teman Silvia yang mendukung Silvia akan menyiram kopi yang masih panas tersebut ke arahnya.
Silma sudah memejamkan matanya kuat namun tak ada tanda-tanda dirinya disiram. Ia kembali membuka matanya dan tak ada orang yang berdiri di hadapannya. Lantas Silma celingukkan dan ternyata Silvia bersama teman-temannya sudah pergi meninggalkannya. Di sana Silvia sempat berdiri hanya menoleh ke belakang dan tersenyum miring kepadanya.
Silvia juga menunjukkan kopi yang masih panas itu lalu diteguk dan dibuang ke segala arah hingga mengenai salah satu murid. Namun murid itu tak bisa protes atas tindakan Silvia yang kurang sopan dan yang bisa dilakukan hanya diam saja. Silvia tertawa lalu kembali berjalan dengan berlenggak-lenggok layaknya bak model papan atas.
'Dia gadis gila kan?'--ucap Silma sembari mengepalkan kedua tangannya erat.
...