Chapter 8

1060 Kata
Adelard menatap jumlah nominal yang begitu banyak di rekeningnya. Ia tersenyum licik. Ia yakin, setelah ini apa yang ia inginkan akan tercapai. "Ada data masuk. Dia investasi 50 juta kepada kita." "Bagus. Aku suka itu.. " Adelard lagi-lagi tersenyum puas. Sudah 2 tahun ia menggeluti bisnis investasi online yang sudah di percaya banyak orang. Ia duduk di kursinya sambil memutar ke kanan dan ke kiri dengan pelan. Sementara seorang tangan kanan yang ada di hadapannya itu sudah berlalu pergi keluar ruangannya. Pintu ruangan kembali terbuka. Ciara datang sambil membawa makanan siap saji di tangannya. "Maaf aku telat. Diluar dingin sekali. Sepertinya badai salju akan datang sebentar lagi." "Tidak masalah. Kau sendirian kemari?" "Tentu saja. Bukankah kau sudah sering melihatnya?" "Besok akhir pekan. Bagaimana hubunganmu dengan anak pejabat itu. Ada perkembangan? Mungkin kau bisa menghabiskan akhir pekan dengannya.." "Rencananya begitu. Tapi aku merasa ada hal buruk setelah ini.. " "Maksudmu?" Ciara terdiam. Tidak bisa menjelaskan sesuatu yang belum tentu benar baginya. Tapi ntah kenapa, jadwal akhir pekan bersama seorang pria yang ia kenal 4 bulan itu tiba-tiba membuatnya ragu. * Sofia menghentikan langkahnya, begitu tanpa sengaja ia melewati sebuah mesjid yang ada di komplek perumahan tak jauh dari tempat tinggalnya. Senyuman yang manis. Raut wajah yang ramah dan terlihat pembawaanya begitu tenang membuat Sofia tak henti menatap pria muda yang berada didalam mesjid tersebut. Pria muda itu terlihat sedang duduk bersila, sementara di hadapannya banyak anak-anak yang sedang melakukan aktivitas belajar mengaji seperti yang sering Sofia lihat selama tinggal di negara ini. "Astaga, ada apa denganku?" Buru-buru Sofia menghalau dengan isi pemikirannya saat ini. Ia memilih pergi dari sana, bertepatan saat tanpa sengaja pria itu sempat melihatnya. "Bule, cantik banget ya. Putih lagi. Itu rambutnya warna coklat kekuningan pasti asli bawaan dari lahir.." sela dua orang ibu muda yang kini mengomentarinya. Lagi-lagi Sofia mendengkus kesal. Ini sudah kesekian kalinya ia mendengar kasak kusuk ibu-ibu di sekitar komplek yang suka membicarakannya. "Kenapa ya, perempuan dari sana rata-rata tubuhnya tinggi? Makan apa sih mereka? Padahal ya, kalau kita lihat di film-film, mereka cuma makan roti gandum, telor ceplok, sosis, selada, tomat, s**u. Mungkin sedikit nasi atau sering memakan siap saji. Terus mereka sudah merasa kenyang?" "Ya mungkin bisa jadi sudah kenyang. Mereka sudah terbiasa dari usia kecil. Tapi di lihat dari genetik juga, Buk! Makanya tubuh mereka tinggi. Bahkan yang usia muda aja bisa terlihat dewasa.." "Tapi dia nyadar nggak sih? Kalau dia sama suaminya itu jadi buah bibir di komplek kita? Secara, dia itu kan pendatang. Mungkin pindah domisili negara ini. Tapi ogah ogahan gitu berbaur atau sekedar menyapa kita di sini. Sombong banget!" Sofia berusaha tidak memperdulikan itu semua. Ia mempercepat langkahnya menuju tempat ia bekerja. Ternyata beradaptasi di kota ini memang tidaklah mudah baginya. Ia satu atap sama Daniel saja sudah di anggap suami istri. "Kenapa mereka begitu mengusik sekali? Ini sangat mengganggu!" "Apakah mereka tidak bisa menghargai privasi seseorang? Astaga, kalau saja bukan karena Daniel dan sarannya itu. Aku tidak sudi mengikuti kemauanya..!" Sofia segera menghubungi Daniel. Sudah 3 hari pria itu keluar kota. "Halo?" "Daniel, kapan kau pulang?" "Kau merindukanku?" "Iya! Tentu saja. Aku rindu ingin memukul wajahmu itu.. " Daniel tertawa. "Ada hal penting yang aku urus disini.." "Aku tidak perduli dengan apa yang kau lakukan selama dirimu tidak tertangkap! Aku hanya ingin memberi tahu kalau ada satu naskah yang akan terbit sebentar lagi. Kau harus segera pulang untuk-" Tut.. Tut.. Tut.. Di sisi lain, akhirnya Daniel terpaksa memutuskan sambungannya dengan Sofia. Sementara pria paruh baya di hadapannya itu terlihat murung. Saat ini, keduanya sedang duduk di bangku antrian bank setempat. "Apakah semuanya baik-baik saja, Pak?" "Alhamdulillah saya baik, nak. Justru saya jadi merasa sungkan dengan nak Daniel. Utang saya begitu banyak.. " Daniel pun duduk di sebelah pria paruh baya itu. Kemudian memegang pelan punggung tangan yang sudah mengeriput akibat termakan usia. "Yang penting sekarang sudah lunas, Pak." Daniel tersenyum. "Senang bisa membantu Bapak. Justru saya yang berterimakasih dengan anda karena telah membantu saya selama beradaptasi di negara ini sejak 5 tahun yang lalu.." Pria paruh baya itu tersenyum. Daniel terdiam sesaat. Hanya menatap kedua matanya, mengingatkannya pada Nafisah. Begitu mirip ayah dan anak itu. "Itu tidak seberapa, nak Daniel. Istri saya sudah sakit selama 3 tahun. Bahkan pembuluh darah di otak pecah. Biaya pengobatannya tidak sepenuhnya di tanggung jaminan kesehatan sehingga membuat saya harus mencari hutang. Walaupun memiliki banyak keluarga, tetapi tidak selamanya kan kita mengharapkan bantuan dari mereka? Alhamdulillah Allah membantu saya melalui dirimu. Jadi, hal apa lagi yang bisa saya bantu untukmu nak?" "Maksud Bapak?" "Maksud saya, anggap saja ini imbalan dari saya.." Seketika Daniel terdiam. Ia menatap Ayah Nafisah di hadapannya. Lalu ntah kenapa, tiba-tiba ia memikirkan masa depannya, beserta Nafisah didalamnya. **** Nafisah termenung, ia menatap bingkai foto pernikahannya 6 tahun yang lalu. Pernikahan yang sederhana. Seharusnya ia bahagia. Tapi takdir berkata lain. Di usianya yang sudah 30 tahun, seharusnya mungkin ia sudah memiliki buah hati, Pernikahan yang baik-baik saja, atau paling tidak suami yang setia. "Kenapa kamu menyakitiku terlalu dalam, Mas? Bahkan karena kenangan buruk itu, hatiku sudah tertutup oleh siapapun." "Semenjak itu, aku tidak terpikir lagi untuk membutuhkan cinta. Sendiri bukan berarti menyedihkan. Tapi aku memulai sebuah proses dimana aku harus menata hati secara perlahan. Bukankah kebahagiaan itu berasal dari hatiku terlebih dahulu?" Akhirnya Nafisah membuka bingkai foto itu. Setelahnya ia mengambil gunting dan memotong bagian tengah hingga menyisihkan dirinya. Sementara bagian wajah masalalu almarhum suaminya itu ia remas dan membuangnya ke tempat sampah. "Umur 16 tahun, kehormatanku di renggut paksa pria lain. Setelah di usia aku menikah, ternyata sosok suami bukanlah rumah buat aku... " Nafisah tersenyum masam. "Lalu di poligami. Istri yang sabar di poligami akan mendapatkan pahala. Tapi, Bukankah masih banyak cara memperoleh pahala tanpa harus mau di poligami? Sebagai istri, aku tidak mau di duakan, tetapi kenapa kamu mengingkarinya bahkan membohongiku? Katanya kamu mencintaiku, janji tidak akan menduakanku. Tapi diam-diam kamu memiliki anak dan istri di belakangku... " Nafisah melepas cincin pernikahan yang sudah 6 tahun tersemat di jarinya. Sudah tidak ada ruang di hatinya untuk pria manapun yang akan menempatinya. "Di khianati? Di kecewakan? Kepercayaan yang sudah hilang apalagi di jadikan yang kedua? Apakah aku masih bisa percaya dengan pria lain setelah ini?" **** Tidak mudah kalau di posisi Nafisah ? Pasti trauma banget sama yang namanya cinta apalagi pernikahan. Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian ya.. With Love Lia Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN