PART 4
"Sudah pulang, Nak?" Seorang wanita melangkah pelan dengan menggunakan sebuah tongkat sebagai pengarah dirinya berjalan. Ia mendengar suara pintu terbuka dari luar.
"Sudah, Bu." Cantika menjawab dan segera menghampiri ibunya lalu dibantu duduk kembali di atas karpet tipis.
"Kamu dari mana aja kok lama?"
"Aku cari makan, Bu." Awalnya Cantika bingung akan menjawab apa namun melihat ada sebungkus sate yang dibawanya pulang itu membuatnya terpaksa berbohong kepada ibunya.
"Uang ibu sudah habis ya?"
"Enggak kok, Bu. Masih ada." Cantika menggeleng cepat meski ibunya tidak bisa melihat eskpresi di wajahnya. Akibat kecelakaan beberapa tahun silam, ibunya bernama Puji itu mengalami kebutaan sehingga ibunya tidak bisa memandang wajah putrinya yang beranjak remaja ini.
"Terus kenapa kamu cari makan? Kan kamu belum waktunya gajian." Puji mengernyit heran dan mencium aroma sate yang sangat dekat dengannya.
"Iya memang belum, tapi aku lagi kepengen banget makan sate, Bu."
"Iya, ibu mengerti tapi jangan boros sama uang ya. Kita hidup penuh keterbatasan dan kamu harus pandai mengatur uangmu sendiri." Puji meraba ke depan, Cantika yang paham langsung mengarahkan tangan ibunya ke pundaknya.
"Iya, Bu. Aku berusaha mengatur uang dan menabung juga."
"Nah gitu, ya sudah ayo makan. Ibu sudah lapar ini." Puji tertawa kecil dan Cantika ikut pula tertawa.
'Bahagiaku sederhana, asal ibu selalu tersenyum seperti ini'---batin Cantika.
Namun di sisi lain ada perasaan bersalah bagi Cantika sendiri yang telah membohongi ibunya. Walau demi kebaikan ibunya dan dirinya tetap saja namanya berbohong itu salah.
Karena bagi Cantika sekarang, belum. Saatnya ibunya tau apa yang sedang dilakukan sekarang.
...
"Kakak pulang!" Seru seorang lelaki remaja berusia 17 tahun ketika memasuki rumahnya yang suasana lumayan ramai karena ada suara adiknya yang sedang tertawa.
"Kakak!" Sontak dua adiknya dengan semangat menyambut kepulangannya. Adik pertamanya berlari dan meminta gendong saat sudah berada di hadapannya sedangkan adik bungsunya masih belum bisa berjalan dan hanya merangkak sambil merengek iri karena kakaknya yang kedua sudah sampai duluan dibanding dirinya yang agak kesulitan mempercepat merangkaknya.
"Kak Aisyah gantian sama adiknya dulu." Sosok laki-laki berparas rupawan dengan senyuman yang manis dan hatinya yang sangat penyayang sekali pada keluarganya terutama adik-adiknya.
"Alah, Aisyah masih ingin digendong kakak."
"Iya, kakak tau tapi adiknya sudah nangis kejer gini lho."
"Kak Malik lebih sayang ke Syabil ya?" tanya Aisyah yang memasang wajah sesedih mungkin agar kakaknya tidak berniat menurunkan dirinya.
"Sayang banget dong, kenapa kamu malah tanya itu sih sayangnya kakak." Malik, sosok lelaki yang penyabar, penyayang dan pendengar adiknya yang suka bercerita apa saja setiap hari. Malik mencium pipi Aisyah dan menganyunkan gendongannya sebentar.
"Setiap dedek minta gendong, Aisyha pasti diturunin kan Aisyah pengen disayang juga." Omel Aisyah yang tidak terima harus terus mengalah ke adiknya.
"Gini lho kakak Aisyah yang cantik, kan sekarang kakak udah punya adik kecil jadi harus lebih disayang karena masih kecil dan belum ngerti apa-apa. Dulu kan Aisyah juga disayang lebih sama semua keluarga Aisyah bahkan sampai sekarang. Nah si dedek masih kecil, harus lebih dijaga dan kakak juga mengalah sama kalian, karena kakak sudah besar dan kalian yang lebih berhak dapat perhatian penuh."
