Dentingan pedang terdengar sengit di tengah kesunyian hutan Blade yang rimbun. Darah tercecer sama pekatnya dengan malam dingin tanpa bintang.
Seorang perempuan mati-matian menghalau setiap serangan yang ia terima. Pertarungan tak sebanding ketika seorang perempuan yang hanya berbekal pedang, harus melawan empat pria kekar dengan kerjasama yang tepat.
Perempuan itu tak selemah yang mereka kira. Serangan yang mereka tujukan mampu ditangkis bahkan menerima serangan balik dari si perempuan.
"Sebenarnya kalian siapa?!" Perempuan dengan jubah hitam itu berteriak geram.
"Kau tak perlu tahu siapa kami!" seru salah satu pria berpenutup wajah.
"Apa yang kalian inginkan dariku?!" tanya si perempuan lantang.
"Kematianmu. Kami menginginkan kematianmu. Matilah malam ini!"
Perempuan itu geram dengan jawaban manusia di hadapannya. Tidak, mereka bukan manusia tapi iblis. Ia melancarkan serangannya, membuat seorang pria jatuh terkapar dengan leher tergores dalam, tak berdaya. Ia tak ingin dianggap lemah hanya karena ia seorang perempuan. Aroma darah menyeruak terendus indra penciuman.
Melihat salah satu rekannya terkapar, serangan ketiga pria itu semakin brutal, agaknya mereka tak terima dengan itu. Mereka terus melancarkan serangan tanpa memberi celah sedikit pun pada perempuan di hadapannya. Serangan dari segala sisi membuat perempuan itu kelelahan dan tak mampu membuat pertahanan sekuat tadi.
Tubuhnya terus berputar menghalau setiap serangan dari segala sisi. Pedangnya yang tak lagi bersih membuat nyalinya semakin berapi-api untuk membuktikan kepada iblis-iblis di hadapannya bahwa dia tak lemah. Matanya yang biru memercikan api kebencian yang dalam. Teknik-teknik bertarung yang dia pelajari tak disangkanya akan ia gunakan secepat ini. Sementara tubuhnya bertarung, otaknya pun terus memutar cara untuk bisa menumpas musuhnya tanpa sisa.
Srettt.
Ia terlonjak kaget, tersadar bahwa berfikir di saat seperti ini membuat gerakannya melambat dan langsung dimanfaatkan lawan. Bahu kirinya tersayat cukup dalam membuat darah mengalir membasahi pakaiannya yang sejak tadi memang terdapat banyak sayatan, tapi tak sedalam ini.
Rasa perih terus menjalar membuatnya meringis. Meski begitu ia tetap menangkis serangan lawan dengan nafas tersendat-sendat, tanda bahwa ia kelelahan. Ia tak bisa lagi menyerang sebaik tadi, tapi tetap mengayunkan pedangnya dengan tenaga yang tersisa. Ia tersenyum saat serangannya berhasil melukai lengan lawan cukup dalam.
Senyuman itu tak lama kemudian pudar beriringan dengan tubuhnya yang ambruk ke tanah. s**l, rutuknya tak terucap. Serangan dari belakang yang menebas punggung membuat dirinya terkapar bahkan terpisah jauh dengan pedang kesayangannya. Wajahnya yang menawan mencium tanah lembab dengan aroma darah yang menyeruak. Air mata tak lagi bisa ditahan untuk menetes. Membuat iblis di hadapannya menyeringai.
Sejak tadi ia berpikir, memang mustahil mengalahkan mereka seorang diri. Tak berperasaan! Para iblis tak punya harga diri menyerang seorang perempuan dengan brutal.
Tubuhnya yang tengkurap di buat terlentang dengan satu tendangan keras di kakinya. Iblis tak berperasaan itu yang melakukannya.
Tubuhnya menanggung perih tak terkira saat luka di punggungnya mengenai tanah yang lembab. Air matanya jatuh semakin menganak sungai ketika iblis di hadapannya mengacungkan pedangnya, hendak menebas lehernya kejam.
Ia berusaha menerima kenyataan pahit yang menyakitkan, bahwa dirinya akan mati konyol malam ini. Ia bersiap menerima tebasan dari iblis kejam di hadapannya. Tapi ternyata itu tak terjadi. Justru iblis itu yang jatuh tersungkur di sampingnya.
Perempuan itu melihat sosok samar yang menolongnya. Lalu matanya terpejam tak sanggup menahan perih lebih lama lagi. Dentingan pedang kembali terdengar, pertarungan kembali berlanjut setelah terjeda beberapa saat. Matanya masih terpejam saat dentingan pedang telah berhenti.
Ia merasakan seseorang mendekat lalu meraba wajahnya. Deru napasnya terasa sangat dekat lalu terdengar lelaki itu bergumam, "Dasar payah, dasar lemah." Hei! Aku akan menghajarmu ketika sadar nanti, aku tak lemah! Mungkin itu yang akan dikatakannya jika ia mampu berkata.
Perempuan itu merasakan tubuhnya terangkat seraya mendengar lelaki itu berbisik, "Bertahanlah."
Lalu ia merasakan aroma pinus yang segar merasuki indra penciumannya. Membuat dirinya terlelap nyaman dengan rasa sakit yang membuatnya hilang kesadaran, ia bahkan melupakan pedang kesayangannya.
*
Melesat di kegelapan malam adalah rutinitas seorang Aries Van. Hutan yang lebat sama sekali tak membuatnya kesulitan menemukan pijakan. Hutan Blade yang rimbun seolah telah menjadi temannya. Dengan jubah yang menutup hampir seluruh tubuhnya, dan tak menampakkan wajahnya sedikit pun.
Beberapa waktu terakhir ini dirinya memang selalu pergi di malam hari, tanpa sepengetahuan siapa pun. Berlatih pedang diam-diam, di Secret Sword Academy adalah alasannya.
Dia tak ingin Ayah dan saudaranya tahu dia menguasai s*****a ini. Mereka tidak boleh tahu bahwa Aries Van suatu waktu bisa melawannya.
Melawan keluarganya? Terdengar aneh, tapi itu memang sebuah keharusan menurutnya. Melawan kekejaman dan ketidakadilan yang dia dapat di masa kecilnya, membuat Aries berpikir jangan ada lagi seseorang yang bernasib sama sepertinya.
Mata merahnya menajam ketika dia melihat penindasan di hadapannya. Dia tak pernah mengira akan menemui hal ini di tempat dan situasi yang seperti ini sebelumnya. Mengingat hutan Blade adalah tempat yang jarang dijamah banyak manusia. Dia mempercepat langkahnya dengan pedang tergenggam di tangan.
Seorang perempuan malang rupanya telah berjuang seorang diri, melawan empat pria asing yang kini salah satunya akan menebas leher perempuan itu. Tanpa pikir panjang Aries mengayunkan pedangnya kuat, menebas punggung pria itu hingga menembus jantung. Pria itu rubuh tak lama setelahnya.
Dua pria sisanya menatap ke arah Aries tajam lalu mulai menyerang bersamaan. Pertarungan sengit tak bisa di hindari, tapi ini bukan apa-apa, mereka lawan yang mudah untuk Aries.
"k*****t kau karena telah menyentuh gadis itu!" Aries berteriak geram.
"Akan ku potong tangan kalian karena berani melukainya!" Dia berkata lagi.
Tak butuh waktu lama baginya untuk melumpuhkan dua tikus itu. Dua pria itu terkapar dengan luka parah yang mengerikan. Pedang merah Aries benar-benar menyeramkan. Satu kaki Aries menahan tubuh salah satu dari mereka, sementara pedang terhunus di jantung lawannya yang lain.
"Siapa kalian?!" hardik Aries tajam.
"Kami hanya menuruti perintah Tuan kami." Pria lemah yang masih hidup itu menjawab terbata.
"Katakan siapa dia! Apa yang dia inginkan?!"
"D-dia, Tuan muda Evan Avre." Lalu pedang berpindah dengan cepat menebas kepala pria di hadapannya.
Dia tak bisa membiarkan perempuan itu tergeletak lebih lama.
Aries berlari kecil menghampiri perempuan tak berdaya itu. Pakaian yang sama dengannya membuatnya berpikir perempuan ini adalah sosok misterius itu. Dia mendekatkan wajahnya dengan perempuan itu, hendak mengamati seperti apa wajah si misterius ini.
Luka perempuan ini cukup serius, akan bahaya jika dia berdiam diri lebih lama. Dia juga melihat pedang tergeletak tak jauh dengan perempuan ini, kemudian meraihnya, menyampirkan bersebelahan dengan pedangnya.
Lalu tangan kekar itu membopong tubuh perempuan itu dengan hati-hati. Membiarkan wajah cantik itu bersandar di dadanya yang bidang.
Dia akan membawa perempuan ini ke tempat rahasianya, karena mereka juga tak kalah rahasia. Kembali menembus kegelapan dan lalu menyatu dengan kegelapan itu.
***
Di ruang bawah tanah yang hangat dan temaram, terlihat Aries sedang merawat luka-luka perempuan malang itu. Jubah yang mereka kenakan dilepasnya karena percikan darah itu sangat menggangu penciuman. Kini terlihat wajah tampan dengan rambut perak yang langka. Dua jubah yang sama, karena hanya Secret Sword Academy yang memilikinya. Perempuan ini adalah si misterius sungguhan, mendapati tanda pengenal yang sama berasal dari SSA.
Aries mengobati setiap luka itu dengan hati-hati. Darah sudah berhenti mengalir, semoga si misterius ini segera pulih, harapnya. Pandangannya beralih pada pedang hitam dengan ukiran mawar merah yang elegan. Dia memandang takjub benda itu, lalu melirik pemiliknya. Berpikir dengan wajah semenawan itu, seorang perempuan bisa menyembunyikan pedang setajam ini di baliknya.
Ruangan bawah tanah ini adalah tempat rahasianya, tempatnya menyendiri dalam sunyi dan gelap. Setiap malam ia tertidur di tempat ini, baginya petak yang temaram dan hangat ini jauh lebih nyaman daripada rumah yang megah namun dingin. Terutama orang-orang di dalamnya.
Kemudian Aries menyalakan perapian, hendak membakar daging yang memang selalu dibawanya dari rumah. Energinya terkuras karena latihan dan pertarungan. Membuat perutnya melilit kelaparan.
Tiba-tiba pedang menempel di lehernya. Suara yang bergetar menginterupsi kemudian.
"S-siapa kau?"
"Hei tenanglah, turunkan pedangmu." jawabnya dingin.
Dia memutar tubuhnya cepat lalu melempar pedang itu asal, cukup keras. Perempuan di hadapannya terbelalak kaget kemudian mundur perlahan.
"Kau tak perlu takut, aku yang menolongmu. Aku menolongmu tapi kau menempelkan pedang ke leherku. Sangat tidak lucu, Nona." Aries tertawa hambar dan terdengar dingin.
"Kenapa kau melepas pakaianku?!" tanya perempuan itu dengan nada suara lebih tinggi.
Aries mengamati perempuan itu sekarang, hanya mengenakan gaun tipis selutut. "Karena aku mengobatimu. Dan mustahil mengobati seseorang dengan jubah tebal menempel di tubuhnya. Lagi pula aku tak melakukan apapun selain mengobati lukamu."
Seperti tersadar akan sesuatu, perempuan itu terhuyung ke belakang dengan tangan memegangi kepala. Dengan sigap Aries menahannya agar tak jatuh.
"Berbaringlah lagi, kau tak boleh banyak bergerak dulu. Lukamu masih basah dan kurasa benturan di kepalamu cukup keras." Aries menuntun perempuan itu untuk kembali berbaring di ranjang.
"Aku haus. Apa ada air disini?"
"Aku akan mengambilkannya untukmu."
Perempuan itu kini hanya menurut. Terlihat jelas dia menahan sakit luar biasa. Aries tak tega melihatnya.
"Aku akan membuatkan makan malam untukmu supaya kau cepat pulih."
"Terima kasih" ucap perempuan itu lemah.
Kini Aries tengah berkutat dengan daging bakar yang sempat tertunda tadi. Aroma lezat memenuhi ruangan itu kemudian. Dengan lihai dia menyajikan makan malam itu lalu membawanya pada ranjang tempat perempuan itu terbaring.
"Bangunlah, apa kau tak lapar?" Tanya Aries pelan.
Mencium aroma lezat di dekatnya, perempuan itu membuka mata.