Panasnya terik matahari tak membuat Vivi gentar melangkahkan kakinya untuk keluar apartemen. Setidaknya bertemu dengan Satya—kekasihnya, akan mengembalikan moodnya yang semalam dirusak oleh penyusup yang tiba-tiba memasuki apartemennya. Dengan langkah cepat ia menuju lift dan menuju lantai bawah.
Belum sempat pintu lift menutup dengan sempurna, tiba-tiba sesosok lelaki menahan pintu yang hendak menutup itu. Ia mengulas senyum dengan mata menyipit, seolah-olah menyapa Vivi. "sialan," umpat Vivi lirih.
Hingga lantai dasar, lelaki yang berdiri di belakang Vivi itu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hal tersebut tentu membuat Vivi kebingungan. Namun wanita yang tengah hamil muda itu mengesampingkan rasa bingungnya. Bodo amat!
"Hendak kemana? Siang ini sangat panas-"
"Saya tidak buta. Memang panas. Kenapa mengikuti saya? Tidak ada pekerjaan." Senyum sinis Vivi tujukan pada lelaki sialan yang tiba-tiba menghadang jalannya yang hendak menuju jalan guna menyetop taksi.
"Kembali ke Apartemen." Tatapan elang Ridho tak membuat Vivi mundur. Wanita itu justru mengabaikan ucapan Ridho dan menyetop taksi yang kebetulan melintas.
Vivi tersenyum ceria dan menutup pintu taksi yang baru saja ia naiki. Ia melambaikan tangannya pada Ridho, "Bye..."
Ridho tentu tak tinggal diam. Ia mengikuti kemana wanita yang tengah mengandung buah hatinya itu pergi. Pikirannya tertuju pada satu nama. Satya!
Dugaannya seratus persen benar. Vivi mengunjungi kantor Satya. Ahh, bukan mengunjungi melainkan wanita itu kembali bekerja. Namun mengapa Vivi seenaknya dan berangkat sangat siang seperti ini? Sungguh, hubungan terlarang keduanya benar-benar menguntungkan Vivi. Wanita licik itu..
"Hai Sayang.." Ridho melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Vivi dengan percaya dirinya menggelayut manja di leher Satya ketika seseorang telah meninggalkan ruangan Satya.
"Sial! Mengapa kamu tidak kunjung sadar?" gumam Ridho masih terus memantau keduanya dari tempat yang tidak akan diketahui oleh siapapun.
"Tumben kamu siang banget Vi?"
Vivi terlihat gugup mencari alasan. Hal itu membuat Ridho tersenyum senang. "E-ee..tadi malam aku nonton drama korea di apartemen sampai pagi. Maaf ya Sayang. Tenang saja, setelah ini aku selesaikan tugasku. Oke?" Wanita itu tersenyum memelas pada kekasihnya yang mempekerjakannya di kantor ini.
Meskipun Satya berstatus sebagai kekasihnya. Vivi tahu betul karakter dan kepribadian Satya. Lelaki itu santai namun tetap serius dan fokus. Apalagi jika sudah menyangkut hal kantor. Jiwa profesionalnya lebih unggul dari pada perbucinannya dengan Vivi.
Tak ingin membuat Satya menyesal karena telah mempekerjakannya di kantor ini, Vivi pun segera menuju kursinya dan mulai mengerjakan pekerjaan lainnya. Ridho pun merasa cukup mengawasi interaksi kedua sejoli yang salah kaprah itu. Ia pun segera meninggalkan kantor Satya sebelum seseorang memergokinya di sini.
Sore harinya Vivi semakin kesal saja ketika Satya menolak untuk menemaninya berjalan-jalan, dengan alasan ia ingin menemani Fela yang katanya kemarin habis terjatuh. "Cih! Anak itu selalu saja menggagalkan kencanku. Huffttt..."
Sepanjang perjalanan pulang, Vivi memutuskan berjalan kaki sebentar untuk menuju stand bazar yang diadakan tak jauh dari kantor Satya. Entahlah, tiba-tiba rujak buah berhasil membangkitkan semangatnya lagi. Setelah seharian bekerja dan berbucin ria bersama suami orang.
Berjalan santai sembari menikmati udara sejuk di sore hari, serta senja yang enggan menyapanya dengan jelas. Ia pun membeli rujak buah di salah satu stand. Sembari menelan ludahnya sendiri ia berkata, "Mbak, yang pedas ya!"
Mbak-mbak penjualnya pun mengangguk. Namun tiba-tiba sebuah suara membuat Vivi mematung di tempatnya. "Tidak jadi pedas Mbak. Istri saya sedang hamil, tidak baik untuk bayi kami."
"Oke siap Pak. Maaf saya tidak tahu." Rujak buah yang hendak diberikan pada Vivi itupun ia urungkan. Mbak-mbak penjualnya pun membuatkan rujak buah yang baru.
Vivi menghela napasnya. Kesal dengan tingkah Ridho yang sok dan seenak jidatnya itu. Ia sudah tak peduli lagi dengan rujak yang ia pesan. Vivi ngacir begitu saja meninggalkan Ridho.
Ting.
Pintu apartemennya terbuka. Vivi dengan kesal melempar sepatunya. "Sialan! b******k! Memangnya dia siapa? Menentukan makananku pedas atau tidak? Konyol!"
"Apa!? ISTRI! Yang benar saja!" Vivi mencuci wajahnya di depan wastafel dan sebuah kaca besar. Ia mengusap kaca tersebut menggunakan tangannya.
Senyum sinisnya terbit saat ini juga, "kita lihat. Sampai mana kamu akan terus mengejar saya."
Tangan Vivi bergerak mengusap perutnya yang belum begitu menonjol. "Bayi ini milikku, aku akan mencari cara agar Satya dapat menjadi ayahnya dan tentu saja menerima keberadaanya sebagai malaikat kecil buah cinta kita.."
"Ekhm! Kamu tidak berencana membunuh anakku 'kan?"
Seketika tubuh Vivi hendak terjatuh jika saja ia tidak berpegangan pada pinggiran wastafel. Dengan membuang napasnya ia membalikkan badan. "Penyusup! Kamu tidak kapok dengan hal yang kemarin kamu lakukan? Benar-benar tidak tahu malu. Setelah melecehkan saya, apa yang sebenarnya kini kamu incar!?" Tak tahan lagi, Vivi bertanya dengan suara lantangnya.
Begitu keras menggema mengisi ruang kamar mandi ini. Ridho menutup pintu kamar mandi tersebut hingga membuat Vivi lagi-lagi bergidik ngeri mengingat malam itu.
"A-pa lagi yang akan kamu lakukan?" tanya Vivi dengan tangan gemetar memegangi ujung baju kantor yang belum ia ganti.
Ridho berjalan mendekat pada Vivi. Hingga menghimpit tubuh ramping wanita itu di wastafel kamar mandi. "Kamu sungguh bertanya apa yang saya incar?"
Vivi mengangguk cepat. Dapat dengan jelas ia rasakan napas tenang yang berasal dari Ridho. Lelaki itu mendekatkan lagi wajahnya ke wajah Vivi. Keduanya bersentuhan hidung. Namun sepersekian detik kemudian, Ridho menjauhkan tubuhnya dari Vivi. Hal tersebut tentu membuat Vivi lega. Akan tetapi siapa sangka...
Cup!
Satu kecupan mendarat di bibir merah Vivi. Pelakunya adalah Ridho! Lelaki yang telah melecehkannya.
Dengan gerakan cepat Vivi membalikkan badannya menghadap pada kaca lagi. Dinyalakannya air dan membasuh kasar bibirnya yang baru saja dikecup oleh Ridho.
Grep!
Gerakannya terhenti ketika Ridho mendekap tubuhnya dari belakang. Disaat ia seharusnya memberontak, mengapa justru tubuhnya membeku? Dadanya berdebar kencang. Debaran ini mengalahkan debaran jantungnya ketika mendekat pada Satya. Aroma tubuh Ridho berhasil memabukkannya hingga ia tak berkutik sama sekali. Senyum sinis pun terbit di wajah tampan lelaki itu. Vivi jelas melihatnya dari kaca depannya.
"Bagaimana? Saya lebih memabukkan 'kan dari pada Satya yang berstatus suami orang itu?"
"...."
"Apakah kamu bersedia mengakhiri hubunganmu dengan suami orang itu?" tanya Ridho yang kini meletakkan kepalanya di bahu kanan Vivi. Sedangkan wanita itu tak berdaya di dalam dekapannya. Dan hanya mematung menatap ke arah kaca yang menampilkan keduanya yang tak berjarak itu.
"Lepaskan. Sebelum saya berteriak dan memanggil satpam." Mencoba menguasai dirinya yang terlena oleh jejaka satu ini. Vivi mengancam lelaki itu, dan berhasil. Ridho akhirnya melepaskan dekapannya.
Rasanya sedikit tidak rela ketika lelaki itu melepaskan tubuhnya. Arrgghh! Apa yang ia pikirkan? Cukup menjadi jalang untuk Satya cintanya saja. Tidak perlu mempunyai urusan dengan Ridho yang tak jelas asal-usul dan pekerjaannya itu.
Vivi pun berlalu meninggalkan Ridho. Ia menggunakan kamar mandi di dapur untuk membersihkan diri dan berganti baju di sana. Tentu saja kali ini Vivi mengunci pintu kamar mandi tersebut dua kali. Hingga menimbulkan suara yang cukup keras.
Ridho yang kebetulan baru saja memasuki dapur pun terkekeh pelan melihat tingkah Vivi. "Baiklah! Kita makan bersama lagi untuk yang kedua kalinya. Semoga esok dan seterusnya hingga anakku lahir.." kata Ridho seorang diri. Ia yakin bahwa Vivi tak mendengar ucapannya karena suara air begitu jelas terdengar, wanita itu tengah membersihkan dirinya.
Sengaja berlama-lama di kamar mandi dan berharap lelaki yang tiap hari menguntitnya itu pergi karena tak sabar menunggunya, ternyata asumsi Vivi salah besar. Nyatanya ia kini dengan santainya duduk di lantai, dan menyenderkan tubuhnya di sofa. Mengacuhkan Vivi dan menonton siaran televisi dengan raut wajah tanpa dosa.
"Wahh..kamu benar-benar keterlaluan! Kapan kamu pulang?" Tanpa basa-basi yang hanya akan membuang energi dan waktu istirahatnya, wanita itu kini sudah berdiri di samping lelaki itu. Kedua tangannya terlipat di depan d**a. Wajahnya masih sama, kesal level dewa!
"Duduk. Sebelum rujaknya berubah rasa."
Rujak!?
Tatapan Vivi beralih ke meje kecil yang berada di depannya. Di sana rujak buah telah tersaji manis di atas piring yang ia yakini adalah miliknya. "Siapa yang mengizinkan kamu memakai piring saya?" Kali ini Vivi berkacak pinggang. Tak tahan lagi dengan lelaki yang sepertinya lupa jika apartemen dan barang-barang di sini adalah miliknya.
"Nanti saya cuci. Duduk!"
Membuang jauh-jauh rasa gengsinya. Keinginannya yang bisa dibilang ngidam ini harus terealisasikan.
"Jika menurut seperti ini, kamu 10x lipat lebih cantik dari pada malam itu," celetuk Ridho yang langsung membuat kedua bola mata Vivi membulat seketika.
Plakk!
Satu tamparan keras mendarat di lengan kekar Ridho. "Kurang ajar!"
"Kkkk..makan." Setelah terkekeh tanpa dosa, ia menyodorkan salah satu piring rujak itu ke depan Vivi yang kini telah duduk di sampingnya.
Tanpa menanggapi Ridho lagi, Vivi pun segera memakan rujak buah di depannya itu. Semakin cepat akan semakin lebih baik dan lelaki ini akan lebih cepat enyah dari apartemennya.
"Pelan-pelan..kasihan dia." Gelenyar aneh seketika menjalari tubuh Vivi. Bak ada ribuan kupu-kupu yang menggelitik perutnya, tatkala tangan Ridho mengusap perutnya tanpa aba-aba.
***