"Tentu saja aku lapar, tapi kenapa sebanyak ini?"
"Kau pikir, hanya kau saja yang akan makan di sini?" Aries mengangkat alisnya jengkel.
"Ah baiklah, mari kita makan bersama."
"Tentu, apa kau bisa makan sendiri? Jika tidak aku bisa menyuapimu."
"Tentu saja aku bisa!" tegas perempuan itu cepat lalu mengambil sepotong daging dan memakannya lahap.
"Kurasa kau lebih rakus dariku." Aries tertawa mengejek.
"Jaga ucapanmu, aku hanya lapar. Dan ini sangat lezat."
Lalu mereka makan dalam diam, menikmati kelezatan masakan Aries. Tidak terlalu lezat, hanya saja mereka kelaparan, makanan apapun terasa sangat lezat ketika lapar, bukan?
"Apa kau sudah merasa lebih baik sekarang?" tanya Aries ketika mereka selesai makan, kini Aries sedang duduk menghadap perapian.
"Kurasa cukup baik. Terimakasih."
"Ada yang ingin kutanyakan padamu." ujar Aries.
Perempuan itu bergeming. Hanya menatap Aries saksama.
"Kau Si Misterius itu, kan?" tanya Aries to the point.
"Apa maksudmu?" Perempuan itu tertegun berusaha menutupi kebenarannya.
"Tak perlu mengelak, kau salah satu akademia SSA, 'kan?"
"Hei, dari mana kau tahu?"
"Itu tak penting."
"Karena kau sudah tahu untuk apa kau bertanya?" Perempuan itu memutar bola matanya sebal.
"Aku hanya memastikan, melihat tanda pengenal yang sama dengan milikku. Lagi pula selama di SSA aku sering memperhatikanmu, terutama pedangmu." ungkap pemuda berambut perak itu.
"Jadi kau salah satu akademis SSA?" Perempuan itu terlonjak kaget mengetahui fakta bahwa lelaki yang menolongnya satu akademi dengannya. Tamat, dia tertangkap basah!
"Apa alasanmu menyembunyikan identitasmu dari kami?"
"Kupikir seorang wanita tidak akan dibiarkan berlatih pedang. Maka dari itu aku memalsukan identitasku agar aku diterima di SSA." jawab perempuan itu tenang.
"Dan apa alasanmu menentang peraturan itu? Fisik wanita terlalu lemah berada di akademi pedang yang keras seperti SSA."
"Apa urusanmu menanyakan itu? Aku akan menjadi bukti, bahwa seorang wanita pun sama kuatnya dengan kalian para pria, jangan remehkan kami."
"Ya ya terserah kau saja, kuharap kau tidak sedang membual karena buktinya kau babak belur melawan para penjahat itu." Aries tersenyum miring.
"Lain kali aku akan membuktikan nya padamu, Tuan."
"Jangan memanggilku seperti itu, aku Aries Van. Siapa nama mu?"
"Oh wow. Aku Clara Miller."
Aries memutar ingatannya, dan jika tak salah Miller adalah keluarga terpandang di Arachiz. Bagaimana bisa seorang putri keluarga Miller menjadi ksatria pedang?
"Wow kau lebih mengejutkan, setahuku keluarga Miller adalah keluarga terhormat nan terpandang. Bagaimana bisa kau diizinkan belajar pedang oleh orang tuamu?"
"Kau bodoh, tentu saja aku melakukan ini diam-diam. Dan kau jangan coba-coba membocorkan identitasku pada siapapun!"
"Baiklah, aku tidak akan memberitahu siapapun, Nona Miller. Jadi, apa kau mengenal Evan Avre?"
Clara menegang ketika nama itu disebut. Ketakutan menjalari dirinya membuat tubuhnya meremang dan bergetar.
"Kau baik-baik saja?" Aries mengamati Clara yang nampak ketakutan.
"Apa kau tahu sesuatu, Clara?" Aries kembali bertanya.
"Dia, alasanku berlatih pedang. Dia, aku ingin menentang ayahku karena dia. Aku tidak ingin menghabiskan seumur hidupku bersama laki-laki seperti Evan, tidak akan!!"
Aries termenung mencoba mencerna setiap kata yang dilontarkan Clara.
Hening sejenak, sebelum kemudian Aries berucap. "Clara, dia ingin membunuhmu."
"Dia, Evan Avre? Bagaimana mungkin?" Clara tak habis pikir dengan apa yang dikatakan lelaki di hadapannya.
"Bagaimana mungkin, katamu? Luka yang kau dapatkan adalah ulah manusia itu."
"Bisa kau jelaskan sesuatu?" Clara bangkit dari ranjangnya lalu menghampiri Aries di depan perapian.
Aries melirik ke arah Clara sekilas, melihat raut penasaran dan kebingungan perempuan di sampingnya.
"Saat aku menemukan dirimu beberapa jam lalu, aku berhasil menghabisi para tikus s****n itu. Sebelum aku menghabisi mereka, aku bertanya alasan kenapa mereka menyerangmu." Aries berhenti sejenak, menghirup napas panjang lalu membaringkan tubuhnya di tanah, membuat tumpuan untuk kepalanya dan itu membuat Clara jengkel.
"Cepat katakan, kenapa kau malah tertidur."
"Aku hanya terkejut, waktu Si Tikus itu berkata ingin membunuhmu atas perintah Tuan muda Avre. Sebenarnya, apa masalahmu dengannya sampai membuat Avre ingin menghabisimu?" Aries tertawa hampa saat mengatakan itu.
Clara termenung mengetahui fakta bahwa Evan yang membuat dirinya terluka, sulit dipercaya. Tapi mustahil jika lelaki di hadapannya berkata omong kosong.
"Kurasa karena aku menolak menikah dengannya. Kupikir dia tak akan melakukan ini." Clara memeluk lututnya dengan mata berkaca-kaca menatap perapian.
"Apa alasanmu menolaknya?"
"Kau tidak akan mengerti." jawab Clara.
"Katakan saja."
"Dijodohkan dengan pria yang tak kukenal, maksudku, aku hanya mengenalnya sebagai lelaki arogan yang kejam. Bagaimana bisa aku menghabiskan seumur hidupku dengan lelaki seperti itu? Membayangkannya saja membuatku ingin mati, apalagi hidup bersamanya. Aku masih bisa berpikir, lelaki seperti apa yang layak untuk kutaati seumur hidup, tentunya bukan yang seperti dia."
Aries membuka matanya lalu menatap Clara iba, dia bisa mengerti kekalutan perempuan ini.
"Tapi, Ayahku tidak pernah mau mendengarkanku. Itulah alasanku belajar berpedang agar suatu hari aku bisa melawannya."
Aries mengerti sekarang.
"Apa kau pernah berpikir bahwa Evan tidak hanya mengincar dirimu tapi juga keluargamu?" Kata-kata Aries membuat Clara membelalakan mata seakan disadarkan oleh sesuatu.
"Kurasa dia memang hanya mengincarku. Karena untuk melukai Ayahku tidak mudah."
"Bagus jika dugaanmu benar, semoga saja begitu. Dan kau, teruslah berlatih setidaknya untuk melindungi dirimu sendiri, sejauh ini pertahananmu sudah sangat bagus."
Clara bersemu mendengar Aries mengatakan itu. Tapi kemudian tersadar akan satu hal.
"Ahh ... apa yang harus kulakukan agar aku tetap bisa belajar di SSA jika jubah akademiku rusak?"
Aries memandang dua jubah yang dia gantung di dinding.
"Itu hanya sobek, jika mau kau bisa memakai jubahku agar tak terlihat mencurigakan."
"Lalu apa yang akan kau lakukan dengan jubahku?" tanya Clara.
"Memperbaikinya, gunakan otakmu, Nona."
"Lakukan saja jika memang bisa, Tuan yang cerdas. Itu rusak yang parah, terserah kau saja akan memperbaikinya dengan cara apa."
"Tentu saja. Omong-omong, lukamu sangat parah jadi mustahil kau bisa kembali ke SSA dalam beberapa hari. Setidaknya pulihkan dulu lukamu."
"Aku tahu, terimakasih banyak. Kurasa kau berbakat dalam segala hal, perban yang kau pakaikan dan ramuan yang kau buat berefek bagus untuk penyembuhan lukaku." Clara melirik bahu dan perutnya yang terlilit perban hingga punggung.
"Tak perlu memujiku. Naiklah lagi ke ranjang, malam masih panjang. Aku akan tidur di bawah, kau tak perlu takut aku melakukan sesuatu padamu."
Clara tak lagi menjawab, dia hanya menurut lalu merebahkan kembali dirinya dengan hati-hati.
Matanya mulai terpejam tapi sesuatu menggangunya.
"Maaf aku hanya memakaikan selimut padamu, kurasa kau akan kedinginan dengan pakaian tipis itu. Lagipula aku tak ingin mataku terus memandang tubuhmu."
Aries memakaikan selimut dengan gugup. Clara memandang netra merah yang langka itu dengan takjub. Pipinya bersemu, lagi-lagi deru napas itu terasa begitu hangat, tidak hanya pada pipinya tapi juga hatinya.
Aries merasa wajahnya memanas saat menyadari wajahnya begitu dekat dengan perempuan yang baru dikenalnya. Tatapan dari mata biru yang teduh itu menciptakan ombak di hatinya. Dia tak kuat jika harus berlama-lama dengan posisi ini.
"Selamat malam, Aries."
"Ya, selamat malam."
***
Clara mengarahkan pandangannya ke seluruh ruangan temaram ini. Rasanya dia tertidur sangat pulas, dan sepertinya ini telah pagi. Dia bangkit lalu berjalan dengan hati-hati. Di mana Aries, pikirnya. Dia menemukan undakan tangga di sudut ruangan. Kemudian berniat menapakinya, hendak memastikan apa ini sudah benar-benar pagi?
Tangga yang terbuat dari tanah ini lumayan tinggi, tapi dia tetap harus menapakinya. Dia butuh udara segar juga ingin melihat keadaan sekitar. Tiba di tangga terakhir, kepalanya terantuk pintu kayu. Dia meringis, lalu mengumpat betapa bodoh dirinya.
Tangannya terulur perlahan, meraba kayu itu, lalu menggesernya perlahan. Pintu kayu ini cukup berat ternyata.
Dengan susah payah, Clara berhasil menyembulkan kepalanya dari ruangan gelap itu. Dipandanginya situasi sekitar lalu menghirup napas lega karena tak ada siapapun, tak ada bahaya, pikirnya. Dia merangkak keluar lalu menutup kembali kayu itu dengan daun-daun gugur yang tebal. Nyaris tak terlihat, orang-orang tidak akan tahu jika dibawah sana ada ruangan.
Hutan ini benar-benar rimbun, bahkan di saat pagi pun matahari kesulitan menembus celahnya. Udara disini sangat menyejukan, pohon-pohon besar yang rindang memenuhi hutan ini, belantara. Dia mendengar gemericik air dari arah timur. Dia berharap itu sungai.
Insting membawanya berjalan mengikuti arah suara itu. Benar saja itu memang sungai, ia tersenyum senang lalu berjalan cepat menujunya. Tubuhnya terasa lengket sekali membuatnya ingin mandi, tapi akan berbahaya jika air mengenai lukanya. Apa itu artinya dia tak akan mandi selama berhari-hari? Yang benar saja.
Clara mengambil air dengan tangannya, membasuhkannya pada wajah yang membuatnya merasa segar. Lalu mengambilnya lagi untuk diminum, air ini terasa begitu segar dan jernih. Lalu membersihkan tubuhnya dengan hati-hati.
Dia mendengar gesekan pedang tak jauh dari tempatnya berada, pandangannya waspada seketika. Dia beringsut pergi dari sungai dengan cepat. Terkejut melihat seseorang lalu bersembunyi di balik pohon besar. Clara mengamati sosok itu, dengan dua pedang di tangan. Melihat salah satu pedang itu adalah miliknya, dia berpikir bahwa itu Aries?
"Apa yang kau lakukan?" Clara bertanya spontan setelah berjalan mengendap-endap tanpa di ketahui Aries.
"Hei, kau sendiri apa yang kau lakukan di luar? Bagaimana jika ada yang melihatmu?" Aries malah balik bertanya.
"Aku bertanya padamu, apa yang kau lakukan dengan pedangku?" Clara menyipit menatap Aries curiga.
"Oh ini, haha. Aku mencoba berburu dengan pedangmu. Membandingkan kekuatan pedang merahku dengan pedang mawar milikmu. Omong-omong ini sangat elegan. Dari mana kau mendapatkan ini?"
Clara melihat di dekat Aries terkapar seekor rusa, mengenaskan sekali.
"Kau berburu dengan pedang? Apa kau sudah tidak waras? Lihat kaki rusa yang patah itu, pedangku terlalu suci untuk menyakiti makhluk tak bersalah seperti dia."
Aries berdecak malas mendengar jawaban Clara.
"Aku terpaksa melakukan ini, aku tak memiliki busur panah, kurasa tak masalah jika memanfaatkan s*****a yang kita punya. Lagi pula, daging yang semalam sudah habis, jika kau tak sudi memakan buruanku, tak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kau mati kelaparan."