Welly tidak ingin menjelaskan terlalu banyak, lagian dia masih tidak ingin ada siapapun yang tahu kalau dirinya memiliki empat triliun kecuali preman muda tadi.
Welly merapikan pakaiannya, menepuk Candra Zainal dan menghiburnya, "Sudahlah, ayo pergi."
Kalau memang orang ini dari awal tidak masuk akal, maka sekalipun bicara panjang lebar juga mungkin tidak berguna.
Welly menoleh menatap Yunita Carta dan sedikit malu, "Pulanglah lebih awal."
Pipi Yunita sedikit merah, dia mengangguk dan perhatian, "Apakah tidak perlu ke rumah sakit?"
Welly masih belum menjawab, Jenny Wilston segera menyela.
"Kurangi deh, aku sudah bertemu banyak orang seperti kalian. Jangan kira sudah dipukuli orang, maka kami akan menganggap serius!" Jenny mengkerling Welly dan berkata kesal, "Kodok ingin makan daging angsa, orang seperti ini sudah sering aku temui. Siapa yang tahu b******n barusan apakah satu gerombolan dengan mereka. Siapa yang bisa menjamin ini bukan rancangan mereka bersama?"
Mendengar ini, Welly sedikit marah.
Bagaimanapun juga sudah menyelamatkanmu. Tidak berterima kasih masih mencibir dan menfitnahku.
Orang semacam ini memang tidak memiliki hati nurani. Welly merasa hatinya dingin.
Candra tadinya tidak ingin menghiraukannya, tapi api amarah naik karena kata Jenny ini.
"Sialan, bagaimana kamu bicara? Apakah kamu manusia?" Candra berkata dengan marah, "Kenapa kalau kamu cantik? Cantik jadi lebih unggul dari orang lain? Jika tahu kamu orang semacam ini, barusan buat apa membelamu. Sungguh sialan menerima kemarahan dari dua pihak!"
Jika adalah seorang pria, mungkin Candra sekarang sudah menyerangnya.
Tapi Jenny sama sekali tidak menunjukkan kelemahan dan berkata keras, "Sebaiknya saat berbicara jaga mulutmu itu. Orang rendahan memang begitu, bicara tidak lepas dari u*****n. Mulut begitu, mungkin orangnya lebih sampah lagi!"
"Sekelompok orang miskin, jangan berpikir sudah melakukan apa, maka kami akan menerimanya. Orang seperti kalian, sentuh sedikit saja aku merasa kotor!" Jenny berkata kesal, "Sungguh sial bertemu kalian hari ini!"
"Katakan sekali lagi! Kamu bilang siapa orang rendahan?" Candra marah dan hendak maju menampar Jenny ini.
"Hehe, yang dimaksud adalah kamu. Kalian bukan orang rendahan, apa lagi? Lihat pakaian kalian, barang murahan. Sekalipun menjual kalian semua juga tidak mampu membeli satu jaketku! Aku peringatkan kalian, kalian sebaiknya jangan berangan-angan. Tidak peduli bagaimana kalian bersandiwara, kami tidak akan ada minat melihat kalian."
Setelah mengatakan itu, Jenny menarik Yunita keluar dengan paksa.
"Apa-apaan!" Candra hampir meledak, "Buat apa orang semacam ini hidup? Mati saja, benar-benar membuang-buang udara!"
Meskipun Welly juga marah, tapi saat ini juga hanya bisa menahan amarahnya. Dia menepuk bahu Candra.
"Sudahlah, buat apa perhitungan dengan orang semacam itu, hanya akan membuat diri sendiri marah!" Welly menggelengkan kepala dan tidak tahan menoleh menatap Yunita.
Pada saat ini Jenny juga sedang bertengkar dengan Yunita, dia juga menoleh dan mata mereka saling bertatapan.
Welly bengong, saat itu, rasanya seperti seluruh tubuh telah dikosongkan dan wajah memerah.
Yunita juga mengangguk padanya dengan canggung, mungkin masih ingin mengatakan sesuatu, tapi sudah dibawa pergi Jenny dengan paksa.
"Aduh, apa yang kamu lakukan Jenny!" Setelah keluar dari pintu, Yunita sangat tidak senang. Wajahnya cemas dan kesal, "Kenapa kamu berbicara seperti itu tadi? Orangnya sudah menyelamatkanmu!"
Jenny mengeluarkan kunci mobil dan menekan kuat. Lampu depan mobil Volkswagen Beetle menyala di parkiran.
Jenny mengkerling Yunita dan berkata, "Sungguh menarik. Yunita, apakah otakmu berlubang? Apakah kamu tahu barusan itu bukan rancangan dari beberapa orang miskin itu? Kamu malah percaya!"
"Apa yang paling konyol? Si miskin itu celananya bolong, masih mengatakan memiliki empat triliun di kartunya. Orang ini gila, kamu masih berterima kasih kepadanya!" Jenny mencibir, "Jujur saja, sekalipun bukan rancangan mereka, orang seperti mereka juga harus menjauh dariku, mereka itu kotor!"
Jenny menggertakkan giginya, dalam hati tidak senang dan kembali bergumam, "Sial, aku pikir benar-benar suatu hari nanti akan ada pangeran berkuda putih yang menyelamatkanku. Akhirnya malah si miskin itu, sungguh sial, sungguh menjijikkan. Kenapa preman itu tidak bunuh saja dia ...."
Yunita menatap Jenny tidak percaya, lalu menggelengkan kepala tidak berdaya dan berbalik pergi.
"Hei, kemana kamu? Naik mobil!"
Yunita menggelengkan kepalanya, "Sudahlah, aku naik taksi."
Jenny bergegas mengikutinya dan menghentikan Yunita berkata, "Yunita Carta, kamu jangan tidak masuk akal, oke? Orang semacam itu sama sekali tidak sejalur dengan kita! Aduh, jangan marah, aku dengar, lusa ada pertemuan orang ternama di hotel Haston. Nantinya akan ada banyak Tuan muda orang kaya yang tampan di sana. Aku sudah meminta orang mengambil dua tiket masuk. Bagaimana kalau kita ke sana? Seandainya dapat pria kaya dan semacamnya ..."
Berkata sampai sini, Jenny sudah tidak ada api amarah barusan, wajahnya penuh senyuman dan sepertinya sangat menantikannya.
Tapi terhadap ini, Yunita hanya tersenyum saja.
Aku tidak masuk akal? Hehe, siapa yang tidak masuk akal, apakah tidak tahu?
Yunita menggelengkan kepala tidak berdaya dan berkata acuh, "Kamu pergi sendiri saja, aku tidak berminat, aku mau pulang ...."
Melihat sosok Yunita, Jenny marah dan menghentakkan kaki, lalu bergumam, "Hng, entah apa yang dipikirkan. Demi beberapa orang rendahan juga sampai begini denganku? Hng, tidak mau ya sudah, aku pergi sendiri! Mungkin masih bisa bertemu dengan Tuan muda kaya mana ...."
Berpikir sampai sini, mulut Jenny kembali ada senyuman penantian dan berbalik masuk ke dalam mobil.
Welly bertiga juga meninggalkan toko hotpot dengan diam setelah Yunita pergi.
"Ayo Welly, kita periksa ke klinik. Lukamu tidak ringan!" Candra menunjuk lebam di tubuh Welly dan menghela napas, "Sialan, tunggu aku sudah kaya dan bertemu b******n itu, aku pasti membunuhnya!"
Welly menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa, istirahat dua hari sudah baik, semua hanya luka luar saja."
Candra mengerutkan kening dan dalam hati berpikir kartu atm Welly sudah direbut tadi. Ponsel juga sudah dibanting olehnya, mungkin tidak ada uang jadi tidak ingin pergi.
"Tidak, sebaiknya pergi periksa saja," Candra berpikir sejenak dan mendadak teringat sesuatu jadi segera berkata, "Aku sudah tahu, ayo, ikut denganku!"
Selesai bicara, Candra menghentikan taksi dan memegang Welly naik lalu pergi.
Beberapa saat kemudian, taksi berhenti di depan pintu klinik.
Welly mengerutkan kening, "Aduh tidak apa-apa, tidak perlu ke klinik, kita pulang saja."
Candra malah tersenyum, "Tenang saja, klinik ini tidak akan memungut biayamu."
Dalam hati Welly tersenyum, "Sama sekali bukan masalah uang, aku hanya luka luar saja. Beli salep obat memar sudah cukup. Aku sebelumnya ingin pulang istirahat dulu, lagian jika aku ingin pergi maka langsung ke rumah sakit besar."
Candra menggelengkan kepala mendengarnya, namun tidak bicara, hanya saja dalam hati menghela napas dan berkata, kamu sebenarnya anggap aku teman baik atau bukan, sudah saat ini masih berbual denganku. Di sakumu sudah tidak ada sepersen pun, nantinya gerbang rumah sakit saja tidak bisa masuk.
Candra tentu saja tidak tahu. Meskipun Welly sudah menyerahkan kartu pada preman muda itu, tapi di tas kamar asramanya masih ada sepuluh juta.
Hanya saja sudah sampai di sini, Welly juga tidak mengomel untuk pulang, biar tidak mengecewakan kebaikan Candra.
Klinik tidak besar, begitu masuk pintu, bau disinfektan yang kuat sudah tercium.
Saat ini tidak ada pelanggan di dalam klinik, hanya ada dua gadis di meja depan tidak jauh.
Welly tadinya tidak peduli, tapi ketika mendengar percakapan dua gadis, dia mendadak bengong.
"Masalah ini tidak bisa salahkan aku, 'kan? Kamu juga kenapa melindungi si bodoh itu? Martina Sujaya, aku ini barulah teman baikmu."
Benar, yang berbicara adalah Lisa Zulnadi. Saat ini dia tidak memperhatikan Welly dan tetap mengobrol tidak henti di samping Martina.
"Aku datang hari ini, yang utama merasa antara kita karena si bodoh itu lantas putus hubungan pertemanan selama 6-7 tahun sungguh disayangkan!" Lisa berkata, "Martina, aku rasa kamu juga tidak berharap kita putus hubungan, 'kan? Asalkan kamu berjanji dan mulai sekarang menjauh dari si bodoh itu, kita masih tetap teman baik!"
Martina tidak sabaran, mendongak menatap Lisa dan hendak mengatakan sesuatu, tapi mendadak melihat Welly yang tidak jauh.