Part 38

1532 Kata
Part 38 "Lo makin cantik pake baju serapih ini apalagi pakai pakaian seragam pekerja tetap." Malik memandang tampilan Cantika dari bawah ke atas atas. "Ah gitu kah?" Cantika tersenyum saat Malik memujinya dan membuat hatinya yang sebelumnya gelisah menjadi lebih tenang perlahan. "Lo kayak gugup banget." Malik juga memperhatikan gerak-gerik Cantika yang sepertinya masih belum nyaman berada disini. "Enggak kok," jawab Cantika bohong. Gadis itu menggosokan kedua telapak tangannya sendiri bermaksud mengurangi rasa gundahnya hati. Ini pertama kalinya bekerja dan langsung bekerja di rumah makan sebesar ini. "Eleh bohong." Malik mencebikkan bibirnya dan menoel pipi Cantika. "Ish enggak." Cantika mengusap pipi kasar, bekas tangan Malik yang menoel pipinya baru saja. "Ish iya." Malik menggoda Cantika lagi dan menoel pipinya. "Malik sudah astaga." Cantika menghentakkan kedua kakinya dan merasa kesal terhadap Malik yang terus menggodanya sambil menoel pipinya. Cantika merasa geli saja dipipinya hingga membuatnya merinding rasanya. "Hahaha geli ya?" Malik tertawa puas setelah berbuat usil kepada Cantika. Mereka berdua berada di depan ruang ganti pakaian perempuan dan laki-laki. Ada beberapa gadis yang berdecak kagum saat melewati Malik bahkan ada yang terang-terangan mengatakan bahwa Malik adalah karyawan muda yang paling tampan yang bekerja disini. Ada juga yang meminta kenalan serta nomer handphone Malik namun Malik tidak memberikannya sebab nomer handphonenya termasuk privasi baginya. Akan tetapi jika ada yang mau berkenalan pula Malik masih meresponnya meski Malik merasa tidak nyaman karena ada yang beberapa dari mereka memiliki sifat agresif hampir sama seperti para penggemarnya di sekolahnya. "Geli Malik, sudah deh." Cantika menjaga jarak dari Malik dan menyuruh lelaki itu pergi lebih dulu "Masih pengen sama Cantik." Malik melengkungkan bibirnya membentuk senyumnya lebar. "Malik, gue laporin ke bulek lo." Cantika menatap Malik tajam. "Eh kok bulek." Malik mengingatkan Cantika soal panggilan Zena yang seharusnga menyebut Bu Zena. "Aduh salah kan." Cantika langsung membekap mulutnya seketika teringat bahwa ia harusnya memanggil Bu Zena bukan buleknya Malik. "Hayoloh entar kalau ketahuan, lo dimarahi sama Bu Zena." Malik masih berhati-hati menyebutkan nama Bu Zena. "Ya ini kan gara-gara lo itu memancing emosi gue." Tuduh Cantika kepada Malik. "Lah kok jadi aku yang disalahkan, kan lo sendiri yang mengatakan bukan gue." Malik memegang dadanya sendiri dan memasang wajahnya yang pasrah. "Intinya lo yang salah." Tunjuk Cantika ke Malik. "Hadeh, cowok selalu salah kah?" Malik menggaruk tekuknya yang tak terasa gatal. "Emang." Cantika bersedekap d**a dan melirik Malik sekilas. "Gitu sih." "Sudah deh, bentar lagi waktu kerja kita." Cantika memilih menyudahi perdebatannya dengan Malik karena lelah mulutnya sedari tadi mencerocos tanpa henti. "Iya sih." "Sana cari temen, tuh banyak juga pekerja yang baru seperti kita." Cantika menunjuk ke arah dimana para pekerja baru berkumpul dan saling berkenalan satu sama lain. "Males ah, maunya sama Cantik." Malik menggeleng dan hanya ingin berada di samping Cantika. "Kenapa selalu pilih sama gue sih, gue ditinggal sendirian juga gak masalah." Cantika menghela napasnya perlahan dan masih bersedekap d**a. "Karena sama lo, gue nyaman saja dan gak perlu orang lain lagi. Gue juga gak mau lo sendirian karena lo pun susah bergaul kan? Gue sudah bisa menebaknya." Malik mengambil sebuah kursi plastik dan menyuruh Cantika supaya duduk di atas kursi tersebut. Membuat Cantika tidak capek saat berdiri lebih lama dan perhatian dari hal-hal kecil inilah timbulah perasaan Cantika yang tak karuan. "Gue sendirian juga gak masalah karena memang sudah terbiasa apa-apa sendiri dan lihat orang berkumpul saja gue kayak merasa ikut berkumpul." Pandangan Cantika terfokus pada para pekerja baru yang tengah berkumpul disana. Ingin rasanya ikut menrimbung, namun disisi lain Cantika merasa kaku berbaur bersama mereka dan berujung mati topik atau tidak adanya topik yang dibahas dan saling diam. Tapi jika ada orang yang mengajaknya Cantika berbicara pun Cantika tetap meresponnya karena Cantika tau rasanya diabaikan ketika akan mengajak seseorang berbicara itu menyakitkan. "Ah iya bener juga, gue pernah merasakan kayak gitu tapi lama-lama bergaul ke mereka gitu. Semua butuh waktu sih dan bakal terbiasa nantinya." Malik menjentikkan jarinya dan paham apa yang dimaksud Cantika. "Iya, Malik. Tapi kalau lo pengen berbaur ke mereka ya silakan saja dan gue gak ada hak buat melarang lo." "Iya memang gak ada hak tapi gue lebih senang sama lo kok dan ini gue gak gombal tapi kenyataannya sudah terlanjur nyaman ada di dekat lo." Cantika tersenyum tipis. "Oh gitu." Cantika berusaha memasang wajahnya yang jutek agar tak dikira cewek yang mudah baper dan bersikap seolah-olah tak merasakan apa-apa saat mendengar gombalan maut dari Malik si buaya. "Cuman dua kata doang balesannya. Ah gombalan gue gak ada gunanya ternyata." Malik lesu dan ia akui sendiri, Cantika itu sangat sulit digodain sampai baper. "Emang gak ada gunanya, cuman gombalan doang mana mempan bagi gue. Gombalan cowok bagi gue itu kecil banget dan bisa dihapus atau dihilangkan secara mudah dari ingatan," ujar Cantika menjelaskan soal dirinya seperti apa. "Tapi gue malah gampang baper digombalin cewek, sedap-sedap banget gombalan mereka jadinya kebawa suasana juga. Untung saja sih baik-baik aja gue." "Iya lo sama gue beda." "Tapi hati kita masih bisa bersatu walau berbeda kok." Malik terkekeh pelan dan mengedipkan sebelah mata andalannnya. "Hah maksudnya?" tanya Cantika yang benar-benar tidak paham apa yang dikatakan oleh Malik. "Eh, anu lupakan saja." Malik berdecak kesal karena ucapannya yang menurutnya tak jelas arahnya dimana tanpa disadari oleh Cantika. "Apa sih? Hati yang bersatu itu lho apa?" Cantika masih saja kepo maksud ucapannya dari Eja. "Sudah Cantik, tidak ada apa-apa kok. Gue ngelatur karena ngantuk sih ini." Malik menguap lebar. "Eleh malah ngantuk, ini mau kerja lhoh." Cantika geleng-geleng kepalanya melihat sikap Malik yang ada aja tingkah yang membuat Cantika tak bisa menahan tawa lebarnya. "Ngantuk beneran deh gue." Malik merentangkan kedua tangannya ke atas dan menguap lebar. Lalu melakukan perenggangan otot-ototnya yang terasa kaku seperti sehabis bangun dari tidur. "Malik sudah deh, serius ini mau kerja lho." Cantika berkacak pinggang dan menatap Malik tajam. "Hahaa iya ya Cantik." Malik berlari kecil karena Cantika seperti bersiap menendang pantatnya. Akhirnya keduanya dan karyawan-karyawan baru yang lain mulai bekerja sesuai dimana mereka ditugaskan. Cantika mulai membersihkan dapur dan juga ada beberapa piring kotor yang akan dicucinya. Dengan telaten Cantika melakukan pekerjaannya meski agak rempong karena harus terbiasa cepat di rumah makan ini. Cantika juga melirik karyawan lain yang sangat hebat dalam mengerjakan tugasnya dan itu membuat Cantika sedikit merasa insecure karena belum pengalaman bekerja dalam bidang ini. 'Sepertinya gue harus lebih banyak belajar biar secepat mereka ngerjain pekerjaan ini'--batin Cantika di dalam hatinya. "Kamu belum ada pengalaman bekerja kah? Pekerjaanmu lumayan lambat." Karyawan yang berdiri di sebelahnya itu mengomentari pekerjaan Cantika yang terlihat lumayan lambat. "Iya mbak, maafkan saya. Saya masih baru dan belum ada pengalaman." "Belum ada pengalaman kok langsung berani bekerja di rumah makan sebesar ini. Ini bukan rumah makan biasa lho ya, jangan samakan rumah makan ini dengan rumah makan kecil di pinggiran jalan." Sepertinya yang menegurnya sekarang bukanlah karyawan biasa dan dia seorang kepala di dapur ini. Nampak jelas seragamnya paling bagus dan berbeda sendiri. Orang itu wanita dengan tubuh gempal dan tinggi. Raut wajahnya tampak garang dan menakutkan. Cantika menunduk dan merasa bersalah setelah mendengar ucapan wanita tersebut. "Iya, Bu." Sejak kedatangan wanita itu dan mempergoki dirinya yang bekerja lumayan lamban membuatnya menghentikan pekerjaannya kemudian menghadap ke wanita tersebut. "Pekerjaan ini harus dilakukan oleh orang-orang yang sudah berpengalaman bahkan ada yang bersekolah. Penting ini kerja di dapur tapi ya jangan lambat begitu dong ah. Rumah makan ini selalu ramai, kalah lambat begini kan piringnya juga bisa kurang. Mikir dong." Wanita sedikit membentak ke Cantika. Cantika mengatur napasnya dan tidak boleh emosi karena harus sadar bahwa ia juga salah. Mungkin kalau Melani berada di posisinya akan menangis dan tidak mau bekerja. Cantika sudah menyiapkan mentalnya ketika ditawarkan bekerja disini dan harus siap mendengar sebuah kritikan dari atasan. Cantika tidak berani menatap wanita itu dan hanya bisa menunduk saja kepalanya. "Oh ya, kamu masih sekolah kan? Tapi kamu harus tau tanggung jawabmu, haduh siapa yang masukin kamu di rumah makan ini sih. Masih sekolah juga bekerja apalagi di rumah makan sebesar ini. Jangan ada alasan tidak masuk bekerja karena kegiatan sekolah, ingat saja ini resikomu memilih bekerja di saat masih sekolah." 'Aduh berat banget sih aturannya, tetap saja acara sekolah juga penting tapi aish'---Cantika sangat membatin permasalahan yang tengah dibicarakan oleh atasannya. "Saya tidak mau tau, kamu harus secepatnya bisa gesit melakukan pekerjaan kantor dan awas saja kalau ceroboh. Biasanya anak muda seperti kamu, masalah di luar kerja dibawa ke pekerjaan dan bisa membuat pekerjaanmu menjadi berantakkan. Masih muda begini sifatnya labil sekali." Wanita itu bernama Lauren, berkacak pinggang dan tatapannya begitu tajam. "Saya berusaha bisa membedakan antara pekerjaan dan sekolah, Bu. Saya siap menerima konsekuensi kedepannya dan hukum saya jika melakukan kesalahan. Saya mohon maaf jika pekerjaan saya masih kurang maksimal dan saya akan terus belajar tanpa henti agar pekerjaan saya semakin terampil serta tidak lamban seperti ini." Cantika berulang kali mengatakan maaf kepada Ibu Lauren. "Iya tidak apa-apa, sana lanjutkan pekerjaanmu! Yang lain juga dan kamu, kamu juga sama seperti Cantika. Lebih giat lagi dong ah kerjaannya!" teriak Lauren kepada semua karyawannya juga ada yang sempat menghentikan pekerjaan mereka sejenak demi menghormati kedatangan Lauren. "Deg deg ser." Cantika mengatur napasnya sambil mengusap dadanya pelan. "Iya, mbak. Saya juga takut." Seseorang tak sengaja mendengar gumaman Cantika dan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Cantika. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN