Sista menghampiri Cahaya yang tengah mengepel lantai, lalu memegang kuat lengannya. Cahaya menoleh ketika merasakan genggaman kuat ditangannya.
"Ada apa ini?" tanya Cahaya, membuat Sista menyeringai.
"Enak banget ya lo, masih kerja di sini," kata Sista.
"Lepasin nggak," kata Cahaya menghempaskan tangan Sista.
"Lo itu nggak pantas kerja di sini."
"Kamu marah karena masalah Mbak Dara kemaren? Aku sama Mbak Dara udah damai loh," kata Cahaya.
"Meski lo sama Dara udah damai, tapi bagi gue, lo wanita yang nggak ada hati sama sekali."
Kaila hendak melangkah, namun langkah kakinya terhenti ketika melihat perdebatan antara Cahaya dan Sista. Kaila menyeringai mengerikan dan memperhatikan dari jauh.
"Kalau lo ada hati, lo harusnya jangan kerja di sini."
"Emang kamu siapa melarangku?"
"Berani ya lo sama gue," kata Sista menampar Cahaya, membuat wajah wanita itu memerah.
"Ada apa, Sis?" tanya Kaila, menghampiri Sista.
"Ini si tukang bersih-bersih, kerja di sini belagu banget," jawab Sista, bersedekap.
Cahaya memalingkan wajah, ia masih sangat marah pada Kaila yang sudah menjebaknya kemarin.
"Nggak usah diladenin, Sis, ayo kita pergi. Ngeladenin dia kan nggak untung banget," kata Kaila.
"Iya, Kai, ayo," kata Sista, lalu menubruk bahu Cahaya yang tengah menghela napas panjang dan tidak mau melihat ke arah Kaila.
Cahaya duduk didekat tangga dan menyeka keringatnya. Bagaimana ia tak bersikap serakah pada Erlando, jika Erlando bisa mengeluarkannya dari keterpurukan ini. Terlalu banyak yang tidak suka padanya, dan terlalu banyak orang yang memamerkan apa yang mereka miliki pada dirinya.
Ponsel Cahaya terdengar, membuatnya merogoh kantung celananya dan melihat nomor yang tak dikenal, Cahaya terus memerhatikan layar ponselnya, takutnya Kang Jamil yang menelponnya.
Cahaya berdeham beberapa kali, dan mengangkat telpon tersebut, siapatahu saja panggilan kerja untuknya.
'Ya?'
'Cahaya?'
'Iya. Saya sendiri. Siapa ini?'
'Aku ... Bella.'
'Bella?'
'Sepupu jauh Erlando.'
'Eh iya. Ada apa, Bella?'
'Grandpa memercayakan padaku untuk menyiapkan pernikahanmu. Kapan kamu ada waktu?'
'Saya bekerja dipagi hari dan akan pulang dimalam hari.'
'Minggu saja. Bagaimana?'
'Baiklah. Saya bisa.'
'Aku akan mengirimkan alamat tempat kita akan bertemu.'
'Iya.'
'Oke.' Bella lalu memutuskan sambungan telponnya.
Cahaya pikir ia akan mendapatkan panggilan kerja yang lain, nyatanya tidak.
Suara ponsel Cahaya kembali berdering, ia kembali melihat layar ponselnya dan lagi-lagi nomor yang tidak dikenal.
'Iya. Ada apa lagi, Bella?' tanya Cahaya membuat Kang Jamil berdeham di seberang telpon. 'Kang Jamil?'
'Ya. Ini aku.'
'Kan aku sudah janji akan membayar Kang Jamil akhir bulan ini.'
'Hutangmu sudah lunas, Cahaya. Sayang sekali kita nggak jadi nikah, padahal aku berharap banget kamu bisa jadi istri keduaku.'
'Hutangku sudah lunas?'
'Ya. Seseorang kemari dan membayarkan seluruh hutangmu. Siapa dia? Kekasihmu? Lalu apa yang kau kerjakan di Jakarta. Kenapa uangmu banyak? Kamu tidak menjual diri, 'kan?'
'Jaga omonganmu, Kang, aku nggak jual diri di sini, dan orang yang membayarkan hutangku adalah bossku.'
'Atau jangan-jangan kamu menjadi simpanan duda kaya?'
'Udah ya, Kang, karena hutangku udah lunas, nggak usah telpon aku lagi. Kita sudah selesai. Dan, jangan pernah mengganggu keluargaku.'
Cahaya memutuskan sambungan telpon dengan helaan napas lega, akhirnya Erlando menepati janjinya akan membayarkan hutangnya pada Kang Jamil. Awalnya, Cahaya akan meminta bayaran dari jasanya ketika ia sudah menikah, namun nyatanya Erlando menepatinya sebelum mereka menikah.
Cahaya tersenyum, akhirnya hutangnya lunas pada Kang Jamil.
***
Erlando menjabat tangan seorang lelaki bersetelan jas mahal, seorang lelaki yang datang mengunjungi kantornya dan membawa proposal. Erlando sedang mengembangkan bisnisnya di dunia investasi, jadi ia menerima setiap proposal yang menunjukkan proyek yang bernilai triliun rupiah.
Erlando memang pria yang berbakat dalam dunia bisnis, bahkan namanya melambung tinggi di dalam dan luar negeri. Setiap apa yang ia kerjakan pasti akan ia dapatkan dan membawa keuntungan besar. Semua koleganya berbondong-bondong mendekati Erlando dan menjabat tangan tersebut.
"Terima kasih, Mr, saya akan menunggu kabar dari Anda," kata lelaki itu.
"Tentu. Setelah saya mempelajari proposal Anda ini, saya pasti akan mengabari Anda."
"Baiklah. Kalau begitu saya permisi."
Erlando menganggukkan kepala dan menemani lelaki itu sampai didepan pintu.
Erlando hendak kembali masuk ke ruangannya ketika ia sudah melihat Tuan Abira meninggalkan ruangannya, namun langkahnya terhenti ketika melihat Cahaya tengah mengepel lantai, sesekali melap keringatnya.
Pekerjaan Cahaya memang sangat berat, dan pekerjaan itu tidak sesuai dengan ijazah sarjana yang Cahaya pegang saat ini. Harusnya ia duduk di depan komputer, dan mengerjakan laporan, namun nyatanya tidak sesuai ekspetasinya.
Erlando memperhatikan dari jauh, Cahaya terlihat ngos-ngosan.
"Tuan, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya Astird melihat atasannya berdiri didepan mejanya. "Atau saya panggilkan Cahaya?"
Erlando menggelengkan kepala. "Damian sudah kembali?"
"Pak Damian sedang rapat, dan kemungkinan selesai jam 2."
"Ya sudah. Pesankan aku makanan dari restoran Jingga."
"Apa makanan seperti biasa?"
"Jangan. Beritahukan untuk menyajikan makanan rumahan. Seperti nasi goreng terasi dan telur, atau lauk lainnya."
Astrid mengedipkan matanya beberapa kali mendengar pesanan atasannya. Nasi goreng terasi yang menjadi daftar menu makanan CEO saat ini, ketika Erlando mencoba memakan nasi goreng buatan Cahaya, Erlando seperti tersihir dan mulai menyukai makanan seperti itu.
Erlando lalu kembali masuk ke ruangannya lalu duduk di sofa, siang ini jadwalnya selesai, dan jadwalnya akan mulai sore hari hingga malam hari.
Erlando memijat pelipis matanya dan mengambil ponselnya yang ada di atas sofa, ia melihat empat panggilan tak terjawab dari Jennyfer. Erlando malas jika harus berdebat lagi dengan kekasihnya, ia hanya berharap Jennyfer kembali dan menikah dengannya.
Cahaya merasakan perutnya keroncongan, bunyi halus perutnya terdengar, ia mengelus perut ratanya karena jam makan siang sudah hampir lewat, namun pekerjaannya belum selesai.
"Cahaya, kamu sudah makan?" tanya salah satu staf CEO.
Cahaya menggelengkan kepala.
"Ya sudah. Kamu makan roti punyaku saja."
"Eh nggak usah. Aku bisa nahan lapar kok, bentar lagi kerjaanku selesai dan aku bisa makan siang."
"Nggak apa-apa, Cahaya, kemarin kamu membantuku membuat laporan, jadi ini balasan dariku," kata Dena.
"Tapi, Mbak—"
"Nggak apa-apa ambil aja, roti ini bisa mengganjal perutmu yang lapar."
"Makasih banget ya, Mbak, aku terima."
"Eh iya, jangan panggil Mbak, panggil saja Dena."
"Baiklah, Dena. Terima kasih banget."
"Iya sama-sama. Aku masuk dulu ya."
"Kamu nggak makan siang?" tanya Cahaya.
"Aku diet, jadi tadi sudah makan roti setengah, dan aku udah kenyang," jawab Dena. "Ya udah. Kamu makan ya, kasihan perutmu udah bunyi sejak tadi."
"Sekali lagi terima kasih, ya," ucap Cahaya.
"Hem sama-sama." Dena lalu masuk kembali ke ruangan staf.
"Ternyata masih ada yang baik banget sama aku." Cahaya bergumam lalu melihat isi kotak yang diberikan Dena, dan melihat dua potong sandwich ada didalamnya.
.
.
Bersambung.