Aku terpana, ya, terpana, rasa tidak percaya dan pasti tidak mungkin, ini mimpi. Namun, ketika kucubiti tangan, aku sadar itu kenyataan dan yang berboncengan dari jarak dua puluh meter dariku itu adalah suamiku.
"Mas Imam ...."
Kupungut belanjaan dan segera memanggil ojek yang 'mangkal' tak jauh dari tempatku, kunaiki motor dan meminta tukang ojeknya untuk mengikuti motor suamiku.
"Astaghfirullah, ya Allah, apa benar itu dia, mudah-mudahan bukan dia, ya Allah, aku takut, aku tak siap dengan kenyataan ini," gumamku pelan.
Ya, dalam hati aku terus berharap bahwa yang sedang berboncengan di depan sana bukan Mas Imam.
Setelah sepuluh menit motor itu berbelok di sebuah gang, masuk ke satu rumah yang cukup besar untuk ukuran rumah biasa, motor itu berhenti di sana.
Kusuruh tukang ojek untuk berhenti agak jauh dan mengendap-endap aku mengintip dari celah celah pagar, kebetulan kondisi kampung wanita itu sedang lengang.
"Mas ... masuk dulu, ya," ucap wanita itu dengan manja, dia mencium tangan suamiku.
"Iya, Dek, Mas mau pulang aja langsung," jawab Mas Imam.
"Ah, Mas, kita udah lama nggak jumpa,aku rindu padamu, begitu anak kita." Wanita itu bersikap sangat manja, dia memeluk Mas Imam, dan suamiku hanya tersenyum sambil mengecup pucuk kepalanya.
Apa? Anak? Ya Allah ... yang benar saja?
"Sari, Mas juga rindu, tapi Mas juga menahan kerinduan sampai waktunya tepat, Mas pulang ya, Sayang."
"Mas ... kapan status kita akan jelas, aku juga ingin seperti Mbak Yanti yang diakui dan dibanggakan keluargamu," ungkapnya sedih, namun kesedihan itu mengalahkan tingkah genitnya yang langsung mendekat kembali dan mengecup suamiku.
"Pulang ya ...." Mas Imam membelai wajahnya.
"Nanti malam, datang ya," pintanya memelas.
"Iya, kalau aku punya kesempatan."
Aku akan melabrak mereka tapi, akan kurang rasanya jika aku tak menahan diri, aku ingin tahu bagaimana anaknya, sejak kapan hubungan mereka, bagaimana penilaian masyarakat di sini terhadap hubungan mereka, serta, siapa sebenarnya wanita itu.
Aku berjalan menjauh, menyembunyikan diri diri dari suamiku, berusaha mencari rumah warga dan bertanya tentang wanita itu, sejak kapan dia di sana.
"Mbak pemilik rumah bercat putih itu, namanya siapa ya, Bu. Saya agak ragu, karena pernah sekampung dengan saya, saya ingin tanya tapi malu, takut salah orang," ucapku pada seorang ibu yang sedang duduk di teras rumahnya. Ia mengernyit mendengar pertanyaanku namun aku terus menyunggingkan senyum ramah sehingga ia memberi isyarat anggukan.
"Oh, dia Mbak Sari, memang penduduk sini, Mbak."
"Oh, karena mirip tetangga saya dulu," jawabku.
"Oh ya, yang sering datang itu ... suaminya ya?"
"Iya, suami barunya."
Tak ingin terlihat begitu penasaran dan mencurigakan, aku segera pamit.
"Oh begitu ya, makasih ya, Mbak, saya permisi." Aku tetap bersikap ramah pada tetangga wanita itu.
"Enggih, Mbak," jawabnya.
**
Hendak melabrak wanita yang memakai rok selutut itu, dia yang sedang gembira dengan senyum melebar merekah menjemur pakaian sembari bersenandung indah. Pasti hatinya berbunga-bunga karena berhasil merebut hati suami orang. Kuhitung detak jantung, juga tarikan napas yang mulai berat karena emosi. Aku bimbang memutuskan menjambak atau tidak, dan ketika akan mengangkat kaki mendekat, tiba tiba wanita itu memanggil nama seorang anak perempuan.
"Rania, sini Nak," panggilnya.
Dan tak lama kemudian gadis kecil yang mungkin berumur tiga tahun muncul, membawa boneka dan langsung memeluk ibunya.
Menatap gadis berambut gelombang dan berpipi ranum itu, hatiku mendadak tak karuan rasanya. Ada benci, iba, gemas dan tidak tega. Aku bingung dan di puncak kebingungan itu, mataku mengabur, air mataku tumpah begitu saja
Kubalikkan badan, menyandarkan diri di dinding pagar lalu tak kuasa menangis sejadi jadinya. Hatiku hancur, berkeping-keping tak berbentuk, membayangkan bahwa Mas Imam telah mengkhianatiku beberapa tahun ke belakang. Hingga anaknya telah tumbuh sebesar itu.
Bagaimana pun ini kebodohanku yang tak menyadari apa apa, hanya sibuk menjadi istri dan ibu yang baik bagi dua orang anak, jarang keluar rumah dan tetap berbakti apapun yang terjadi.
"Mas imam menipuku! Memanfaatkan kebaikanku!" Aku menggeram sambil mencoba memaksakan langkah kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, hari telah beranjak pukul dua siang, anak-anak sudah pulang begitu juga Mas Imam. Melihatku yang melangkah gontai sambil membawa belanjaan yang sudah mulai layu, Mas Imam menyongsong ke pintu dan langsung menanyaiku.