"Tapi Aisyah pengen kayak dedek juga."
"Ya sudah semuanya kakak gendong deh." Malik menghembuskan napasnya perlahan, ia juga memaklumi adiknya masih kecil dan hati kecilnya masih suka merasa iri.
"Sini dedek." Malik berlutut sebentar dan meraih Syabil. Kini dua adiknya digendong bersamaan dan mereka tertawa cekikian ketika digoda oleh Malik.
Melihat adiknya bahagia karenanya membuat Malik ikut bahagia, ia tau betul orang tuanya sama-sama dilanda kesibukkan dan dia sebagai kakak bertugas memberikan perhatian penuh kepada adik-adiknya tanpa kekurangan sedikitpun.
"Sudah malam begini belum juga tidur kakak Aisyah?" Sekarang Malik berada di dalam kamar Aisyah dan menemani adiknya bermain setelah Syabil tidur terlelap.
"Belum ngantuk."
"Tadi tidur siang sampai sore?" tanya Malik kepo.
"Iya, makanya sekarang Aisyah gak bisa tidur dan pengen main aja." Aisyah menyisir boneka barbienya yang wajahnya pun sudab dipenuhi coretan spidol milik Malik. Alat tulis Malvin sering diambil diam-diam oleh adiknya lalu dirusak, maka dari itu Malik memilih mengutamakan keselamatan buku-buku pelajarannya dan meletakkan di rak paling atas sehingga adik-adiknya tidak tau menahu letak bukunya. Alamat kalau sampai buku-buku pelajarannya disobek apalagi buku tugasnya. Bisa nangis tujuh hari tujuh malam si Malik.
Semenjak memiliki adik, Malik menjadi lebih berhati-hati dan menjaga barang-barang yang tidak diperbolehkan disentuh oleh adik-adiknya. Seperti benda-benda tajam sebab adik-adiknya itu sama-sama mempunyai rasa ingin tau yang tinggi di usianya.
"Tapi ini sudah malam banget."
"Gak mau, Aisyah masih pengen main."
Sesekali Malik menguap lebar dan memang sudah mengantuk sekali. Namun, karena adiknya belum tidur, dirinya rela menahan kantuknya demi menjaga adik kecilnya yang suka sekali tidur larut malam.
"Kakak Malik sudah ngantuk?" tanya Aisyah yang entah sejak kapan duduk di sebelahnya. Malik tengah duduk selonjoran di atas karpet yang berisikan banyak mainan dan Malik juga menyandar ke dinding sambil memegang salah satu mainan milik adiknya agar adiknya tidak merasa sendirian sewaktu bermain.
"Sudah, ngantuk banget. Aisyah tidur ya?" Malik memangku adiknya dan mencium pipi gembulnya yang suka dirinya cubit karena saking gemasnya.
"Pengen dipeluk kakak Malik biar tidur nyenyak." Aisyah memajukan bibirnya seraya menarik kaosnya Malik beberapa kali.
"Iya kakak peluk, ayo tidur kan besok sekolah."
"Sekolahnya masuk siang kakak."
"Iya masuk siang tapi harus bangun pagi." Malik menggendong adiknya dan menurunkannya ketika sudah di atas tempat tidur.
Malik ikut berbaring di sebelah Aisyah lalu memeluk adiknya sampai adiknya benar-benar tidur nyenyak. Selesai mengurus adiknya, sebelum keluar dari kamar pula Malik memeriksa Syabil dan selanjutnya baru dirinya melangkah ke kamarnya sendiri yang berada di berada di depan kamar adiknya. Sengaja kamar mereka berdekatan supaya Malik lebih ekstra lagi menjaga adik-adiknya.
Saat akan masuk ke kamarnya, terdengar suara lembut seseorang dari arah sisi kanannya.
"Malik belun tidur?"
"Mama." Malik menghampiri mamanya yang sepertinya sehabis pulang bekerja lalu tidak lupa mencium tangan Irene.
"Belum, Ma. Ngurus adik-adik yang pada manja ke aku hehe. Mama sendiri sudah beres kan pekerjaannya?"
"Sudah tadi ada yang mau melahirkan jadinya buru-buru berangkat, Aisyah sama Syabio gak cariin mama kan?"
"Mereka tadi asyik main sama aku, Ma."
"Syukurlah kalau begitu."
"Mama istirahat gih, capek banget kelihatannya." Malik memandang raut wajah Irene yang nampak kelelahan sehabis bekerja di tengau malam ini.
"Hehe iya, Malik. Bentar lagi mama tidur. Kamu juga tidur dan jangan main hp mulu!" Perintah Irene pada putranya.
"Iya, Ma. Mainanku boneka barbie," jawab Malik sambil menggaruk tekuknya.
"Hahaha berbeda itu indah." Irene tertawa dan menepuk pundak Malik.
"Alah mama ledek Malik."
...
Keesokkan paginya, Malik berangkat sekolah di jam seperti biasanya dan hari ini tanpa si kembar. Mungkin si kembar hari ini di antar oleh orang tuanya sebab mereka itu sangat jarang mau berangkat bareng sopir pribadinya dan ingin ada keluarganya yang mengantarkannya sekolah.
Malik dengan motor beat andalannya itu melaju dengan kecepatan sedang. Ia sengaia melewati jalanan kemarin ketika tiba-tiba teringat sosok gadis yang membuatnya tertarik. Entah mengapa ada sesuatu di gadis itu yang membuatnya tertarik, gadis bernama Cantik dan wajahnya Cantik seperti namanya mampu memikatnya. Dulu Malik memang sering dekat dengan beberapa gadis dan Cantika seperti beda dari gadis yang didekatinya dulu. Saking penasarannya, Malik sengaja memelankan motornya ketika melewati tempat tinggal Cantika.
"Rumahnya kecil sekali," komentar Malik mengamati rumah Cantika yang hampir tidak kelihatan sebab ada pohon besar di depan rumah Cantika.
"Kelihatan sepi rumahnya." Ingin rasanya Malik ke sana tapi dirinya sangat malu dan akhirnya memilih melanjutkan jalannya.
Tak jauh dari rumah Cantika, Malik menyengir lebar ketika maniknya tak sengaia menemukan keberadaan Cantika dan kali ini Cantika menaiki sepeda. Segera Malik menjajarkan kecepatannya dengan kecepatan kayuhnya Cantika menaiki sepedanya.
"Pagi Cantik."
Hampir saja tubuh Cantika oleh ke samping saat mendengar seseorang datang tiba-tiba mengejutkannya. Cantika terkejut bukan main dan menghentikan laju sepedanya.
"Elo lagi." Cantika mendengus sebal sambil mengusap dadanya pelan.
"Hehe maaf ngagetin lo." Malik juha ikutan menghentikan motornya. Karena jalanan yang sepi membuatnya nekat menjajarkan motornya dengan sepeda Cantika.
"Mau apa lo datang kemari?" tanya Cantika agak gugup dan tidak mau menatap balik ke Malik sebab tatapan Malik sangat begitu dalam sekali.
"Mau lihat lo lha," jawab Malik teramat jujur dan membuka helmnya. Tidak lupa merapikan rambutnya dan menggunakan kaca spion motornya agar tampak lebih jelas saja ketika merapikan rambutnya.
"Alasan, lo mau ngejek gue karena kemarin kan." Cantika tidak mau kepedean dicari oleh lelaki setampan Malik, ia memilih menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya yang lurus.
"Enggah tuh, emang gue pengen lihat lo apalagi mengingat kemarin lo dilabrak tante-tante girang naik mobil. Aish gue pengen nyiram jus pare ke mukanya deh tapi sadar gue itu cowok dan gak mau kasar ke cewek." Prinsip Malik, tidak mau main kasar ke seorang perempuan sebab memiliki mama dan adik-adik perempuannya yang sangat disayanginya.
Cantika menahan bibirnya agar tidak tertawa mendengar keinginan Malik yang ingin berbalas dendam ke seseorang yang dibencinya.
"Gak usah ikut campur deh, itu urusan gue sama dia dan jangan jadi sok pahlawan di depan gue," ujar Cantika bersuara ketus.
"Gue mau jadi pahlawan di kehidupan lo, kayaknya menarik nih."
"Gue bisa jaga diri."
"Iya gue tau kan lo pinter gelud, eh iya lo atlet kan jadi lo sering juara tapi gak pernah gue lihat lo. Oh ya gue gak pernah ikut upacara bahkan gak nyimak tentang murid atlet." Malik terkekeh pelan.
