Cahaya mengepel seluruh lantai di ruangan sang CEO, ia baru saja membersihkan ruangan para staf dan di sini adalah akhir dari pekerjaannya di pagi hari. Cahaya menoleh melihat album foto Erlando yang memegang toga dan sertifikat kelulusan berdampingan dengan kakeknya yang merangkul bahunya.
Cahaya tersenyum, Erlando persis sepertinya, ia hanya memiliki adik dan neneknya ketika wisudanya dulu.
Sesaat kemudian, salah satu staf wanita berambut coklat masuk ke ruangan sang CEO membawa dokumen yang akan di taruhnya di atas meja sang empunya.
Mata wanita berambut coklat itu membulat ketika melihat Cahaya tengah berdiri didekat meja kerja Erlando.
"Eh, kamu ngapain di sini?" tanya wanita itu.
"Oh. Saya sedang mengepel lantai," jawab Cahaya.
Wanita itu bersedekap dan menyunggingkan senyum.
"Yakin mengepel?" tanya wanita itu.
"Iya. Saya memang di tugaskan di sini."
"Lalu kenapa kamu berdiri di situ saja? Kamu tau ruangan ini adalah ruangan yang bisa membuatmu mendapatkan uang, ukiran meja kerja CEO saja adalah emas 24 karat. Apa kamu mau mencuri?"
Cahaya menggelengkan kepala. "Nggak sama sekali, aku nggak mencuri. Aku hanya melihat foto beliau bersama kakeknya."
"Keluar kamu dari sini. Kamu kan yang membuat staf keuangan yang bernama Dara kecelekaan?"
"Bukan saya, semua hanya—"
"Keluar saja kamu dari sini, jangan banyak bicara. Kamu nggak pantes ada di sini," kata wanita itu. "Heran. Kenapa bossmu malah menyuruhmu membereskan ruangan CEO?"
Cahaya lalu keluar dari ruangan Erlando seraya mengangkat ember yang berisi air, ia tak akan bisa melawan apa kata wanita itu, ia bukan seseorang yang memiliki kekuatan, jadi yang bisa ia lakukan adalah diam dan mengalah.
Cahaya berjalan dan di tubruk oleh seseorang, membuat separuh air yang ada di ember tumpah.
"Sorry, ya," kata wanita berambut hitam itu.
"Ayo beresin, jangan diam aja," kata wanita satunya. "Entar ada yang jatoh lagi."
Cahaya menghela napas panjang, tak akan berguna jika ia melawannya, ia bukan siapa-siapa.
Cahaya lalu mengeringkan lantai yang basah itu, sedangkan pagi telah menunjukkan pukul 8, semua staf berbondong-bondong datang, jadi yang ia pel pasti kotor kembali karena orang-orang yang berjalan melintasinya.
Lift terbuka, terlihat Erlando, Damian dan Astrid baru tiba. Erlando memicingkan mata melihat Cahaya masih mengepel lantai yang terus kotor.
Cahaya menatap Erlando dan menghentikan sesaat aktifitasnya. Namun, Erlando berjalan melintasinya dan tidak menegurnya sama sekali.
Memangnya aku siapa? Haha. Lucu sekali, kenapa aku berharap banget boss kejam itu menyapaku dan membantuku. Cahaya membatin.
"Cahaya, kamu bisa beristirahat, nggak usah di beresin bagian sini," kata Astrid.
"Tapi, Kak—"
"Nggak apa-apa. Lagian kamu pasti belum sarapan, 'kan?"
Cahaya menganggukkan kepala.
"Ya sudah. Kamu sarapan dulu."
"Nggak apa-apa di biarin basah kayak gini?"
"Nggak apa-apa, Cahaya. Nanti juga kering sendiri," jawab Astrid membuat Cahaya menganggukkan kepala.
Cahaya lalu berjalan menuju kamar mandi dan membuang air kotor itu, semua pekerjaannya sudah beres di sini, jadi ia bisa sarapan dan beristirahat.
Aku harus meminta boss itu membuatku bisa bekerja sebagai staf. Cahaya membatin.
***
Jennyfer bertepuk tangan ketika melihat peragaan busana yang sudah selesai, semua model yang ia sewa begitu menunjukkan aura dari desain yang ia pamerkan di atas panggung.
"Selamat, Nona Jennyfer," ucap salah satu tamu undangan.
"Terima kasih, Nyonya Laur," jawab Jennyfer mengulurkan tangan menjabat tamunya itu.
"Saya sangat puas dengan peragaan busana yang model Anda tampilkan di atas panggung megah ini, semuanya terlihat sempurna dan saya sangat menantikan peragaan busana Anda selanjutnya."
"Terima kasih, Nyonya, mendapatkan dukungan dari orang-orang penting seperti Anda membuat saya lebih bersemangat."
"Tentu. Kami pasti akan mendukung Anda. Semua ini atas usaha Anda juga, Nona, Anda sudah membuat pasar dunia mengagumi Anda."
Jennyfer tersenyum mendengarkan.
"Dimana peragaan busana Anda selanjutnya?"
"India. Setelah ini, saya dan tim saya akan ke India."
"Wah. Luar biasa. Anda benar-benar berbakat."
Jennyfer tersenyum, dan menganggukkan kepala.
"Kalau begitu ... saya permisi, semoga saja saya bisa ke India untuk menonton peragaan busana Anda selanjutnya."
"Terima kasih sekali lagi, Nyonya."
Nyonya Laur lalu melangkah meninggalkan Jennyfer yang berdiri didepan panggung.
"Shireen!" Panggil Jennyfer pada asistennya.
"Iya, Nona?"
"Berikan ponselku."
Shireen lalu mengambil ponsel atasannya di dalam tasnya, dan memberikannya.
"Lanjutkan semuanya, Shireen, aku harus menelpon Erlando," kata Jennyfer.
"Baik, Nona." Shireen menganggukkan kepala.
Jennyfer lalu keluar dari aula dan mencoba menelpon Erlando. Jennyfer terus tersenyum, dan menaruh ponselnya di samping telinganya.
Beberapa kali Jennyfer menelpon Erlando, namun Erlando tak mengangkat telponnya. Jennyfer sejak kemarin sudah mencoba menelpon kekasihnya itu, namun Erlando terus mengabaikannya.
Sebenarnya, Jennyfer sudah terbiasa di abaikan Erlando ketika lelaki itu sedang marah karena ia pergi tanpa pamit, namun entah mengapa perasaannya sangat gelisah semenjak ia meninggalkan Erlando di Bandung waktu itu.
Jennyfer menghela napas panjang dan berkata, "Mungkin dia sedang sibuk, semoga saja nanti dia menelponku."
Jennyfer lalu kembali ke aula untuk mengatur semua modelnya.
***
Sedangkan Erlando tengah menandatangani semua dokumen yang sudah menumpuk di atas meja kerjanya. Ia terus memilih mengabaikan telpon dari Jennyfer berharap wanita itu akan merasa bersalah dan kembali ke Indonesia secepatnya agar pernikahannya dengan Cahaya tak terjadi.
Suara ketukan pintu terdengar, sesaat kemudian Damian masuk dan membungkukkan badannya.
"Bagaimana pertemuan kita dengan pihak KL?" tanya Erlando.
"Mereka menunda pertemuan, Tuan, mereka sedang ada proyek di luar negeri jadi baru bisa bertemu dengan Anda di pekan depan," jawab Damian.
"Baiklah. Tidak masalah," kata Erlando.
"Tuan."
"Hem? Ada apa?"
"Tuan besar sudah menyewa beberapa orang untuk menyiapkan pernikahan Anda."
"Wah. Grandpa gerak cepat juga."
"Nona Bella juga membantu."
"Baiklah."
"Dan—"
"Dan apa?"
"Cahaya memintaku memberitahu Anda agar ia dipekerjakan sebagai staf."
"Wah. Wanita itu ternyata serakah juga. Dia sepertinya mau melakukan apa pun."
"Bagaimana, Tuan?"
"Serahkan saja CV miliknya pada HRD, nanti HRD yang akan memutuskan."
"Baik, Tuan, kebetulan dia seorang sarjana."
"Oh. Wanita itu sarjana?"
Damian menganggukkan kepala.
"Ya sudah. Lanjutkan pekerjaanmu, karena jadwalku hari ini di kantor saja, aku akan mencoba mengerjakan pekerjaanku yang tertunda. Kamu bisa menghadiri rapat."
"Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi." Damian lalu melangkah meninggalkan atasannya.
Erlando lalu bersandar di kursi kebesarannya dan menghadap ke dinding kaca yang memperlihatkan kota Jakarta yang begitu padat akan penduduk. Semuanya seperti lukisan yang begitu indah.
Erlando memijat pelipis matanya. Meski memiliki segalanya, namun kehidupan cintanya tidak berjalan sesuai apa yang ia inginkan.
Pada akhirnya, ia akan menikah dengan wanita yang tidak ia cintai.
.
.
Bersambung.