Part 7

1324 Kata
Para karyawan yang sedang mengelilingi pemotongan kue oleh Maya, terperanjak melihat ke hadiranku, satu persatu mereka pergi meninggalkan ruangan itu dan kembali bekerja. Napasku seketika terasa sesak melihat mas Arman merangkul Maya dan membantunya memotong blackforest di meja. Di atas kue itu tertancap lilin merah bertulisakan angka 28. Saat melihat kehadiranku, buru-buru ia melepaskan rangkulan tangannya. Jangan ditanya sakitnya hatiku saat itu, mas Arman lebih memilih merayakan hari ulang tahun Maya dari pada merayakan hari ulang tahun pernikahan kami. Mataku tertuju pada sebuah kotak di meja. Kado yang dulu kukira untukku sebagai hadiah ulang tahun pernikan kami, ternyata kado untuk ulang tahun Maya. "Nay, dengar dulu penjelasanku!" ujar mas Arman. “Papa, siapa yang ulang tahun?” Bian mendekati papanya, dia masih terlalu kecil untuk mengetahui yang terjadi. Mas Arman terlihat gugup. “Bian, mau? Ini ambil!” Maya memberikan sepotong kue dari tangannya. Bian melirik padaku, seolah minta persetujuan. Sesaat aku menarik napas, lalu mengangguk perlahan. Tapi entah mengapa Bian seolah melihat luka di mataku, dia menolak kue itu lalu kembali mendekatiku. Kuusap kepalanya dengan lembut, tanpa terasa air mataku kembali tumpah. Karena tidak ingin membuat keributan di restoran, aku membawa Bian pulang. Aku menagis di kamar mandi, agar Bian tidak melihatnya. ** Tanpa terasa, sudah setahun lebih kami menjalani poligami. Kupandangi bayi mungil di depanku, setiap kali menatapnya hatiku teriris. Hatiku meronta harus mengasuh buah kasih suamiku dengan wanita lain. Saat itu juga, aku terbersit untuk bercerai. Aku sudah tidak sanggup lagi mempertahankan pernikahanku. Aku selalu berharap hari esok akan lebih baik. Besok mas Arman akan menyadari kekhilafannya, tapi nyatanya hari itu tidak pernah datang. “Mas, aku ingin bercerai,” ucapku saat mas Arman dan Maya datang menjemput Agny. “Bicara apa kamu, Nay?” ucap mas Arman acuh seolah kata-kataku barusan hanyalah sebuah rengekan anak kecil yang merajuk. “Aku mohon, Mas. Ceraikan aku. Jika kau tidak mau menceraikan aku, maka aku yang akan menceraikanmu!” Mas Arman menatapku tajam, “Baik. Kalau itu mau kamu, detik ini juga aku talak kamu!” ucap Mas Arman. Bagai petir di siang hari, suara mas Arman terdengar bagai geledek yang menyambar di telingaku. Aku tidak menduga secepat itu dia mengabulkan permintaanku. Tapi nasi sudah jadi bubur, talak sudah terucap, maka tidak ada pilihan selain terus melangkah. ** Sekarang aku resmi menyandang status janda anak satu. Jujur, sampai detik-detik terakhir sebelum hakim mengetuk palu, aku masih berharap mas Arman berubah pikiran. Tapi sepertinya dia benar-benar sedang mabuk kepayang pada Maya. Aku menarik napas dalam saat melihatnya menanda tangani surat perceraian itu tanpa beban, sedangkan aku berurai air mata. kini, resmi sudah kami berpisah, aku harus bertanggung jawab pada hidupku sendiri, mengambil keputusan sendiri dan melangkah menatap masa depanku sendiri. ** Awal-awal bercerai, aku kembali ke rumah orang tuaku sambil mencari pekerjaan. Rumah yang sudah empat tahun kutempati, terpaksa dijual untuk pembagian harta gono-gini. Pasca bercerai aku mencoba kembali membuka usaha restoran seperti dulu, hanya saja, sekarang tanpa mas Arman. Aku harus memutuskan sendiri langkah-langkah yang akan kutempuh. Semua uang hasil pembagian harta gono-gini milikku, kuhabiskan untuk membuka restoran baru. Tapi sayang, baru berjalan enam bulan restoran itu bangkrut. Aku tidak sanggup membayar karyawan dan juga sewa gedung. Setelah usaha restoranku bangkrut, aku benar-benar frustasi. Aku kembali menunpang hidup ke rumah orangtuaku. Aku bersyukur memiliki orang tua seperti mereka, berlapang d**a menerima keadaanku saat itu. Karena tidak tahu harus berbuat apa, aku menulis sebuah cerita. Cerita tentang indahnya cinta yang tidak kudapatkan di dunia nyata. Aku menumpahkan harapanku akan sebuah kisah cinta sejati sehidup semati. Menciptakan tokoh lelaki idamanku, dan menciptakan tokoh wanita seperti diriku. Sebuah kisah cinta yang sempurna seperti mimpiku. Tidak kusangka, imajinasi yang kutuliskan berbuah pundi-pundi yang terus mengalir ke rekeningku. ** Hari ini aku sedang berada di sebuah hotel bintang lima, bertemu dengan seorang sutradara. “ Mba Nay, kenalkan ini Mas Widi, sutradara yang akan memfilmkan n****+ kamu,” ujar Seli, manager di tempatku menerbitkan buku. “Selamat siang, mas Widi,” sapaku ramah melempar senyum tipis padanya. “Selamat siang mba Nayla, terima kasih sudah memenuhi undangan saya.” ujarnya sopan Aku tersenyum simpul membalas ucapan terima kasihnya. Sesaat kemudian kami larut dalam sebuah perbincangan serius. Tanpa banyak kendala, kami berhasil mencapai kata sepakat untuk bekerja sama. Dering telphon menghentikan perbincangan kami sejenak, aku mengangkat telphon dari mama; Bian jatuh dari sepeda dan sekarang sedang berada di rumah sakit. Tanpa pikir Panjang, aku segera pamit. “Aduh, maaf ini, mas Widi, mba Seli, saya harus pulang, anak saya jatuh dari sepeda.” Ujarku panik. “O, oke tidak masalah. Mau saya antar?” tanya mas Widi. “Tidak usah, Mas, nanti merepotkan, saya naik taksi saja!” “Ah, saya tidak merasa repot, lagi pula hari ini waktu saya sedang longgar,” Aku tertegun sesaat, tidak enak rasanya jika bersikeras menolak tawarannya. “Alhamdulillah, terima kasih, Mas.” Jawabku setuju. Setelah berpamitan pada Seli, kami bergegas menuju parkiran, sesaat kemudian mobil yang ku tumpangi melacu di jalan raya. Empat puluh lima menit waktu yang harus kutempuh untuk sampai ke rumah sakit. Di mobil aku hanya diam, kepanikan menghantui diriku. “Mama, bagaimana Bian?” tanyaku saat melihat mama duduk di samping Bian. “Bian nggak papa, Nay. Hanya kepalanya bocor sedikit. Sudah dijahit.” Jawab mama mengelus kepala Bian yang tertidur. “Alhamdullillah,” gumamku mencium kening wajah Lelah itu. Mungkin dia lama menangis kesakitan sehingga dia tertidur pulas. “Ini siapa, Nay?” tanya mama menoleh pada Mas Widi yang menyusulku dari belakang. “Kenalkan, Ma, ini mas Widi, sutradara yang memfilmkan novelku,” “Assalammualaiku, bu,” Mas Widi menjulurkan tangannya pada mama, “Waalikum salam,” jawab mama menatap mas Widi tersenyum, entah apa yang dipikirkan mama, ia melirikku. Sesaat kemudian keduanya tanpak akrab berbincang. Aku tidak terlalu mendengarkan perbincangan mereka, mungkin karena masih khawatir dengan Bian. Setelah Bian bangun, dokter mengijikan pulang karena kondisi Bian hanya luka luar. Mas Widi kembali menawarkan jasanya mengantar kami pulang. Kebetulan papa sedang keluar kota, sehingga kami tidak bisa menjemput kami pulang. “Masuk dulu, Nak Widi,” ucap mama. “Lain kali saja, bu, saya datang lagi,” tolaknya halus. “Oh iya, tidak apa-apa. Terima kasih banyak, ya, atas bantuannya.” Mas widi dan mama tampak akrab, setelah berpamitan, mas Widi pergi. Mama melirikku mengulum senyum. Aku bisa menebak apa yang dipikirkan mama, tapi aku memilih diam. Terlalu dini membahas mas Widi. Lagi pula, aku baru mengenalnya. Orang setampan dan sebaik dia, mana mungkin masih sendiri. “Nay, kamu masih betah sendiri? Nggak pengen nikah lagi?” tanya mama saat makan malam. “Belum ada yang cocok, Ma.” “Ah, masak? Kamu itu masih muda, Nay, masih banyak laki-laki di luar sana yang mau sama kamu.” Aku hanya tersenyum getir, menjawab perkataan mama. Sejujurnya, aku belum bisa melupakan mas Arman, kenangan bersamanya terlalu indah untuk di lupakan begitu saja. Mungkin aku terlalu naif masih mengharapkannya kembali padaku. “Nay, Nak Widi itu kayaknya suka sama kamu,” lanjut mama. Sejenak mata kami saling beradu. “Ma,… Nay dan mas Widi itu, baru bertemu hari ini. Kami belum saling kenal satu sama lain. Lagi pula, rasanya mustahil jika dia belum beristri.” “Bisa aja statusnya duda. Perasaan mama mengatakan dia suka sama kamu.” ujar mama yakin. “Ma, Nay tidak mau gegabah soal pernikahan. Lagi pula, Nay masih ingin berkarir meniti masa depan Nay sendiri.” “Huf.” Mama tampak kecewa mendengar jawabanku, “Jangan bodoh jadi perempuan! Lihat mantan suamimu itu, dia bahagia bersama keluarga barunya, sedangkan kamu? Kemana-mana sendiri! Besar kepala si Arman itu!” oceh mama kesal. Aku hanya menghela napas menanggapai emosi mama. Bagiku pernikahan bukanlah ajang balas dendam. Aku tidak peduli sebahagia apa mas Arman dengan keluarga barunya, aku hanya ingin menata hidupku. Usai makan, aku merapikan meja dan mencuci peralatan bekas makan. Kemudian bergegas ke kamar. Terlihat Bian masih tertidur pulas. Aku terkesiap mendengar dering telphon, segera aku mengangkat. Sebuah nama tertulis di sana. Mas Widi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN