Part 3

2154 Kata
. Mataku masih lekat menatap pintu yang kembali tertutup rapat setelah wanita itu keluar. Aku menepis tangan mas Arman. aku masih tidak rela disentuh olehnya. "Nay, kamu kenapa, sih? Jangan-jangan ... kamu cemburu, ya, padanya?" goda mas Arman mencolek daguku. "Iya, Mas, aku cemburu? Apa aku salah? Apa aku tidak boleh cemburu melihat suamiku berada satu kamar dengan perempuan lain?" mataku membualat menatapnya. "Boleh, Sayang. Tapi kamu lihat sendirikan, kami tidak melakukan apa-apa! Buang prasangka buruk itu dari kepala kamu! Ingat janin yang ada di perut kamu itu, Nay! Kalau kamu stres, dia juga ikut stres di dalam" jemari mas Arman mengusap-usap perutke dengan lembut. Mendengar mas Arman menyebut janin di perutku, tubuhku melemas. Aku tidak mau terjadi hal buruk pada kandunganku. Mas Arman merangkul pundakku dan menggenggam erat jemariku. "Nay, aku sayang sama kamu. Mana mungkin aku menghianati pernikahan kita. Jadi kumohon, jangan lagi berpikiran yang bukan-bukan." Aku menatap mata mas Arman lekat, dia tampak asing di mataku. Tapi demi janin di rahimku, aku berusaha meredam emosiku. Kutarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Mas Arman memberiku segelas air putih, aku meneguknya hingga habis. Wajah Bian terbayang di mataku, bergantian dengan wajah mama dan papa. Aku tidak ingin membuat mereka sedih, jika terjadi apa-apa denganku karena tak mampu menahan emosi. Kutarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Kulakukan berulang-ulang. Setelah merasa lebih baik, aku menatap mas Arman lekat. Aku ingin dia jujur siapa wanita itu sesungguhnya. Walau sakit mebdengar jawabannya, tapi itu lebih baik dari pada tersiksa seperti ini. "Mas, jujurlah padaku, siapa wanita itu? Aku siap mendengar apa pun jawabanmu." tanyaku berurai air mata. "Nay, kamu sedang hamil, aku tidak mau terjadi apa-apa sama anak kita." jawabnya mengelus perutku. "Jadi benar, dia wanita simpananmu, Mas?" tanyaku menutup mulut. Menahan suara tangisku agar tidak pecah. "Maafkan aku, Nay. Aku khilaf." jawabnya bersimpuh di kakiku. "Kami sudah menikah," jawabnya pelan. Seketika tubuhku lemas, dadaku terasa sesak. Kepalaku pusing, perutku terasa mules dan melilit. Aku memegangi perutku, rasanya sakit sekali. "Nay, kamu kenapa, Nay? istighfar, Nay, maafkan aku. Tolong jangan membuatku panik beini, Nay!" Mas Arman bangkit dan merangkulku. Mengganggam erat jemariku dan menempelkannya dibibirnya. Berulang kali mengucap kata maaf. Aku merasa seperti kencing di celana. Refkek, aku menarik jemariku dan berdiri. Mataku membulat melihat bercak darah di sepre. Mataku berkunang kunang, dan gelap. *** Saat terbangun, aku mendapati mas Arman sedang shalat di sudut ruangan. Mataku sayu melihat selang infus yang tergantung di depanku. Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi hingga membuatku terbaring di sini. Ingatanku kembali pada peristiwa sore itu di kamar hotel. Saat memergogi mas Arman dengan wanita lain. Dan ternyata wanita itu adalah maduku. Sesaat aku menghela napas, melonggarkan sesak di d**a. Tubuhku terasa sangat lemah, tanpa terasa air mataku kembali jatuh menetes. Mimpikah ini? Benarkah mas Arman diam-diam menikah dengan wanita lain? Rasanya aku tidak sanggup menerima ini. Aku tidak siap, sungguh tidak siap. Bukan salah mas Arman jika dia menikah lagi. Aku pun tahu, poligami diperbolehkan. Tapi sepertinya aku tidak sanggup menghadapinya. Mungkin cintaku terlalu besar untuk mas Arman, hingga membuatku egois dan tidak rela berbagi dengan maduku. "Nay, sudah bangun?" Mas Arman datang mendekat. Jemarinya lembut mengusap air mata di pipiku. Matanya sayu menatapku. Mungkin dia iba melihat keadaanku seperti ini. "Nay, maafkan aku, ya. Andai