Pekerjaan tetaplah pekerjaan. Ridho akan tetap menjadi pribadi yang profesional. Melaksanakan tugas khusus yang diberikan oleh Nyonya Rajasa untuk mengawasi Vivi--kekasih Satya. Tak ada yang berubah meski satu bulan berlalu setelah kejadian Ridho khilaf.
Siang ini begitu terik. Ridho mengikuti Vivi yang ternyata mengunjungi salah seorang teman kantornya yang memang sedang di rawat inap di rumah sakit. Diketahuinya tadi pagi Vivi sempat berbincang singkat dengan kawan-kawannya yang lain. Ternyata salah seorang temannya menderita sakit usus buntu.
Ridho memutuskan membeli minuman dingin. Membiarkan Vivi memasuki rumah sakit lebih dahulu. Usainya ia mengamati Vivi dari kejauhan. Namun ada yang aneh. Mengapa Vivi justru menuju ke lorong dimana tempat priksa wanita hamil?
"Mungkin dia menengok temannya yang lain," persepsi Ridho mencoba berpikir positif.
Ketika Vivi masuk ke salah satu ruang pemeriksaan, Ridho tak dapat ikut masuk. Ia tak ingin ketahuan. Akhirnya ia putuskan menunggu di luar ruangan. Mendengarkan percakapan Vivi dengan orang di dalam sana melalui alat penyadapnya. Lamanya hanya terdengar perbincangan tidak penting. Hingga..
"Selamat ya Bu. Bu Vivi tengah mengandung. Usianya diperkirakan baru lima minggu. Tolong dijaga ya Bu kandungannya. Saya tuliskan resep vitaminnya."
Vivi tak tahu lagi harus berekspresi senang atau sedih. Senangnya ia dikaruniai seorang malaikat kecil yang nantinya akan menjadi teman hidupnya yang sebatang kara ini. Sedihnya..apa kata orang nanti? Bagaimana cara ia menjelaskan semua ini pada Satya? Semua orang pasti akan membencinya. Bagaimana pun juga, stigma masyarakat tentang wanita yang hamil di luar nikah benar-benar tidak baik. Sanksi sosial dan hukum akhirat kelak akan didapatinya.
"Bu..Bu Vivi," tegur dokter wanita itu ketika Vivi melamun.
"Ini resepnya." Dokter wanita itu memberikan selembar kertas pada Vivi. Vivi mengulas senyumnya dan berpamitan.
Keluar dari ruang pemeriksaan, Vivi berjalan dengan tatapan kosongnya. Ia tak tahu arah manalagi yang hendak Tuhan berikan padanya. Ia sudah salah arah selama ini. Akan 'kah kedepannya ia akan semakin salah? Entahlah..
Pulang ke apartemen dengan membawa kresek putih berisi vitamin. Sesampainya di dapur Vivi segera meminumnya sesuai dengan takaran yang tertulis di sana. Diusapnya perut yang masih rata itu, "sehat-sehat ya Nak. Temani mama. Kuatkan mama."
Setetes air mata jatuh. Selama ini ia selalu dipandang antagonis oleh semua orang. Kejadian satu bulan yang lalu, dimana ia dilecehkan benar-benar mengubah hidupnya. Tak ada lagi keceriaan yang benar-benar tersirat nyata. Yang ada hanya senyum palsu yang coba ia tunjukkan pada dunia. Sungguh menyedihkan alur hidup yang Tuhan gariskan untuknya.
Hidup sebatang kara, menjadi kekasih suami orang demi obsesinya, lalu kini..hamil diluar nikah.
Meninggalkan Vivi yang mencoba kuat dengan segala cobaan. Ridho justru menghabiskan waktunya di sebuah club malam sedari tadi siang. Ia tak lagi mengikuti Vivi. Lemas lututnya tiap ia mendengar suara dokter wanita yang menyatakan bahwa Vivi tengah mengandung. Jelas hal tersebut membuat d**a Ridho semakin sesak saja. Pasalnya, kejadian satu bulan yang lalu yang merupakan ulahnya berhasil membuahkan sesosok janin. Malaikat bernyawa kini bersemayam di perut Vivi.
"Arrrgggghhhh.." Ridho menarik rambutnya kasar. Pikirannya buntu. Entahlah..kejadian apalagi yang selanjutnya.
Apakah Vivi akan mencarinya dan meminta pertanggung jawaban darinya?
Tidak mungkin. Selama ini Vivi tidak mencoba mencari tahu atau peduli perihal sosok pria yang melecehkannya. Ya, selama mengikuti Vivi setiap hari. Ridho selalu berharap wanita itu akan menemukan identitasnya. Paling tidak mencari tahu sosok yang telah memperkosanya. Melaporkannya ke polisi. Namun di luar dugaannya. Hal itu tidak pernah dilakukan oleh Vivi.
Seusai tragedi malam itu, Vivi seolah tak ingat apapun. Bersikap biasa saja. Tersenyum, tertawa kesana-kemari. Layaknya tak ada kejadian buruk yang pernah menimpa. Hubungannya dengan Satya pun masih bertahan dan baik-baik saja. Meski tak se-intens dahulu.
Satu hal yang kini membuat Ridho semakin bersalah. Ia mengetahui fakta besar bahwa Vivi hidup sebatang kara. Itulah sebabnya ia sering kali berbagi dengan anak-anak jalanan. Sialan! Wanita dengan sisi baik yang tak banyak orang ketahui itu telah dirusaknya.
"Aku harus bertanggung jawab. Yaa..harus," tekad Ridho pada dirinya sendiri.
Setelah menimang-nimang keputusannya adalah suatu hal yang benar. Mau bagaimana pun juga, Ridho yakin seribu persen bahwa bayi yang ada di kandungan Vivi merupakan anaknya. Buah cintanya yang dilakukan karena paksaan. Vivi pasti merasakan sakit fisik dan hati. Ridho semakin tidak berani menunjukkan batang hidungnya. Ia takut jika Vivi menolak kehadirannya.
Akan tetapi ia berpikir dua kali. Ia tak boleh terus-terusan mengendap-endap. Ia harus menunjukkan dirinya. "Mulai besok, aku akan mencoba mengenalnya terang-terangan," putusnya lalu meninggalkan club malam itu.
Pagi menyapa Ridho. Kali ini semangatnya untuk mengawasi Vivi bertambah berkali-kali lipat. Penampilannya ia benahi sedikit rapih dari biasanya. Berharap Vivi akan berbalik haluan menyukainya. Kesengsem-lah minimal. Senyumnya tak pernah enyah dari bibir lelaki itu sejak bangun tidur. Ia merasa tak akan ada lagi yang mengganjal.
Pertama-tama ia mendatangi apartemen Vivi. Dipencetnya tombol bel agar sang pemilik apartemen ini membukakannya akses masuk. Usai memencet bel, Ridho memutuskan membalikkan badannya. Ia ingin memberikan kejutan pada Vivi.
"Sayang.." Tak disangkanya, Vivi memeluknya erat dari belakang. Dilihatnya ke bawah, kedua tangan Vivi melingkat di pinggangnya.
"Tumben banget sih pagi-pagi kamu udah ke sini," katanya lagi.
Spontan Ridho melepaskan paksa pelukan erat Vivi. Ia membalikkan badannya dan melebarkan senyum. Seketika itu juga, Vivi berwajah datar. Ketakutannya tak dapat lagi ia sembunyikan. Dengan mengambil langkah cepat, Vivi menutup pintu apartemennya.
Sialnya, Ridho lebih dulu menahannya.
"Saya mohon. Izinkan saya berbicara dengan kamu."
"Anda s-siapa? Saya tidak kenal."
Ridho menunjukkan senyum sinisnya, "jika tidak kenal, boleh 'kan saya masuk ke dalam Nona?"
Vivi bergidik ngeri dan mematung melihat senyum yang pernah ia lihat malam itu. Akibatnya energi yang kuat menahan pintu apartemen itu lemas seketika. Lelaki itu pun dengan mudahnya masuk ke dalam apartemen dan pintu apartemen tertutup dengan sendirinya.
"Duduklah. Sini.." Ridho dengan santainya telah duduk di sofa dan menepuk area sofa yang kosong, tepat di sampingnya.
Sebagai wanita, Vivi haruslah menunjukkan bahwa dirinya kuat. Ia tak ingin terlihat lemah di depan lelaki yang telah merusak dunianya itu. "Cih! Jangan berlagak kamu pemilik apartemen ini!"
"Ya sudah. Saya akui. Saya memang bukan pemilik apartemen ini. Tetapi kamu tidak akan bisa menyangkal ketika saya berkata bahwa saya adalah ayah dari janin yang kini kamu kandung," ucap lelaki itu dengan nada santai.
Emosi yang coba Vivi tahan akhirnya meledak juga. "b******k!!" Vivi menghujani lelaki itu dengan pukulan-pukulan tangan kecilnya yang mengenai lengan hingga d**a lelaki itu.
Gerakannya baru terhenti ketika Ridho berhasil menangkap tangannya. Sialan! Vivi salah tingkah ketika mereka berdua beradu pandang dijarak yang begitu dekat seperti saat ini. "Lepassskann!!"
"....." Ridho tersenyum manis dan menggeleng.
"Apa sebenarnya maumu!?"
"Usaikan kisah cinta terlarangmu dengan suami orang, lalu menikah denganku. Simpel 'kan?"
Kedua mata Vivi memanas mendengar kata-kata lelaki di depannya itu. "Sialan!! Lepasss..."
Tak kunjung melepaskan kedua tangan Vivi. Ridho justru memeluk Vivi erat. Tubuh wanita itu bergetar dan mematung. Ia tak lagi melawan. Tangan besar Ridho mengusap punggung Vivi. "Percayalah padaku. Aku laki-laki baik. Aku memiliki pekerjaan yang halal. Kamu tak perlu khawatir soal uang."
"Lepasss! Aku tidak mengenalmu. Dan anak yang ku kandung juga bukan anakmu," elak Vivi yang akhirnya dapat melepaskan dirinya dari Ridho.
Ridho tersenyum dengan tatapan mengarah ke depan. "Mulai detik ini, kamu akan mengenalku. Aku Ridho Khainafian. Sebentar lagi, aku akan menjadikanmu istriku. Persiapkan dirimu," ujarnya lalu beranjak dari apartemen Vivi.
Vivi lemas dibuatnya. Siapa memangnya lelaki itu? Tidak jelas asal-usulnya!
Tak mau lama-lama memusingkan Ridho-Ridho yang entah datang dari planet mana itu. Vivi pun memutuskan untuk pergi ke tempat dimana ia bisa menenangkan dirinya yang tengah kalut.
Pondok Yatim-Piatu Ar-Rahman.
Tempat dimana sejak ia SD, ia ditelantarkan oleh paman dan bibinya. Hingga berakhir tinggal di sini. Tak banyak yang Satya ketahui mengenai alur hidup seorang Vivi yang sesungguhnya, karena selama ini pun Vivi selalu mengaku jika kedua orang tuanya masih hidup dan tinggal di desa. Namun itu tak sepenuhnya salah dan berbohong. Pada kenyataannya memang Vivi sempat memiliki kedua orang tua angkat. Mereka adalah teman dekat ayah dan ibu Vivi.
Vivi saat kecil dibawa paksa oleh paman dan bibinya. Awalnya kedua orang tua angkat Vivi menaruh kepercayaan. Namun suatu ketika Vivi menelepon kedua orang tua angkatnya dan merengek meminta kembali pulang ke desa. Tetapi hal tersebut diketahui oleh paman dan bibinya. Hingga ia berakhir di jalanan, tertelantarkan. Entah, kebencian apa yang membuat paman dan bibinya tega memperlakukan Vivi sekejam ini.
"Nduk.."
Seketika lamunnya buyar. Tatapannya yang mengarah pada foto kecil yang tersimpan di lemari kamar khususnya pun terlihat oleh kedua mata wanita yang menegurnya. "Rindu ya Nduk?"
Vivi mengangguk. Ia perlahan menghapus air matanya, "Apa kabar ya Ayah dan Ibu? Apa mereka bahagia di atas sana?"
Tangan wanita paruh baya yang menjadi pengurus pondok itu pun bergerak memeluk Vivi. "Ssssttt..sudah Nduk. Do'a 'kan jika kamu merindukan. Jangan tangisi kepergian mereka, agar mereka tenang di alam sana. Ya?" Kedua tangannya beralih menangkup pipi Vivi.
"....." Tanpa memberikan sepatah kata pun ia mengulas senyumnya dan mengangguk.
Disimpannya kembali foto yang telah usang itu. Vivi memang sengaja menaruh semua kenangannya semasa kecil bersama kedua orang tua kandungnya, di kamarnya ini. Kamar yang sengaja disisakan satu untuk Vivi. Bu Rumana, juga merupakan wanita yang telah dianggapnya sebagai ibu kandungnya sendiri. Setelah ibu angkatnya di desa.
***