"Kamu dari mana? Kemana saja seharian ini?" tanyanya pelan.
Menatap matanya, mata yang dulu selalu meneduhkan hatiku, tiba-tiba air mataku jatuh begitu saja. Dia yang menatap langsung heran dan mengajakku masuk, meminta pada Vito dan Erwin anak kami untuk membawakan air segelas.
"Apa yang terjadi, Bund?"
"Berhenti pura pura baik!" Aku berteriak histeris, gelas yang dibawakan Vito kuambil dan kulemparkan ke wajahnya dengan kasar hingga dia terjengkang dan berteriak kaget.
Tapi, ah, itu hanya khayalanku barusan, aku masih linglung dan terdiam.
"Bund, kamu kenapa, apa ada masalah?" ulang Mas Imam yang duduk tepat di dekatku dan mengguncang bahu ini.
"Oh, gak apa-apa," jawabku mengemas air mata dan bangkit, kuambil belanjaan dan pergi ke dapur.
"Kalau kurang sehat gak apa apa, gak usah masak, kami akan beli makan di luar."
Jangankan beli makanan, punya istri dan anak tanpa sepengetahuan saja, bisa dia lakukan!
"Aku akan masak dan kalian akan makan di sini, di rumah ini!" tegasku setengah menekan.
Hari itu, aku masa dengan hati setengah tidak pada tempatnya. Pikiranku melanglang buana.
Fokusku terarah kepada wanita tadi, bagaimana kecantikannya bisa membuat suamiku meleleh, senyumnya, dan tatapan matanya, semuanya ... Dan aku merasa dikalahkan.
Kubayangkan bagaimana mesranya mereka, terbayang di pelupuk mata adegan cinta ketika di sisi lain suamiku membuat alasan tugas kerja, padahal pergi membuat bayi dengan selingkuhannya.
Allahu Akbar ...
Kutekan d**a yang mulai tak tahan mengumpulkan sabar dan tak kuat diri ini menanti waktu yang tepat untuk menguak kecurangan itu, dan pasti, puncak dari semua cerita ini adalah perceraian. Kalau tidak, mentoknya ke drama mempertahankan pernikahan demi anak, padahal hanya pura pura bahagia demi tidak digunjing tetangga.
Hari itu, kami makan dalam diam, anak anak mungkin heran karena tak biasanya ibunya seperti itu. Mas imam berusaha mengambil alih sedang aku menepis, tetap berusaha melayani, tapi dengan tatapan kosong, mata sembab dan lesu sekali.
Mungkin ini adalah sensasi rasa syok terburuk yang pernah kurasakan selama hidup di dunia ini, dulu sering melihat di tayangan tivi drama suami menikah lagi, tapi tak pernah membayangkan bahwa itu akan terjadi di rumah tangga kami, lagipula, suamiku tak pernah terlihat aneh, gelagatnya normal, dan waktu yang dia bagikan juga maksimal.
Di mana saatnya dia telah berhasil menikah dan mendapatkan anak perempuan? mengapa aku seteledor itu untuk menyadari kejanggalan ini? ya Allah ....
Dia sudah tidur dan aku masih membeku di sisi peraduan, dia tak banyak bertanya, hanya menepuk bahu dan membiarkanku mengambil waktu untuk memenangkan diri, sikapnya memberi empati sangat manis tapi aku sudah muak. Aku ingin berteriak dan menyulut pertengkaran namun masih memikirkan perasaan anak, aku tidak mau anak-anak syok ditambah mereka sedang menghadapi puncak-puncaknya kesulitan belajar. Semua itu akan mengganggu mereka.
*
Keesokan hari kuikuti dia, sengaja tidak memasak dan memasak makanan jadi, ternyata setiap hari dia tidak pulang kantor pukul 05.00 sore, melainkan dia selalu meninggalkan tempat kerjanya pukul dua lewat tiga puluh menit.
Mampir di tempat wanita itu, memeluk anaknya lalu kembali ke rumahku.
Kuikuti kegiatan suamiku hingga seminggu, menunggunya pulang, hingga aku juga ikut pulang, dengan sejuta alasan yang sudah siapkan jika dia curiga. Hingga suatu hari, dia mampir ke sana, masuk ke dalam rumah, dan berjam-jam tak keluar lagi.
Aku menyusul, dengan d**a membuncah emosi, masuk menghunus pisau, melihat gadis kecil itu bermain di ruang tengah dan aku terpaku beberapa saat di sana.
*
Sudah pukul tujuh malam, pintu kamar tidur tak kunjung terbuka, anak perempuan masih anteng bermain tanpa memperdulikan keberadaanku yang duduk dingin di sofa, tepat di sampingnya. Entah kenapa dia tak takut, atau mengatakan apa apa, seolah sibuk dengan dunianya.
Yang di dalam sana terdengar bermain cinta, napas mereka beradu, dan sedikit bergurau wanita itu terdengar manja.
Lima menit berikutnya, suara air keran, lalu setelah itu mereka keluar dengan senyum bahagia, membuka pintu, dengan rambut yang sama sama basah
Kaget mendapatiku yang menyeringai duduk di sofa, dua meter dari mereka.
*Kira kira apa yang terjadi?
Baca di KBM ya ❤️