"Mau lo kenal gak kenal gue, gue bodo amat sama lo dan kita ini hanya orang asing saja."
"Kalau asingnya iti diganti aylopyu gimana?" tanya Malik sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Ih gila ya lo!" Cantika bersiap mengayuh sepedanya lagi.
"Wih pipinya merah tuh, lagi bulshing ya?" Malik menunjuk pipi Cantika membuat Cantika reflek memegangi pipinya sendiri dan memasang muka membingungkan.
"Maksudnya apa?" tanya Cantika yang tidak paham.
"Maksudnya adalah lo lagi malu-malu kucing sekarang karena gombalan maut dari gue." Malik menyurai rambutnya ke belakang dan bergaya seolah-olah menjadi model papan atas, maksudnya atas genteng sekolahnya.
"Idih, malu-malu kucing apanya." Cantika melanjutkan mengayuh sepedanya dan berusah mengayuh secepatnya.
Malik tersenyum lebar, memandangi kepergian Cantika sampai menghilang di tengah keramaian kota di pagi ini.
"Lucu sih, jarang gue nemuin cewek kayak gini dan bikin gue makin ingin kenal dekat. Yahh walau agak sulit sih tapi perlu dicoba dulu." Malik menyalakan mesin motornya dan kembali menjalankan motornya dengan kecepatan standar.
Setiba di sekolah, Malik bertemu lagi dengan Cantika yang juga baru selesai keluar dari area parkir murid SMA Madya. Cantik tidak tau keberadaan yang tidak jauh darinya, walau begitu Malik memilih mengamati gadis itu dari tempatnya berdiri.
"Woy Lik!" Malik terlonjak kaget mendengar suara temannya yang memekakan telinganya sambil menepuk bahunya keras.
"Ngagetin aja si cempe." Malik menoyor kepada Vardo. Salah satu temannya yang menemukan keberadaan disini.
"Lo ngapain berdiri disitu? Oh mau nyambut gue ya?" Vardo berlagak keren dengan menompang dagunya di antara ibu jari dan jaro telunjuknya sambil menyengir lebar.
"Sok lo, noh lihat! Gue disini karena tuh cewek." Malik menunjuk dengan dagunga ke arah tempar dimana Cantika berdiri. Cantika duduk di bawah pohon dan sedang memperbaiki tali sepatunya yang lepas.
"Oh lo ngamati itu cewek," ucap Vardo sambil mengangguk paham.
"Iyalah, kan gue kemarin sudah bilang kalau gue penasaran sama dia."
"Hadeh, mau ghosting cewek lagi lo."
"Kagak deh kayaknya."
"Ih gara-gara lo ini gue sering diserang sama cewek-cewek yang lo ghosting. Diamuk massal dan kali ini gue kagak mau jadi korban lagi deh." Vardos mendengus sebal.
"Enggak, salah sendiri lo ditakdirkan punya temen macam gue hehe."
"Dahlah." Vardo melangkah duluan dan meninggalkan Malik.
"Hadeh ngambek ini bocah, kayak cewek deh lo!" Seru Malik dan mengejar temannya setelah Cantika sudah pergi ke gedung IPS.
Disisi lain..
"Itu cowok ngapain sih ngamatin gue mulu, kan gue agak gimana gitu." Tanpa Malik tau, Cantika sudah tau sebenarnya kalau dirinya sedang diamati oleh Malik sedari tadi. Tetapi Cantik sengaja berlagak pura-pura tidak tau.
"Hmm tapi gue gak mau kepedean." Cantika menggelengkan kepalanya cepat dan mengenyahkan pikirannya soal cowok itu yang ingin mendekatinya.
"Dia ramah, senyuman manis, perhatian banget ke adiknya. Cowok setampan dia, banyak yang menyukainya dan gue bukan apa-apa dibandingkan cewek lain. Jadi gue gak mau berharap lebih didekari cowok seperti dia."
"Gue kayak tau, dia itu terkenal di sekolahan ini deh. Dia ramah ke semua orang begitu dan disapa banyak orang." Cantika memperhatikan gerak-gerik Malik dari kejauhan hingga Malik berbelok ke kanan dan membuatnya tak bisa melihat cowok itu. Sebelumnya ketika Malik diajak mengobrol oleh temannya, Cantik bersembunyi dibalik pohon yang besar dan sengaja sembunyi agar Malik tidak terus menerus mengamatinya.
...
"Kamu yakin dengan pengunduranmu menjadi seorang atlet ini?" tanya seorang wanita paruh baya kepada seorang siswi yang duduk di depannya.
"Iya, Bu. Saya yakin pada keputusan saya sendiri dan saya memang ingin mundur dari atlet taekwondo." Gadis itu ialah Cantika, sosok yang dikenal atlet taekwondo dan menjuarai berbagai lomba hingga tingkat provinsi memilih mengundurkan diri sebagi atlet. Cantika menjadi atlet sejak menduduki bangku sekolah dasar, walau besar tapi Cantika yakin pada keputusan ini benar dan semua ini juga demi menjaga ibunya yang makin sakit-sakitan. Cantika tidak tega harus meninggalkan ibunya terus-menerus ketika ada tanding dan hampir tidak ada waktu di rumah bahkan sering pula ia meninggalkan ibunya ke luar kota.
"Berat sebenernya ibu menyetujui keputusanmu ini, tapi kamu memiliki masalah keluarga." Guru pembina ekstrakukikuler taekwondo itu menghembuskan napasnya berat. Ia membaca surat pengunduran diri daru Cantika.
"Maafkan saya, Bu. Kalau ada salah selama saya bergabung menjadi atlet dan saya berjanji tidak akan melupakan tempat dimana saya bisa belajar taekwondo hingga nama saya terangkat menjadi siswi yang sering menjuarai berbagai lomba," ujar Cantika.
"Ibu juga tidak akan pernah melupakanmu dan ibu mohon kepadamu, sering-sering lah datang ke tempat latihan dan bantulah juniormu jika memang menginginkan bantuan darimu atau sekedar ingin belajar darimu." Surat yang telah ditandatangani itu akan diserahkan ke seseorang lagi yang berhak menerima atau tidaknya keputusan Cantika. Namun yang jelas keputusan Cantika dipastikan disetujui oleh seseorang petinggi di sekolah karena alasannya sangat jelas.
"Iya, Bu. Saya akan sering-sering mengunjungi tempat latihan dan memberi motivasi kepada adik-adik junior saya." Cantika tersenyum sopan seraya mengangguk mengerti.
"Terima kasih Cantika, kamu memang murid baik yang selama ini ibu kenal. Semoga masalah di keluargamu segera diselesaikan dengan baik dan ibu berdoa semoga ibumu segera diangkat apapun penyakitnya. Kamu juga jaga kesehatan ya dan sekarang kamu bisa lebih fokus belajar."
"Baik, Bu. Saya juga berterima kasih kepada ibu yang selalu mengerti keadaan saya dan membantu saya ketika ada kesusahan. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan ibu selama ini. Ibu juga jaga kesehatan dan semoga ibu serta keluarga sehat-sehat selalu. Saya pamit undur diri, Bu." Cantika mencium tangan gurunya.
"Semoga kamu bahagia selalu," ucap guru tersebut ketika Cantika sudah pergi dari ruangannya.
Di luar ruangannya...
"Sudah Tik?" tanya temannya yang selalu ada disisinya.
"Sudah Mel. Maaf kalau lama sih, lagian lo ikutan mulu." Cantika geleng-geleng kepada pada temannya satu itu. Ia hanya memiliki satu teman yang mau berteman dengannya dan dia bernama Melani. Melani bukan murid dari kalangan biasa sepertinya bahkan dia adalah murid berada dan sering membawa barang-barang branded di sekolah seperti tas, pakaian dan aksesoris. Anehnya Melani hanya mau berteman dengannya.
Disisi lain pula Cantika tidak mau menceritakan masalah ekonominya kepada temannya itu sebab Melani adalah teman yang royal dan apapun akan diberikan kepada temannya. Cantika tidak mau masalahnya ini dibantu orang dan selama bisa mengerjakan sendiri, apapun akan dilakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain.
"Gue gak mau sendirian di kelas lagian lagi jam kosong."
"Eleh, lo mau mampir ke kantin kan?"
"Haha tau aja deh lo." Melani tertawa lalu menggandeng Cantika dan keduanya berjalan beriringan menuju ke kantin.
Suasana koridor lumayan sepi karena di jam pelajaran yang masih berlangsung. Berhubung tadi memang kelas mereka tidak guru yang mengajar, Cantika langsung izin ke ketua kelas menuju ke ruangan guru pembina ekstrakulikuler taekwondo di sekolahnya dan membicarakan soal keputusannya yang ingin mengundurkan dirinya sebagai atlet taekwondo. Rasanya berat bagi Cantika sendiri sebab olahraga itulah yang ia sukai sejak kecil dan tumbuh menjadi gadis yang mampu melindungi dirinya dari kejahatan. Bahkan tujuan ikut taekwondo, mengingat dulunya ibunya sering dikerjai orang-orang usil karena kondisi matanya yang buta dan dari belajar taekwondo inilah, Cantika bisa melawan siapapun orang yang berani jahat kepada ibunya. Satu-satunya orang yang dimilikinya dan sangat dirinya sayangi sepenuh hatinya. Tapi di satu sisi pula, Cantika tidak bisa menggunakan beasiswa di sekolah lagi dan mulai dari sekarang harus menggunakan uang sendiri untuk membiayai sekolah termasuk SPP setelah ia resmi keluar dari taekwondo sebab dari taekwondo, Cantika bisa bersekolah di SMA SMA Madya dengan jalur prestasi, SMA favorit di kota ini.
Di tengah perjalanan mereka menuju ke kantin, Cantika dan Melani tak sengaja berpapasan dengan sosok lelaki tampan yang dari kemarin menggodanya.
"Hai Cantik." Lelaki itu tidak sendiri melainkan ada dua laki-laki tampan di sisi kanan dan kirinya.
"Malik." Gumam Melani seraya menyipitkan matanya.
"Lo kenal dia?" Reflek Cantika menoleh ke Melani saar temannya itu menyebutkan nama lelaki yang tengah berdiri mematung di hadapan mereka.
"Ya gue kenal itu cowok, dia itu suka godain cewek dan tebar pesona gitu deh." Bisik Melani di sisi telinga Cantika.
"Oh jadi gitu."
"Hati-hati aja, cowok model beginian cadangannya banyak."
"Ekhem." Malik berdeham sejenak membuat Melani berhenti membisikan sesuatu tentang hal buruknya kepada Cantika.
"Sudah bicaranya." Malik tetap tersenyum meski agak kesal dibicarakan buruk saja walau ucapan Melani benar adanya. Tapi khusus Cantika, Malik tidak ada niatain menyakiti hatinya dan Cantik memiliki sesuatu hal yang mmebuatnya menarik.
"Emm ya." Melani gugup dan mengangguk samar.
"Kenapa lo datang ke gedung IPS ini?" tanya Melani lagi dan berbasa-basi kepada mereka.
"Gue cuman iseng aja nyari kelas Cantika."
"Gabut banget cari kelasnya dia, sana deh balik ke kelas sendiri dan kita lagi sibuk." Sewot Melani.
"Yee sewot lu!" Vardo melototkan matanya dan membusungkan dadanya bersiap seperti akan bertanding dengan seseorang.
"Serah gue lah, mulut-mulut gue." Melani membalas juga dengan melototkan matanya dan mencebikkan bibirnya.
"Ngapain cari kelas gue?" tanya Cantika yang akhirnya membuka suaranya setelah beberapa menit terdiam.
"Pengen tau aja, emang gak boleh ya?" Malik memasang muka sedih dan lesu.
"Gak," jawab Melani.
"Yang ditanya siapa yang jawab siapa, rese lu." Vardo mengeluarkan bendera perangnya kepada Melani dan sepertinya mereka tidak akan pernah akur setiap bertemu.
"Kan sudah gue bila---"
"Biarkan saja, kita pergi." Cantika menggeret Melani dan melangkah ke jalan yang lain walau Melani mendumel karena jalan ini akan lebih panjang lagi menuju ke kantin.
"Hadeh gelud aja deh lo, dia kan cewek." Zidan geleng-geleng kepasa pada tingkah temannya itu.
"Bodo la, kelihatan banget itu cewek nyebelin deh."
Ketika dua temannya berdebat, Malik hanya fokus memperhatikan Cantika dari tempatnya berdiri.
...