Party kelulusan
Dhira menatap dirinya di depan cermin. Wajah cantik dan anggunnya itu akan membuat siapa saja yang melihatnya terpesona. Sentuhan terakhir, Dhira mengoleskan sedikit lip tint di bibir tipisnya. Setelah selesai dengan make up nya, Dhira pun bangkit dari duduknya dan mengambil tas sandang miliknya. Hari ini ia berniat untuk berkumpul dengan teman-temannya. Merayakan kelulusan dirinya.
Langkah Dhira pun menuju keluar kamar. Ia menuruni anak tangga untuk bisa keluar dari rumah. Dhira memberikan senyuman manisnya ketika melihat sang mama dan papanya yang sedang duduk di ruang tamu.
Sebelum pergi, tak lupa Dhira terlebih dahulu berpamitan kepada kedua orang tuanya itu. Walaupun sebenarnya ia sudah meminta izin sebelumnya.
"Jadi perginya?" tanya mama Dhira dengan nada lembut.
"Jadi dong ma. Mama gak lihat aku udah dandan cantik begini juga," jawab Dhira.
"Ya udah.. hati-hati di sana. Jangan pulang terlalu malam. Biarpun kamu udah besar, kamu juga harus jaga diri. Ingat kejahatan itu ada di mana-mana."
Dhira hanya menganggukkan kepalanya mendengar nasehat sang mama. Sudah sangat sering sekali ia mendengar nasehat mamanya yag itu-itu saja. Padahal umur Dhira sudah cukup untuk menikmati masa-masa dewasa yang dilakukan oleh banyak orang di luar sana. Tapi selama Dhira tinggal dengan mama dan papa nya ini, ia sangat jarang menikmati kehidupan bebasnya. Walupun semua keinginan Dhira selalu dituruti oleh orang tuanya, Dhira masih tetap di batasi. Dhira tidak pernah kemanapun sendirian, setidaknya pak Mulyo yang merupakan sopir pribadi kepercayaan keluarga Dhira akan selalu menemani Dhira kemanapun itu.
"Pakaian kamu terlalu terbuka, Dhira." Kali ini papa mulai membuka suara. Dhira yang mendengar itu seketika memasang wajah cemberut. Ia sudah menduga akan hal ini. Pasti akan ada yang mengomentari mengenai pakaian Dhira.
"Pa.." Dhira mencoba untuk memasang wajah imutnya. Berharap sang papa tidak akan menyuruhnya untuk berganti pakaian.
Papa Dhira menghela napas panjang. "Khusus hari ini papa izinkan kamu untuk pakai pakaian yang kekurangan bahan itu," putus sang papa. Senyuman di wajah Dhira seketika merekah. Ia mengecup singkat pipi papa dan mamanya. "Makasih pa. AKu berangkat dulu, bye! Jangan tunggu aku pulang ya.. tidur duluan aja," ucap Dhira sembari berjalan meninggalkan kedua orangtuanya yang hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Dhira.
Dhira membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Ia menatap pak Mulyo dari kaca spion depan. "Udah siap party sama saya pak?" tanya Dhira dengan nada bercanda.
"Waduh non.. saya mah nanti duduk aja sambil jagain non Dhira. Mana bisa saya party-party gitu," jawab pak Mulyo.
"Setidaknya pak Mulyo harus joget nanti. Sekali-kali loh pak joget di party saya. Atau nanti pak Mulyo minum-minum aja? Pak Mulyo belum pernah kan minum Vodka?"
"Kalau saya minum nanti yang bawa mobil siapa non?" Dhira menganggukkan kepalanya. Dia sampai lupa akan hal itu. Mobil pun mulai berjalan meninggalkan pekarangan rumah. Tak lupa Dhira segera menghubungi teman-temannya kalau ia akan segera menuju tempat yang sudah acara.
***
"Ini dia bintangnya!" sahut teman-teman Dhira ketika ia baru masuk ke dalam bar. Sambutan meriah di dapat oleh Dhira. Dhira tertawa melihat sambutan yang diberikan untuknya. Suara musik yang besar mulai terdengar. Lampu bar yang tidak terlalu terang menambah suasana menjadi pecah.
Teman wanita Dhira memberikan segelas wine untuk Dhira. Dengan santai ia menerima gelas tersebut dan meminumnya. Suasa sorakan sekali lagi mulai terdengar. Suasana hati Dhira seketika berubah. Ia sangat menikmati suasana yang ada saat ini.
Dhira berjalan menuju salah satu sofa yang tersedia. Ia duduk di sofa tersebut sembari tertawa ketika melihat beberapa temannya yang membuat lelucon.
"Jadi setelah ini lo langsung kerja di perusahaan bokap lo?" tanya Risya, salah satu teman dekat Dhira.
"Enggak lah.. Ngapain gue kerja di sana? Gue mau cari kerja dengan usaha gue sendiri. Kalau ujung-ujungnya gue tetap kerja di perusahaan bokap gue, untuk apa gue kuliah. Tamat sma aja mungkin gue udah bisa di sana kali, gak perlu sampai kuliah gini."
Dhira memang tidak pernah berniat untuk bekerja ataupun meneruskan perusahaan keluarganya. Ia tidak ingin melanjutkan usaha yang sudah dibangun sukses oleh papanya itu. Dhira ingin membangun usahanya sendiri, walaupun itu akan memakan waktu lama pastinya.
"Gak mungkin lah. Lo kan anak tunggal, Dhira. Kalau bukan lo siapa lagi yang akan ngurusin perusahaan papa lo?" tanya Risya lagi. Kali ini Dhira diam. Dia masih belum memikirkan hal itu.
Risya yang menyadari kediaman Dhira hanya tertawa. Ia pun menepuk pundak Dhira dua kali. "Udah gak usah mikirin itu. Sekarang kita senang-senang aja dulu. Hari ini kan hari lo, jadi nikmati party yang udah disiapin untuk Lo!" Ucap Risya sembari mengangkat gelas wine miliknya.
Wajah Dhira perlahan mulai menampakkan senyuman. Ia pun ikut mengangkat kelasnya dan menyentuhkan gelas miliknya ke gelas Risya.
"Cheers!" Teriak mereka berdua.
Suasana di club tersebut perlahan kembali seperti keinginan Dhira. Setelah Dhira rasa cukup untuk duduk, ia pun bangkit dari sofa dan mulai berjalan ke lantai dance. Pinggul Dhira perlahan mulai ia goyangkan diikuti dengan tangan dan anggota tubuh lainnya.
Teriakkan dan tepuk tangan mulai ia dengar. Tetapi Dhira malah semakin menikmati tariannya itu. Risya tak lepas dari samping Dhira. Ia ikut menikmati musik DJ yang bergema di club ini.
Tak lupa pak Mulyo yang sedang duduk di depan bartender. Pandangannya tak luput dari Dhira.
"Silahkan pak."
Seorang bartender menyerahkan jus jeruk kepada pak Mulyo. Tanpa menjawab, pak Mulyo mulai meminum jus jeruknya dengan perlahan sembari menatap Dhira dari kejauhan.
"Lihat tuh.. sih Angga masih aja belum move on dari Lo," ucap Risya sembari menunjuk ke arah pria yang sedang duduk tetapi menatap Dhira.
Dhira hanya memutarkan matanya malas. Jika berurusan dengan Angga, mood Dhira seketika berubah total.
Tanpa menatap ke arah Angga, Dhira kembali menikmati tariannya. "Gak perduli lagi gue sama dia," jawab Dhira dengan sedikit sewot. Risya tertawa mendengar jawaban Dhira. Ia sangat tau bagaimana dulu Dhira yang menangis ketika berpisah dengan Angga.
"Gue rasa kalau dia gak milih untuk pergi ke Aussie Lo masih berhubungan baik sama dia. Atau mungkin kalian akan tunangan?"
Dhira diam mendengar pertanyaan Risya. Memang dulu hubungannya dengan Angga berjalan sangat baik. Angga bahkan sudah beberapa kali membawa Dhira bertemu dengan keluarganya. Dan Dhira selalu diterima baik di dalam keluarga Angga.
Mereka juga sudah membicarakan hubungan mereka untuk masuk ke jenjang yang lebih serius lagi. Tapi semuanya berubah ketika Angga berkata akan melanjutkan perusahaan papanya di Aussie. Dia memang mengajak Dhira untuk pergi dengannya. Tapi dengan tegas Dhira menolak ajakan itu.
Dhira sudah sangat bosan berada di negara barat itu. Pasalnya dari SMP Dira sudah bersekolah di sana. Karena dia kuliah lah baru Dhira memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Itupun Dhira harus memohon dengan sangat kepada kedua orang tuanya.
Keputusan mereka berdua yang berbeda itulah menjadi penyebab berakhirnya hubungan mereka.
"Padahal kalau Lo nikah sama Angga kan nanti anak Lo ada gen bule-bule nya gitu, Dhir."
"Nanti gue cari yang lebih bule dari Angga."
Tawa Risya semakin besar ketika mendengar perkataan Dhira. Dhira memang sangat diluar lanar.
Setelah lelah menari, Dhira memutuskan untuk duduk di sofa sembari melihat Risya yang masih powerful menari. Sesekali Dhira tertawa melihat tarian Risya yang tidak jelas.
"Risya gak pernah berubah ya," ucap seorang pria yang kini sudah duduk di samping Dhira. Dhira bahkan tidak menyadari jika pria itu sudah berada di sampingnya.
"Iya.. kan cuman kamu yang tiba-tiba berubah," balas Dhira dengan sedikit ketus. Entah mengapa setiap berbicara dengan Angga, Dhira selalu merasa emosi.
Angga tertawa mendengar balasan Dhira. Dia meminum vodkanya sekaligus. Setelahnya Angga meletakkan gelasnya di atas meja dan bersandar di sofa.
"Aku gak berubah kok. Emang dari awal ini mimpi aku. Maaf kalau aku enggak pernah cerita mengenai mimpi-mimpi aku, Dhir. Tapi sebenarnya, aku masih sangat berharap kamu bisa menerima mimpi aku dan kita akan tetap bisa bersama," ucap Angga dengan nada rendahnya. Suara serak Angga itu sangat Dhira rindukan.
"Mimpi kita beda, Nga. Mungkin karena itu kita enggak bisa bersama."
Dhira sama sekali tidak berani untuk menatap mata Angga. Ia takut akan merasa hal yang lama itu lagi.
"Sebenarnya kita masih bisa bersama, Dhir. Kalau salah satu diantara kita mau mengalah. Tapi sayangnya.. tidak ada yang mau mengalah. Keegoisan kita ini yang menjadi masalahnya."
Angga menyentuh tangan Dhira dan menggenggam tangan Dhira. Dhira sama sekali tidak menolak genggaman tangan Angga. Suara musik DJ yang sangat berisik tiba-tiba terasa hening untuk Dhira dan Angga.
Perlahan Dhira memberanikan diri untuk menoleh kearah Angga. Menatap wajah Angga yang tersenyum lembut kepadanya. Tetapi Dhira dapat melihat tatapan sedih dan kecewa dari mata Angga.
"Selamat sudah lulus kuliah, Dhir. Selamat untuk menjalani kehidupan kamu selanjutnya tanpa kehadiran aku. Lusa aku akan berangkat. Aku tau kamu mungkin enggak akan hadir untuk mengantar aku, karena itu aku ingin mengatakannya sekarang."
Angga mengelus lembut rambut panjang Dhira yang terurai. "Suatu hari nanti, jikalau ada pria lain yang membuat kamu jatuh cinta, aku harap pria itu akan memperlakukan kamu dengan baik. Aku juga sangat berharap kamu bisa hidup bahagia dengan pria lain walaupun pria itu bukan aku. Tapi sebelum itu, kamu harus tau. Aku akan tetap mencintai kamu Dhira. Walaupun nanti akan hadir seorang wanita yang membuat nama kamu tergantikan. Tetapi kamu akan tetap ada di hati aku."
Dhira tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun sekarang. Ia hanya diam mendengarkan semua perkataan Angga sembari menahan air matanya agar tidak jatuh.
Angga mendekatkan wajahnya ke wajah Dhira. Ia mengecup lembut kening Dhira.
"Ciuman perpisahan dari aku," ucap Angga. Setelah mengatakan itu, Angga bangkit dari duduknya dan berjalan pergi meninggalkan Dhira sendiri.
***
"Udah saya bilang non jangan banyak minumnya." Pak Mulyo membopong tubuh Dhira yang sudah sempoyongan itu.
Ia berjalan membawa Dhira menuju kamarnya. Suasana rumah sudah sangat sepi. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Kalau saja pak Mulyo tidak memaksa Dhira untuk pulang, Dhira tidak akan mau untuk kembali pulang. Dia akan lebih memilih untuk menikmati waktunya bersama teman-temannya yang sudah tidak sadarkan diri itu.
Bahkan ada sebagian yang sudah terkapar dan tidur di sofa club. Pak Mulyo tidak habis pikir dengan pergaulan Dhira. Bagaimana bisa Dhira mengenal orang-orang seperti itu. Dan apakah orang tua mereka tau tentang anaknya yang bergaul seperti itu?
Terkadang Pak Mulyo merasa sangat bersyukur menjadi orang yang sederhana. Anak-anaknya jadi tidak mengenal lingkungan seperti Dhira ini.
"Pak.. saya tuh masih mau minum lagi!!" Ucap Dhira sambil meracau.
"Besok lagi ya non. Sekarang lebih baik non Dhira istirahat," jawab pak Mulyo.
"Bartender.. wine nya satu lagi!!" Teriak Dhira dengan suara cemprengnya. Pak Mulyo melebarkan kedua matanya mendengar teriakkan dari Dhira. Ia takut kedua orang tua Dhira akan terbangun karena teriakkan Dhira.
Dengan langkah lebar, pak Mulyo mempercepat langkahnya agar Dhira segera masuk ke dalam kamar.
Sesampainya di depan kamar Dhira, pak Mulyo membuka pintu kamar dan masuk ke dalam kamar. Ia menidurkan tubuh Dhira di atas kasur. Setelah itu, pak Mulyo berjalan pergi meninggalkan Dhira. Ia kembali menutup pintu kamar Dhira dan berjalan menuju lantai bawah.
Belum sampai pak Mulyo mencapai tangga, kedua majikannya itu sudah berada di depan nya dengan pakaian tidurnya itu.
"Dhira mabuk berat pak?" Tanya Lisa, mama Dhira dengan nada sedikit khawatir. Sebenarnya dia sudah tau jawaban yang akan dilontarkan pak Mulyo. Hanya saja ia ingin kembali memastikan tebakannya itu.
"Iya nyonya. Non Dhira juga tadi agak sulit untuk diajak pulang. Padahal sudah setelah dua lewat tadi. Jadi tadi sedikit saya paksa biar mau pulang," tutur pak Mulyo dengan jujur.
"Gak masalah pak. Kalau saya ada di sana mungkin akan saya geret biar mau pulang," sahut Arya, papa Dhira yang terlihat kesal dengan tingkah anaknya itu. Jika sang istri tidak membujuknya, tentu saja dia tidak akan mengizinkan Dhira untuk membuat pesta seperti itu.
Lisa hanya menggelengkan kepalanya mendengar sahutan Arya. Arya memang sangat posesif kepada Dhira. Menurut Lisa, Dhira sudah cukup umur untuk mencoba hal-hal pertama dalam hidupnya.
"Ini pak.. ada sedikit tambahan untuk pak Mulyo karena udah jagain Dhira malam ini. Terimakasih banyak karena sudah mau jagain Dhira."
Lisa menyerahkan sebuah amplop yang berisikan uang di dalamnya. Mereka memang sering memberikan pak Mulyo uang lebih untuk membayar lembur pak Mulyo.
Pak Mulyo menerima amplop tersebut. "Terimakasih nyonya. Non Dhira juga sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Kalau begitu saya pamit dulu."
Setelah mendapatkan anggukkan dari kedua majikannya itu, pak Mulyo berjalan menuruni tangga meninggalkan kedua majikannya.
Sepeninggalan pak Mulyo, Lisa dan Arya kembali masuk ke dalam kamar. Lisa sudah hendak kembali ke kasur untuk istirahat. Tetapi kegiatannya itu berhenti ketika Arya membuka suaranya.
"Kamu itu terlalu memanjakan Dhira. Apa yang dia mau selalu kamu kasih. Nanti lama-kelamaan dia akan jadi pembangkang," ucap Arya kepada Lisa.
"Cuman Dhira anak aku, ya pasti akan aku manja lah. Kamu juga memanjakan Dhira kan? Lagian Dhira enggak dilepas sendiri kan? Ada pak Mulyo yang menemani dia. Kamu tidak perlu khawatir, Dhira tidak akan melewati batasnya."
Lisa menarik selimut dan mulai merebahkan tubuhnya di kasur. Dia lagi malas menanggapi kemarahan Arya di jam dua pagi ini. Lebih baik dia istirahat terlebih dahulu untuk bisa berdebat dengan Arya besok pagi.