sejak awal aku jujur sama kamu, mungkin kamu tidak akan keguguran." kata-katanya bagaikan silet yang menyayat hatiku. Berita pernikahan mas Arman dengan istri barunya, telah membuatku kehilangan janin. Sesaat aku terbayang wajah Bian. Apa jadinya jika aku tidak lagi bisa membuka mata saat ini? Kasihan dia, aku tidak mau membuatnya kehilangan ibu, di usianya yang masih tujuh tahun. Berkali-kali aku menghela napas, menenangkan jiwaku yang terguncang. Hanya aku yang bisa mengobati luka ini, hanya aku yang bisa berdamai dengan diriku. Apa pun nanti keputusan yang akan kami ambil, itulah yang terbaik. "Bian kamu titip dimana, Nay?" tanya mas Arman merapikan jilbabku yang berantakan. "Bian menginap di rumah mama, Mas." jawabku yang enggan menatap wajahnya. "Kalau begitu, setelah kamu baikan, besok, kita jalan-jalan seharian di sini. Sudah lama kita tidak menikmati saat-saat romantis seperti pacaran dulu. Kamu mau kan?" Aku menoleh, mata kami saling beradu, pelan, aku menganghuk. Sakit hati dan luka yang tadi terasa menyayat, kusimpan dengan rapat. Seuntai senyum tipis mengembang di bibirku. Ia mengecup puncak kepalaku dengan hangat. Aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakn getaran itu, getaran yang sama saat awal-awal pernikahan kami. *** Pagi ini, kota Bandung terlihat cerah. Mas Arman memesan sarapan. Sup tulang iga dan dua gelas jus stoberi, diantar oleh pelayan hotel. Mas Arman menyuapkan sup ke mulutku. "Terima kasih, Mas," ucapku lemah. "Ayo, sekarang kita mandi, setelah itu, kita jalan-jalan keluar sambil cari oleh-oleh untuk Bian, mama dan papa." ucap mas Arman setelah selesai makan. Mas Aran menepuk lembut pundakku, menyuruhku untuk bangun. Sebenarnya, aku masih enggan beranjak dari balkon ini, tapi aku juga ingin menikmati saat-saat indah jalan berdua dengannya. Aku ingin melupakan masalah yang baru saja menghantam rumahtangga kami. Dengan berat hati, aku bangun dan beranjak ke kamar mandi. Saat aku ingin masuk, mas Arman juga ikut masuk ke dalam, aku menoleh lalu tersenyum kaku. "Ya sudah, gantian. Mas Arman saja dulu yang mandi." ujarku berbalik. "Kenapa harus gantian kalau bisa mandi bareng, hm?" Mas Arman menaikkan alisnya, matanya nakal menatapku. Aku tersenyum terpaksa, melebarkan bibirku. "Nggak ah, Mas. Aku harus ganti pembalut, banyak darah. Jijikkan!" tolakku halus. Entah sudah berapa lama kami tidak pernah mandi bersama lagi. Sejak restoran berkembang pesat, waktu kebersamaan kami mulai terkikis. Mas Arman sibuk dengan restoran, aku sibuk mengurus Bian dan semua keperluan rumah. Mas Arman menarik tanganku lembut, memaksaku tetap di dalam. "Tidak apa-apa, Nay, Itu darah dagingku juga kan, kenapa harus jijik? Biar aku yang bersihkan." ujarnya melepaskan pakaianku. Sesaat kemudian, air sejuk mengguyur tubuh kami. Aku merasa, Mas Armanku yang dulu sudah kembali, penyayang, perhatian dan romantis. Usai mandi, kami meninggalakan kamar hotel bergandengan tangan menuju lift. Sesampainya di parkiran, mas Arman membukakan pintu mobil untukku, lalu ia berputar mengelilingi mobil dan naik di pintu supir. "Ya ampun, Dompetku ketinggalan di mobil Nay. Kamu tunggu di sini sebentar ya, aku ke atas dulu mengaambil dompet." "Iya, mas." jawabku sembari mengangguk. Aku menyalakan radio mobil dan bersantai mendengarkan celotehan pembawa acara yang kocak. Iseng, aku membuka laci kabin mobil di depanku. Aku penasaran isi laci itu. Sudah lama aku tidak menaiki mobil ini. Mataku tertuju pada sebuah lipstik yang tergeletak di dalam. Aku meraih lipstik itu dan memperhatikannya. Ini bukan lipstikku! Aku tidak pernah membeli liptik merek itu. Aku menghempaskan punggungg ke sandaran kursi. Mataku terpejam, hatiku kembali sakit. Aku yakin ini milik Maya, istri baru Mas Arman. Wajah wanita itu, kembali terbayang. Oh Tuhan, mengapa sulit sekali menepis rasa cemburu ini? Dari kejauhan, terlihat mas Arman mendekat. Aku mengembalikan lipstik itu kedalam laci dasboard dan memastikan tidak ada air mata yang menggenang di pelupuk mata. Aku tidak ingin merusak suasana romantis hari ini. "Maaf, Nay, membuatmu menunggu," "Nggak papa, kok, Mas ... Ada dompetnya?" "Ada, ketinggalan di dalam laci." ujarnya sembari memasang seatbelt. Sesaat kemudian mobil melacu meninggalkan hotel. Aku tidak banyak bicara, walau sebisa mungkin bersikap tenang, tapi tetap saja lidah terasa kelu untuk berbasa basi. Api cemburu yang kembali menyala di hati, membuat sikapku kembali dingin. "Nay, kenapa diam saja? Masih sakit?" tanya mas Arman menggenggam jemariku. "Entahlah, Mas. Tubuhku masih terasa lemas." Bibirku bergetar menahan nyilu di d**a. Tenggorokannku perih. Aku menoleh ke jendela kaca di samping, menyembunyikan gundah di d**a. Hening, hanya suara radio yang tak lelah menghibur. "Sayang, kita berhenti di sini saja, ya?" tanyanya memarkirkan mobil. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Mas Arman, bibirku tersenyum kaku. "Sayang, tunggu sebentar, jangan bergerak!" pinta mas Arman, saat aku ingin membuka pintu. Keningku berkerut, bertanya-tanya apa yang ingin dilakukannya. Ia keluar dari mobil dan tergopoh-gopoh menuju pintu kabinku. "Silakan, Sayang." ujarya membuka pintu dengan senyum terkulum. Sesaat aku tertegun. Belum pernah mas Arman bersikap semanis ini. Sejak kami memiliki mobil, dia tidak pernah bersusah payah membukakan pintu untukku. Mungkin dia melakukannya karen merasa kasihan padaku atau mungkin untuk menutupi rasa bersalahnya, entahlah. Aku meraih tangannya dan turun dari mobil. Setelah menutup pintu, kami berjalan bergandengan menuju sebuah rumah makan yang terdiri dari saung-saung kecil. Dari saung ini, pemandangan tampak indah. Gunung biru di ujung sana membuat hatiku tentram. Kami memesan dua jagung bakar dan jus jeruk hangat. Sesekali ia menyodorkan jagungnya kemulutku. "Udah, Mas. Jagungku juga belum habis!" tolakku. "Kamu makannya harus dua porsi, agar kesehatan kamu cepat pulih," jawab mas Arman, lalu mengelap noda di bibirku dengan tisu. Rasanya hari ini aku seperti melayang, sikap mas Arman sangat manis dan perhatian. Sikapnya mampu membuatku terlena dan lupa rasa nyeri di hatiku. Usai makan, kami masih duduk di sana menikmati indahnya alam pegunungan.Aku menyandarkan kepala di pundak mas Arman. Satu jemarinya lembut mengusap lenganku, satunya lagi, memelukku erat. "Maafkan aku mas, tidak bisa menjaga buah hati kita," bisikku ke telinga mas Arman dengan suara parau. "Iya, aku juga minta maaf jika tindakanku membuat kamu tidak nyaman. Tapi, asal kamu tahu, walaupun aku menikah lagi, bukan berarti aku sudah tidak sayang sama kamu. Cintaku padanya tidak akan mengurangi rasa cintaku padamu, ingat itu, Nay." Kata-kata mas Arman bagai air dingin yang mengalir mengguyur tubuhku. Aku menoleh padanya, saat yang bersamaan, dia juga menoleh. Seuntai senyum tersunggung di bibir kami. Tampa komando, kami saling menempelkan wajah. Mas Arman mencium keningku, lalu memelukku erat. Rasanya aku tak ingin beranjak dari saung ini walau untuk sesaat. Matahari kian meninggi, Setelah puas menikmati pemandangan gunung yang hijau, kami melanjutkan perjalanan menuju Lembang. Di sini, banyak fasilitas yang menarik. Kami berfoto di rumah pohon dan menikmati anggrek yang berwarna-warni, konon 157 jenis anggrek dari seluruh duni, dibudidayakan di sini. Tanpa terasa, hari mulai sore, kami kembali ke hotel untuk beristirahat sejenak. Malam ini, kami akan kembali ke Jakarta. *** "Bian, Assalammualaikum, Sayang." kejarku melihat Bian diantar oleh Uti dan Eyangnya. "Mama, ... waalaikum salan." sambutnya juga berlari memelukku. Mas Arman mencium punggung tangan mama dan papa bergantian. Kemudian memeluk Bian, dan menciuminya. Aku terhenyak melihat keduanya tertawa saling bercanda. Sudah hampir dua bulan ini, mas Arman tidak punya waktu untuk kami. Tapi, hari ini, dia kembali. Dia hadir bersama kami tertawa dan bercanda. "Ma, ini ada oleh-oleh buat mama dan papa," ujarku menyerahkan bag paper. "Alahamdulillah, terima kasih, Nay, Nak Arman," jawab mama sembari menoleh pada suamiku. Menjelang siang, kami makan bersama di rumah. Tawa canda menghiasi rumah itu, seolah tidak ada kejadian besar yang terjadi. Walau lidahku gatal ingin bercerita pada mama, tapi selalu kutahan. Aku takut membuat kedua orangtuaku bersedih. Mana ada orangtua yang rela anaknya dimadu. Usai makan, Bian bermain bersama eyangnya dan mas Arman di ruang keluarga. Sedangkan aku dan mama berada di teras belakang sembari merangkai bunga. Mama terus saja mengikuti kemana aku pergi. Padahal aku selalu berusaha menghindar darinya, tapi sepertinya mama tahu jika aku sengaja ingin menghindar. "Nay, kamu baik-baik saja, kan?" tanya mama menatapku lirih. " Baik, Ma." dustaku. Di dalam hati, aku ingin bersimpuh di kakinya, aku ingin menangis menceritakan badai yang menghamtam rumah tanggaku. "Tapi kenapa wajah kamu terlihat pucat, Nay? Kehamilanmu bagaimana? Sudah periksa ke dokter?" pertanyaan mama yang bertubi-tubi membuatku tidak bisa menghindar. Dadaku terasak sesak mingingat janin di rahimku yang sudah keluar. Aku menunduk nenarik napas dalam. Tanpa terasa air mataku menetes. Aku tidak sanggup menahannya lagi. Ada rasa yang membuncah di hatiku, Ada luka menganga yang tak sanggup lagi kutahan. "Nay, kenapa kamu menangis, ada masalah apa? Ceritakan sama mama!" Sentuhan tangan mama, merobohkan benteng pertahananku. Aku menangis tersedu sedu bersimpuh di kaki mama. Mendekap kakinya dan menumpahkan semua sesak di dadaku. "Nay, ada apa, Sayang. Ceritakan pada mama!" "Mas Arman, Ma ..." suaraku tertahan oleh isak tangis. "Nak Arman, kenapa?" tanya mama panik. Jemarinya erat menggenggam tanganku, seolah bisa menebak ada yang sudah dilakukan mas Arman. "Mas Arman menikah lagi denga perempuan lain," tuturku tersedu- sedu. Air mata membanjiri wajahku. "Astagfirullah, " sesaat mama juga terdiam, hanya tangannya yang lembut membelai rambutku. "Kamu tahu dari mana, Nay?" "Nay memergoki mas Arman dengan istrinya di Bandung, Ma." jawabku dengan terbata-bata. Kepalaku terasa sangat berat. Tubuhku kembali lemas, mataku berkunang-kunang, sesaat kemudian menjadi gelap. *** "Nay, bangun, Nak." suara mama terdengar sayup-sayup di telungaku. Tubuhku rasanya tak bertenaga, bahkan hanya sekadar menggerakkan tanganku. Kupaksakan membuka mata dan menggerak-gerakkan jari jemari. "Mama ...." Sapaku dengan suara lemah. Wajahku terasa kaku untuk menggerakkan bibir. "Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nay. Mama sangat mengkhawatirkan kamu, Sayang." Aku berusaha tersenyum, agar mama tidak khawatir. "Nay, kamu sudah bangun? Alhamdulillah." sapa papa yang muncul dari pintu. Aku mengangguk menjawab pertanyaan papa. Sesaat mataku mencari jagoan kecilku, tapi tidak ada di sana. "Ma, Pa, Bian mana?" "Bian sekolah, nanti jam sepuluh, papa akan menjemputnya." Aku menghela napas, mataku lekat memandang selang infus yang tergantung di sampingku. Baru dua hari lalu aku memakai selang ini, dan sekarang aku harus memakainya lagi. Kenapa aku harus pingsan setiap kali mengingat pernikahan mas Arman dengan wanita itu. Aku tidak siap menerima kenyataan ini. Sungguh tidak siap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN