Asisten Dosen

1909 Kata
Sudah lebih dari satu bulan Malika tidak pernah bertemu dengan Nadhief, setelah pesta pernikahan sahabatnya. Setiap dia datang ke rumah Nenek Kemala, orang yang di carinya pasti sedang berada di luar kota. Padahal Malika ingin memberikan kado ulang tahun Nadhief, dia sudah membuatkan rajutan hasil karya dia sendiri sesuai dengan rekomendasi Nala dan suaminya. Dia selalu berfikir jika Nadhief memang benar-benar sedang sibuk. “Dari mana, Sayang?” Malika merebahkan tubuhnya di samping sang Mama. “Kerumah Nenek Kemala, cari Kak Nadhief. Tapi orangnya gak ada.” “Tadi pagi Mama ketemu waktu joging,” ucap Arina. Malika langsung duduk dengan benar, menghadap mamanya. “Mama jogging jam berapa?” “Sekitar jam setengah 6.” Malika mengambil ponsel di sakunya, dia mencocokkan waktu joging Mamanya dan waktu dia berkunjung ke rumah Nenek Kemala. “Nala kesana tadi jam 6 lebih dikit, kenapa gak ketemu sama Kak Nadhief ya?” dia bertanya dengan dirinya sendiri. Arina yang melihat putrinya kebingungan, ikut duduk dengan benar. “Memangnya tadi Kakak kesana ketemu sama Nenek Kemala atau tidak?” tanyanya. Nala mengangguk, dia selalu bertemu dengan yang punya rumah. “Nenek Kemala bilang Kak Nadhief pergi ke luar kota, Ma,” Malika menjawab dengan cemberut. “Ke luar kota?” “Iya, Mama, Sayang.” Arina mendesah, dia membawa putri tunggalnya ke dalam pelukannya. Dia tahu jika Nadhief ada di rumah waktu pulang joging. Namun, kenapa Nenek Kemala mengatakan jika Cucunya sedang berada di luar kota? Apa mungkin Nadhief sedang menghindari Malika karena merasa terganggu dengan sikap putrinya? Arina akan memberikan penjelasan pada Malika agar tidak terlalu sering datang ke rumah tetangganya, untuk mencari keberadaan Nadhief. “Kenapa memangnya, Ma?” “Kakak ini perempuan, tidak baik kalau terlalu sering datang ke rumah laki-laki,” jelas Arina. Malika menatap ke dalam mata sang Mama, dia merasa ada sesuatu yang sedang di sembunyikan oleh Mamanya. “Iya, Ma. Malika bakal ke rumah Nenek Kemala seminggu 3 kali saja deh,” putusnya dengan pasrah. Arina hanya bisa geleng-geleng kepala, menurutnya seminggu 3 kali itu masih terlalu sering. Sudah lebih baik dari pada sehari 2 kali, dia akan memberikan pengertian secara pelan-pelan pada anaknya lagi. Agar tidak usah pergi berkunjung ke rumah Nenek Kemala, jika bertujuan mencari Nadhief. “Kakak nanti berangkat ke kampus jam berapa?” “Berangkat siang, Ma. Sekitaran jam 2 an.” “Mama nanti nitip cookies buat Papa, stoknya sudah habis di rumah.” “Siap, Mama. Seperti biasa ‘kan All varian?” “Iya, anak cantiknya Mama.” Arina memeluk kembali Malika dengan mencium kedua pipi anak gadisnya yang sudah mengerti jatuh cinta. Gara-gara sang Mama pergi menemani Papa bertemu dengan klien, Malika jadi terlambat datang ke kampus. Setelah mencurahkan isi hatinya pada sang Mama, Malika menonton drakor di kamarnya sampai ketiduran. Kalau Bibik tidak membangunkannya bisa lanjut sampai sore dia tidur siangnya. Dengan kekuatan super yang dimiliki oleh Malika, dia mandi berdandan tipis-tipis lalu berangkat ke kampus dengan mobil kesayangannya dengan kecepatan penuh. “Maaf, Pak. Saya terlambat ...” ucapnya saat masuk ke dalam kelas yang sudah ada dosennya. Malika masuk tanpa melihat siapa yang sedang mengajar, langsung saja duduk di kursi yang masih kosong. Dia membuka buku yang menjadi mata kuliah siang ini dengan tergesa, nafasnya pun masih memburu akibat berlarian. Dosen yang mengajar Malika hari ini hanya menggelengkan kepala, melihat kelakuan mahasiswa yang baru saja datang. “Baiklah, kita mulai kuisnya. Masukkan semua buku hanya sisakan bolpoin saja di meja.” Malika yang mendengar suara yang sangat dia kenali langsung melihat ke arah depan. “Kak Nadhief?” gumamnya tanpa suara. Dia langsung memasukkan bukunya kembali, menaruh tasnya di bawah. Malika mendapatkan kertas kuis yang sudah ada pertanyaan yang harus dia jawab. Meskipun kelakuannya Malika sangat pecicilan sekali, dia memiliki otak yang sangat cerdas warisan dari Mama Arina. Dengan mudahnya dia menjawab ke lima soal yang ada di dalam kertas. “Sudah selesai?” tanya seseorang yang ada di sampingnya. Malika mendongak, tatapannya langsung bertemu dengan Nadhief. “Sudah, Kak eh ... Pak,” jawabnya. “Kumpulkan ke depan, lalu kamu bisa keluar lebih dulu.” “Lah kok keluar, Pak. ‘Kan baru juga masuk kelas,” protes Malika. “Kuliah hari ini sudah selesai, kalau mau tetap di dalam kelas ya silahkan saja.” Nadhief mengatakan itu lalu kembali ke meja dosen, sementara Malika mendengus. Kenapa orang yang selama sebulan ini di carinya berubah menyebalkan? Karena memang kelas hari ini dosennya tidak bisa hadir, asisten dosen hanya memberikan penjelasan sedikit lalu membuat kuis. Malika bersiap untuk keluar dari kelas, sebelum mengumpulkan kertas kuisnya. “Lain kali jangan terlambat masuk kelas!” “Iya, Pak,” jawabnya dengan tersenyum manis dengan Nadhief. Saat malika baru saja keluar dari kelas, dia di kejar oleh sahabatnya Arga. “Malika kedelai pilihan, tunggu ...” “Apaan sih?!” omel Malika. Arga berlari ke arah Malika, dengan menutup tasnya yang masih terbuka akibat buru-buru. “Aku sudah kirim pesan sejak tadi kamu gak balas, pasti ketiduran gak ada Mama di rumah ya?” “Iya, untung saja ada Bibik, yang tahu aku ada jadwal kuliah siang. kalau soal ponsel ...” Malika membuka tas ranselnya untuk mencari barang yang tengah dibicarakan. “Kayaknya ketinggalan di rumah, soalnya tadi aku lupa taruh di mana,” ucapnya. Arga terkekeh, kebiasaan dari sahabatnya pasti lupa menaruh ponsel. “Ke kantin yuk, sekalian nanti aku jelasin tugas yang harus dikumpulkan besok,” ajak Arga pada Malika. “Memangnya ada tugas lagi?” “Iya, tadi asisten Pak Iqbal kasih kita tema untuk buat makalah dan dikumpulkan besok jam 10 sama dia.” “Kok cepet banget? Biasanya juga dikumpulkan minggu depan atau pas mata kuliah ini lagi. Lagi pula hari ini udah kuis ‘kan?” Arga mengangguk, dia menyuruh Malika untuk duduk lebih dulu. Sementara dia akan memesan minuman, karena mereka tidak akan makan siang. “Seperti biasa, Ga. Banyakin es nya,” seru Nala pada Arga. Arga tidak menjawab, dia hanya mengangkat jempolnya ke atas. “Terima kasih, Arga yang baik hatinya.” Arga mencibir Malika yang berterima kasih dengan lebay saat dia memberikan es cappucino kesukaannya. “Wah ini banyak sekali tugasnya. Gak tanggung-tanggung tuh Asdos kasih tugas buat kita, mana besok harus dikumpulkan.” Malika sedikit berteriak saat melihat begitu banyak tugas yang diberikan oleh Asisten Pak Iqbal. “Kayaknya dia anak 2 jurusan, pantas saja otaknya sangat cerdas sekali. cara menyampaikan materi saja hampir sama dengan Pak Iqbal.” Malika baru sadar jika Nadhief bisa masuk kedalam kelasnya. Padahal yang dia tahu, tetangganya itu mahasiswa kedokteran tingkat akhir. “Benar juga, Kak Nadhief itu mahasiswa kedokteran.” “Kamu kenal sama Asdos tadi?” Malika mengangguk, bukannya hanya kenal dia sangat mengenal Nadhief. “Dia itu tetanggaku, aku sedikit terkejut saat tahu Kak Nadhief ambil 2 jurusan. Padahal dia anak kedokteran.” “Kedokteran?” tanya Arga. “Hmmm ... kamu bayangin saja betapa geniusnya otak Kak Nadhief, bisa-bisanya ambil 2 jurusan yang sangat sulit.” Arga mengangguk mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatnya, dia sudah tidak kaget lagi dengan kemampuan akademik seorang Nadhief. Karena orang tua Arga kebetulan sekali bekerja di perusahaan milik keluarga Nadhief. “Terus yang ini kamu ambil referensi dari buku langsung atau jurnal online?” tanya Malika dengan menunjuk catatan Arga. Arga menjelaskan semuanya pada Malika dengan sangat detail, dia itu termasuk mahasiswa paling cerdas incaran semua gadis fakultas ekonomi. Kadang saja Malika akan menjadi kurir, tukang menyampaikan surat atau hadiah untuk Arga. Kegiatan keduanya, sejak tadi diperhatikan oleh seorang laki-laki yang sedang makan siang di meja paling pojok. Dia terus saja memperhatikan interaksi antara Malika dan temannya. *** “Baru pulang?” Malika menoleh ke belakang, melihat siapa yang bertanya padanya barusan. “Eh ... Kak Nadhief, sejak kapan di situ?” bukannya menjawab Malika justru bertanya balik. “Sejak 2 jam yang lalu.” “Nungguin orang?” “Hmm ...” “Oh,” jawab Malika dengan mengangguk. Dia membuka pintu mobil bagian belakang, mengambil paper bag yang selalu dibawa olehnya. “Buat Kakak, selamat ulang tahun. Meskipun telat,” ucap Malika. Nadhief diam saja melihat senyum tulus dari Malika, meskipun dia selalu berusaha menghindari gadis yang ada di depannya saat ini. Malika tetap bersikap ramah padanya. “Mau kemana?” “Pulang, Kak. Ada janji sama Mama.” Setelah menjawab pertanyaan dari Nadhief, Malika langsung pergi meninggalkan Nadhief yang masih setia duduk di kursi dekat parkiran mobil. Sejak tadi, dia menunggu kedatangan Malika. Namun, saat gadis yang ditunggu datang dia malah melewatkannya begitu saja. “Dasar bodoh!” ucapnya dengan memukul kepalanya. Setelah pernikahan gadis yang namanya kini masih melekat di hatinya, Nadhief memang sengaja menghindar dari Malika. Dia masih berusaha untuk menata kembali hatinya yang baru saja hancur. Kedatangan Malika yang sempat menawarkan obat untuk rasa sakitnya belum bisa dia terima. Dia takut melukai Malika si gadis baik itu. Oleh karena itu, Nadhief lebih memilih menutup hatinya di bandingkan membuka hati yang di dalamnya masih ada penghuninya. “Malika dari mana, Nak?” tanya Nenek Kemala saat Malika melewati rumahnya menggunakan sepeda listrik. Malika berhenti untuk menjawab Nenek Kesayangan satu komplek itu. “Beliin teman kampus Batagor sama es doger, Nek.” “Lagi mau belajar bareng?” “Iya, Nenek Sayang. Kalau begitu Malika lanjut dulu ya, gak enak sudah ditunggu lama.” Nenek Kemala mengangguk, setiap sore dia akan jalan-jalan di sekitaran rumahnya untuk meregangkan otot-ototnya yang kaku. Katanya saat Malika bertanya waktu dulu. Dari atas rumah Nenek Kemala, Nadhief memperhatikan Malika dari balkon kamarnya. Tadinya dia ingin menyapa gadis manis itu. Namun, saat Malika berkata ada teman kampusnya di rumahnya, Nadhief mengurungkan niatnya untuk bertanya pada Malika. “Cardigan dari siapa? bagus sekali,” tanya Nenek kemala saat melihat cucunya menaiki sepeda dengan memakai cardigan rajut. “Hadiah ulang tahun, Nek.” “Dari siapa?” “Malika.” “Jadi isi paper bag yang dia bawa setiap hari saat ke sini ternyata cardigan rajut? sepertinya itu buatannya sendiri.” “Iya, Malika pandai sekali merajut.” “Bukankah gadis yang bisa merajut itu memiliki kesabaran yang tinggi, masih mau menjauhinya?” tanya Nenek Kemala pada Cucunya. Nadhief tidak menjawab, dia pamit pada Neneknya untuk berkeliling komplek sebelum mulai mengerjakan skripsinya. Sebenarnya, tahun kemarin Nadhief sudah menjadi Sarjana Ekonomi terbaik di fakultasnya. Namun, dia tidak mengikuti wisuda itu karena bertepatan di fakultas kedokteran ada acara ke luar kota. Kini dia sekarang sedang menjadi mahasiswa S2 di jurusan yang sama dengan yang dia ambil waktu S1, yakni fakultas Ekonomi. Maka dari itu dia sudah diberi kepercayaan untuk mengajar meskipun hanya sebagai Asdos, karena Nadhief di gadang-gadang oleh dekannya untuk menjadi dosen di kampus tempat dia kuliah saat ini. “Hati-hati Arga, jangan ngebut!” “Mana pernah aku ngebut Malika?!” “Halah ... halah, kamu ini suka pura-pura amnesia. Yang kemarin ditangkap pak polisi gara-gara ketahuan ugal-ugalan di jalan siapa coba?” Arga mendengkus, Malika akan terus mengungkit soal dia yang mengejar waktu karena hampir telat ke kampus. Malah berakhir di kantor polisi. “Itu yang pertama dan terakhir Lika, janji,” ucap Arga dengan mengangkat kedua jarinya. “Oke ... oke,” jawab Malika, dia tadi hanya berniat menjahili temannya saja. Setelah berpamitan Arga langsung pulang dari rumah Malika, karena tugas yang harus mereka kumpulkan besok sudah selesai dikerjakan. “Kak Nadhief, ngapain di situ?” Nadhief tidak menjawab, dia menaiki sepeda melewati Malika yang sedang berada di depan rumahnya begitu saja. “Kenapa sih Kak Nadhief? Aneh sekali!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN