Bab 05

1596 Kata
"Mbak, pasien yang bersama saya semalam ke mana, ya?" tanya Fatih kepada Mira yang baru saja memeriksa salah satu pasien di sana. Sekembalinya Fatih dari Mushalla di belakang klinik, ia tidak mendapati Nurul di pembaringannya. Sekeliling ruangan sudah ia cari, namun sosok gadis yang menarik perhatiannya tidak jua ia temukan. Akhirnya ia bertanya kepada salah satu perawat yang ada di sana. "Oh, istri Bapak, ya? Dia sudah pulang sejak subuh tadi. Saya kira Bapak sudah tahu," sahut Mira sambil memasukkan tensimeter ke dalam saku bajunya. Fatih semakin bingung dengan jawaban Mira. Istri dari mana sedangkan ia belum pernah menikah sekali pun. Setelah mengucapkan terima kasih, ia langsung beranjak dari sana, dan sebelum pulang ia akan melihat Murni terlebih dahulu. "Hahaha...." terdengar suara tawa di ruangan Murni dirawat. Fatih yang sudah berada di depan pintu mengintip sedikit. Di dalam sana ia melihat seorang wanita sedang mengupas buah dan seorang lelaki berdiri di dekat jendela. Tampaknya mereka adalah salah satu keluarganya. "Permisi...." Fatih membuka pintu pelan lalu masuk ke dalam. Ia tersenyum kepada keduanya dan menunduk hormat. "Maaf, Pak, Bu, mengganggu, saya hanya ingin menjenguk Murni sebentar. Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Fatih langsung pada Murni yang sedang berbaring di atas tempat tidur. Wajahnya masih terlihat lebam, namun sudah agak samar akibat penganiayaan semalam. "Aku sudah baikan, hanya perih sedikit di sini karena tamparan semalam." Murni mengelus pipinya yang masih terasa perih. "Syukurlah, semoga kau cepat pulih kembali. Saya permisi pulang dulu, Pak, Bu," pamit Fatih pada ketiganya. Setelah Fatih keluar dan menghilang dari balik pintu, Imran, paman Murni bertanya padanya siapa lelaki itu. Kemudian Murni menjawab kalau ia juga tidak mengenalinya, hanya saja lelaki itu yang telah menolongnya semalam sehingga dirinya tidak menjadi korban p*********n yang sedang merebak saat ini di wilayah tempat tinggalnya. @@@ Fatih berjalan cepat menuju kediaman Nurul, ia masih mencemaskannya. Sebelum ia melihat sendiri kondisi gadis itu, ia tidak berpuas hati, masih saja rasa khawatir bercokol di hatinya. Sudah satu jam lebih ia menunggu namun, sosok yang di tunggu belum jua tampak batang hidungnya. "Kemana, dia? Apa jangan-jangan dia tidak pulang?" gumamnya seraya bangkit dan beranjak melihat sekeliling rumah gadis berhidung bangir itu. Berbeda dengan Fatih yang digeluti rasa cemas di hatinya, gadis yang sedari tadi di tunggu malah sedang sibuk bekerja. Setelah pulang dan shalat subuh di rumah, Nurul langsung bersiap-siap kembali bekerja. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat, hari ini ia dapat shift pagi. Ia akan membayar kembali uang yang telah Fatih keluarkan untuknya, ia tidak mau berhutang budi pada orang lain, terlebih orang itu seseorang yang baru sehari ia kenal, itu pun karena ketidaksengajaan. "Mak, Mak, ini, tolong bawa ke meja nomor 17," perintah salah satu rekan kerjanya. Nurul hanya menerima tanpa membantah. Memang, di tempat kerja ia selalu dipanggil dengan sebutan itu. Walau hati tidak menerima, namun apalah daya ia hanya seorang karyawan magang yang tidak punya kekuatan apalagi kekuasaan. Setelah nampan berisi makanan beralih ke tangannya, ia langsung melangkan menuju di mana meja nomor 17 berada. Di sana tampak duduk seorang lelaki berperawakan besar dan gagah dengan kacamata berframe hitam menghiasi wajahnya yang menurutnya lumayan tampan. Lelaki itu terlihat sangat sibuk dengan ponsel di genggamannya. Nurul mendekat dan menata makanan serta minuman di atas meja seraya berkata, "silakan, Pak! Semoga menunya memuaskan Bapak, ya." Lelaki itu mendongak, fokusnya teralih lalu ia menatap wanita yang ada di depannya dengan sorot mata tajam. Nurul yang ditatap seperti itu berusaha menetralkan jantungnya yang berdegup kencang. Ia mencoba tersenyum ramah dan berkata lagi, "selamat menikmati." Kemudian ia undur diri dengan membungkukkan setengah badannya. Lelaki itu hanya diam dan menatap kepergian wanita gendut di depannya tadi. Baru kali ini ada yang tersenyum ramah padanya, sungguh ia tidak menduga. Setelah wanita itu hilang dari pandangannya, lelaki itu kemudian meletakkan ponsel yang di genggamnya tadi ke atas meja lalu mulai menikmati sarapan pagi yang sudah tidak bisa di katakan pagi lagi karena jam sudah menunjukkan angka sebelas siang. Ting! Baru saja ia menyuapkan sesendok nasi, terdengar tanda pesan masuk dari ponselnya. Ia melihat sejenak dan ternyata itu pesan dari anak buahnya yang bernama Mike. From : Mike Bos, kami sudah tahu di mana gadis itu sekarang. Saat ini dia sedang dirawat di klinik yang tidak jauh dari rumahnya. Apa yang harus kami lakukan sekarang, Bos? Lelaki itu menghela napas berat. Perasaan benci dan rasa sakit itu kini kembali hadir. Benar-benar mengacaukan mood-nya saja, bahkan ia belum selesai menghabiskan sarapannya. "Hhuufft...!" sekali lagi ia menghela napasnya secara kasar. Nurul yang sedari tadi mengamati pelanggan yang duduk di meja nomor 17 mengernyit penasaran. Ia mencolek bahu salah satu teman yang dekat dengannya setelah Murni. "Pid, kau kenal tidak sama lelaki yang duduk di meja nomor 17?" "Kenapa emang?" "Ah ... tidak apa-apa, hanya penasaran saja, apalagi dengan tatapannya itu terkesan dingin," bisik Nurul pelan. "Oh, dia itu salah satu pelanggan di sini. Dia memang terkenal dingin, dengar-dengar dia itu Bos Mafia. Apakah benar atau tidak, aku juga tidak tahu," balas temannya yang bernama Pidah dengan berbisik juga, ia tidak mau ada yang mencuri dengar perkataannya, bisa-bisa ia menjadi korban selanjutnya. Memikirkan itu, Pidah bergidik ngeri kemudian masuk ke dapur untuk mengambil kembali pesanan. Nurul yang di tinggal sendiri, diam dan merenungi kembali perkataan temannya itu. Ia ragu kalau lelaki itu adalah Bos Mafia. Itu tidak mungkin karena ia bisa melihat aura kesepian dari matanya. Ah, untuk apa juga ia memikirkannya, lebih baik ia bekerja dengan giat lagi supaya kinerjanya tidak dipandang remeh. "Mbak...!" Nurul menoleh saat ia mendengar seruan dari lelaki yang duduk di meja nomor 17 tadi. Lelaki itu melambaikan tangan memanggilnya yang sedang membersihkan salah satu meja yang baru ditinggal pembeli. "Tolong buatkan aku secangkir kopi!" Pinta lelaki itu datar. Nurul mengangguk dan berlalu dari hadapannya. Selang satu menit kemudian ia membawa secangkir kopi dan meletakkannya di meja pria itu seraya berkata, "ini Pak, kopinya." setelahnya ia akan berbalik tetapi tertahan karena suara pria itu melarangnya pergi dulu. "Tunggu! Tunggu dulu, setelah aku menyicipi kopi ini baru kau boleh pergi!" perintahnya pada Nurul. Kemudian pria itu menyesap kopinya pelan, lagi dan lagi lalu ia manggut-manggut dan tersenyum, baru kali ini ia merasakan kopi senikmat ini. Tidak! Bukan! Yang benar adalah ini kali kedua ia merasakan kopi senikmat ini setelah lima belas tahun lamanya. Matanya kini menatap wanita di depannya. Ia menelisik dari atas sampai ke bawah kemudian dari bawah ke atas lagi. Nurul yang ditatap seperti itu sudah ketar-ketir dibuatnya. Apa ada yang salah sehingga lelaki yang duduk di depannya ini menatapnya seperti singa yang akan memangsa buruannya? "Siapa namamu?" Tiba-tiba pria berperawakan besar lagi gagah itu menanyakan namanya. "Nu ... Nu ... Nurul, P... Pak," jawabnya tergagap-gagap. "Apa kopinya tidak enak?" Dengan segenap keberanian ia bertanya kepada lelaki itu. Sang pria yang ditanya seperti itu menahan senyumannya supaya tidak terlihat oleh orang lain. "Hmmm...." Pria tersebut hanya menjawabnya singkat dengan berdeham. Kemudian ia mengibaskan tangannya supaya wanita gembil di depannya pergi dari sana. Nurul pun berlalu tanpa menoleh lagi. Walau hati dan pikirannya bertanya-tanya akan sikap lelaki itu terhadapnya. @@@ Sampai sore Fatih dibuat kalang kabut oleh Nurul karena tidak adanya berita dari gadis itu hingga sekarang. Di rumah, ia tidak leluasa dalam melakukan hal apapun. Ia kesal sendiri. Baiklah, setelah shalat ashar nanti ia akan ke rumah gadis itu lagi. Ada atau tidak, ia akan menunggu bahkan sampai malam pun ia akan tetap menunggu. Tekadnya dalam hati. Dalam perjalanannya menuju ke rumah Nurul, Fatih mendapatkan telepon dari kantor pusat. "Halo...!" "Bagaimana keadaanmu di sana? Apa kau sudah mendapatkan informasinya? Kami beri waktu kau selama tiga hari ini, kalau kau belum juga mendapatkannya, maka kami akan mengutus satu orang lagi untuk menemanimu di sana, bagaimana? Apa kau setuju dengan usulanku?" Suara di seberang sana langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. "Kenapa bukan sekarang saja kau utus orang itu agar aku tidak kesepian di sini, Han? Sepertinya aku harus mencari hiburan kalau kau selalu menekanku seperti ini," ucapnya asal. "Maaf, maaf, okey! Aku tidak akan mengganggumu lagi. Hahaha...!" kekehan di balik ponsel yang ia genggam membuat senyuman terbit di wajahnya. Rasa kalut karena mengkhawatirkan Nurul perlahan memudar hanya karena mendengar gurauan sahabatnya. "Baiklah Farhan, kau baik-baik di sana, aku harus bergegas, sudah, ya...!" Klik! Fatih memutuskan hubungan secara sepihak. Kalau berlama-lama ia meladeni si Farhan, sampai nanti pun Farhan tidak akan merasa puas mengusilinya. Ia tahu, Farhan tidak serius dengan ucapannya tadi karena sebelum ia ke sini, ia sudah merencanakan segala sesuatu secara matang dengan atasan mereka. Tanpa ia sadari ternyata ia sudah melewati rumah yang akan ia tuju. Akhirnya ia berbalik arah lagi dan melanjutkan tujuannya. @@@ Nurul baru saja tiba dan melihat seorang pria duduk sambil memainkan smartphone-nya dengan serius. Ia mengamati lekat-lekat siapa sosok itu, begitu ia yakin kalau yang dilihatnya adalah lelaki yang bersamanya semalam, langsung membuat jantungnya jatuh bagaikan ia baru saja menaiki Wahana Halilintar yang ada di Dufan. "Aduh, bagaimana ini? Kenapa dia ada di rumahku?" gumamnya. Ia melihat ke kiri dan ke kanan mencari tempat persembunyian, namun tidak jua ia temukan, akhirnya ia berbalik dan bersembunyi di belakang salah satu gerobak bekas yang terlihat di matanya. Ia menghirup dan mengembuskan napasnya berulang kali secara perlahan-lahan. Ia ingin menetralkan kembali detakan jantung yang tiba-tiba berpacu dengan cepat sesaat tadi. Ia terlalu fokus sehingga tidak menyadari sosok yang sedang ia hindari sudah berdiri anteng di belakangnya dengan menahan senyuman. Kedua tangan lelaki itu ia masukkan ke dalam saku celananya. Dengan langkah pelan ia mendekat dan berkata, "Sedang apa kau di situ? Apa ada yang hilang sehingga kau menunduk seperti itu? Atau jangan-jangan kau sedang menghindari seseorang, apa saya benar?" Deg!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN