Laksmana Jatuh Cinta.

1570 Kata
"Mas damar!" Aku tidak tahu kenapa laki laki itu datang ke kontrakan ku. Aku baru pulang dan menemukannya berada di kursi di depan pintu kamarku. Laki laki itu sepertinya memang telah lama menungguku di sana. Aku segera menghampirinya dan dia berdiri tersenyum padaku. "bagaimana kehamilan mu, an?" Oh, Tuhan. Kenapa dia masih saja peduli tentang ku. Jujur saja, ini membuatku enggak nyaman. "Mas ... kenapa mas datang ke sini? bagaimana kalau ibu tahu? mas tahu kan ibu enggak suka padaku, karena kejadian itu?" Ibu mertuaku tentu saja mengutuku. Ibu mana yang mau rela anaknya bertanggung jawab pada perempuan yang sedang hamil bukan darah dagingnya. Semua ibu pasti akan melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan oleh ibu mertuaku itu. "An ... saya ke sini karena nomor kamu enggak akrif." "Memangnya kenapa kalau nomor saya enggak aktif mas. Kenapa mas tidak lupakan saya saja. Kenapa mas harus ke sini?" ini sangat menyiksaku Tuhan. Aku sungguh tidak mau menyimpan rasa bersalah ini sampai berlarut larut. Aku ingin semuanya segera berakhir. Dan aku enggak mau mas Damar terus terusan datang, seolah semuanya ini adalah tanggung jawabnya. Sedangkan laki laki b******k itu memang sama sekali tidak peduli padaku. Entahlah! mungkin laki laki b******k itu sudah mati! aku sungguh tidak peduli lagi padanya. "Saya sudah mengirimkan uang padamu. Dan saya enggak bisa menghubungi kamu." "Kenapa mas harus mengirimkan uang padaku? kenapa mas harus repot repot mengurus hidup ku?" Aku setengah teriak karena saking kesalnya. Tidak! bukan kesal padanya, tapi karena aku merasa bersalah padanya. "An, tolong dengar kan aku. Aku melakukan itu, karena aku sangat khawatir akan kehidupan kamu juga janin kamu." "Ya, tapi kenapa mas harus mengirim uang sih, mas. Aku akan kirimkan kem--" "Terima uang itu an! Karena ini terakhir kalinya saya menemui kamu. Setelah ini, saya akan menikah dengan Hera, teman kamu. Kamu masih ingat hera kan?" Iya. Dia teman SMA ku. AKu tidak menyangka kalau mas Damar akan segera menikah, dan menikahnya dengan teman ku pula. "Oh, selamat, mas." Hatiku sedikit sakit. Tidak! aku tidak boleh egois. Mas Damar memang harus bahagia. Dia harus menemukan hidupnya dan aku tidak boleh merecokinya sedikit pun. Tidak boleh! "An, saya minta maaf, karena mungkin tidak akan ke sini lagi." "saya sangat mengerti. Dan saya memang lah bukan tanggung jawab nya, mas Damar. Tolong jangan merasa bersalah, karena sudah jelas ini bukanlah kesalahannya mas Damar." "An. Saya akan pulang. Semoga uang itu cukup untuk kamu dan anak kamu." Mas Damar mendekat padaku. "Mas, selamat. Dan saya mungkin akan kirimkan lagi uang it--'' ''Jangan pernah lakukan itu, an. karena saya akan datang terus ke sini, kalau kamu mengirimkan uang itu. Jadi terima dan jangan buat saya kembali lagi ke sini." Aku termangu. "Saya permisi!" Laki laki itu pun pergi. Dan aku sekali lagi hanya terdiam menatap kepergiannya. Selamat tinggal Mas Damar. Begitu cepat pertemuan dan perpisahan kita berdua. Aku sungguh senang bisa mengenal mu. Kamu laki laki yang sangat baik dan aku doakan semoga kamu menemukan perempuan yang jauh lebih baik lagi dariku. Aku mengecek Mbanking ku, ternyata mas Damar mengirimkan aku uang sebanyak itu. Aku sungguh terharu pada semua kebaikannya itu. Uang Lima puluh juta bukanlah uang yang sedikit. Namun aku pun dilarang mengirimkan balik padanya. Biarlah uang ini akan aku simpan dan menjadi ladang amal untuk mas Damar. Setiap uang yang aku gunakan untuk ku dan anaku kelak. Maka amal itu akan mengalir pada mas Damar. Dia akan memiliki hidup yang berkah dan juga bahagia. Setelah hari di mana Mas Damar datang ke kontrakan ku. Laki laki itu tidak lagi datang padaku. Saat ini setelah tiga bulan kemudian, dan kehamilan ku mulai terlihat pun aku sudah tidak lagi mendengar kabar darinya. Aku bersyukur jika Mas Damar sudah bahagia dan menemukan kehidupannya. Itu artinya beban ku padanya sudah berkurang. Aku tidak akan membuat Mas Damar sedih dan kecewa lagi, karena dia juga sudah menemukan perempuan cantik dan juga baik. AKu mengenal Hera seperti apa. Hera adalah perempuan yang baik dan juga pantas untuk mas Damar. "Anita gemukan ya?" Tanya Pak Laksmana padaku. Hari ini aku memang mengenakan baju agak longgar, karena perutku memang udah mulai terlihat sedikit gendut, meski masih saja tidak terlihat seperti orang hamil. Aku memang memiliki tubuh tinggi dan ramping. Sehingga kehamilan ku ini tidak terllihat begitu kentara. "Oh--" "Pak mana jangan kepo!" Beruntung lah Mbak Wela datang. Sehingga aku tidak terlalu bingung untuk menjelaskan semuanya. Kelak, mungkin aku akan memberitahunya kalau aku sedang hamil, sehingga aku tidak perlu mendapatkan perhatian lagi darinya. "Kamu ini!" Pak Laksmana menggeleng kesal pada mbak Wela. Namun aku yakin sekali beliau tentu saja tidak benar benar marah padanya. Pak Laksmana tentu saja tahu kalau mbak Wela ini memang selalu menggodanya. "Pak mana, jangan belikan anita rujak doang dong. Sesekali beliin anita, jus buah juga dong." godanya. "Ah, anita suka jus apa?" tanya nya. Aku mendadak melengos dan menatap mbak wela dengan permohonan agar menghentikan semua ini. Alih alih mengerti dengan isyarat ku. Mbak Wela malah tergelak geli. "Just a friend to you, mas." Mbak Wela malah yang menjawab. "Awas kamu wela. Gajih kamu saya potong." ujar pak Laksmana kesal. Dan Mbak Wela ini hanya terkekeh seolah ultimatum itu memang tidak ada artinya sama sekali untuknya. Aku jelas sangat canggung dengan semua ini. Aku sungguh merasa tidak enak hati pada pak Laksmana. Ini seperti aku sedang membohongi laki laki itu, padahal aku memang sama sekali enggak berniat untuk membohongi siapapun. Hari itu Pak Laksmana memang membelika ku jus buah alpukat. Dan itu ia lakukan atas saran dari mbak Wela. Perempuan itu mengatakan bahwa aku sedang lemas dan enggak enak badan. Sehingga jus alpukat adalah buah yang terbaik untuk kondisiku saat ini. "Mbak, sudah lah, jangan buat gosip di kantor ini. AKu enggak mau semua orang mendengar ini dan membuat ku sangat malu pada Pak Laksmana." ujarku padanya. "Kamu tenang saja. Aku akan menatasi semuanya. Aku sepertinya menangkap kesungguhan dari tatapan kedua matanya pak mana. Dia sepertinya memang benar benar menyukai kamu. Dia serius sama kamu. Ayolah An, kamu jangan merendah seperti itu. Kamu itu begitu cantik dan kamu pantas mendapatkan laki laki seperti pak Mana." "No, mbak. Cantik saja enggak cukup. Aku ini bukanlah lagi seorang gadis. Aku pernah menikah dan aku pernah memiliki masa lalu yang kelam. AKu enggak mau Pak Mana malah harus menjadi orang yang bertanggung jawab atas kondisiku. Aku mohon sudahi saja hal ini. Atau aku akan segera memberi tahu pak mana tentang kehamilan ku ini." "Biar aku saja yang memberi tahu. Dan mari kita lihat. APakah laki laki itu berhenti mengejarmu, atau ... dia malah kembali mengejarmu bahkan lebih dari sebelumnya!" "Mbak, Pak mana itu sangat baik, sehingga dia juga sangat pentas menemukan perempuan yang juga jauh lebih baik dari pada aku sisa orang lain." "Kamu tidak akan tahu kemungkinan terbaiknya. Aku yakin seratus persen, kalau pak mana akan kembali mengejarmu. Bahkan lebih dari sebelumnya." "Aku rasa, pak mana tidak akan pernah melakukan itu. Jadi mulai sekarang berhenti menghayal." "Aku berani taruhan An. Aku yakin sekali, kalau Pak mana akan semakin mencintai kamu. Aku yakin sekali dia akan semakin bersimpatik padamu. Aku tahu seperti apa riwayat pak mana itu. Dia seorang laki laki yang sangat baik, juga sangat penyayang. " "Sudah lah, mbak. AKu enggak mau berhayal terlalu gila. Aku enggak mau bahagia karena sesuatu yang enggak pasti." "Jadi kamu bahagia kalau pak mana perhatian padamu? kamu memiliki hati padanya?" "Tidak, mbak. Maksudku bukan seperti itu. Aku hanya berpikir semua perempuan di dunia ini pasti akan sangat beruntung memiliki seorang lelaki seperti Pak mana. Karena selain mapan, dia juga memiliki wajah yang tampan." "Ciee ... berarti kamu mau bilang kalau pak mana itu tampan?" "Mbak--" AKu menoleh kesal, dan sialnya di belakang mbak wela ada pak Laksmana sedang berdiri. Aku sontak saja, kaget dan malu tujuh turunan. Ku lihat Pak laksmana senyum senyum kecil begitu. Ia duduk dan bergabung bersama kami. "Maaf, saya sedang menguping. Saya rasa, akan lebih baik kalau kamu membicarakan saya, ketika saya ada di depan kamu saja. Agar tidak menjadi sebuah gibah." godanya. "Pak Laksmana jangan GEER deh. " ujar Mbak Wela. "Kita bilang bapak tampan, bukan berarti kita suka sama bapak kan?" tambahnya. Ku lihat Pak Mana sekilas, dia terkekeh tenang. "Kamu tenang saja, anita. Saya tidak akan langsung melamar kamu ko," Lah! kenapa dia malah berbicara padaku? bukankah saat ini ia sedang berkomunikasi dengan mbak wela? Aku sontak saja terbatuk dan mengap mengap seperti ikan yang keluar dari perairan. Pak Laksmana menyodorkan air dengan perlahan. "Dan saya tidak akan marah, kalau kamu muji saya tampan. Justru saya sangat senang sekali." ujarnya semakin membuat kerongkongan ini terasa amat gatal. "Sudah, sudah, pak mana. Kasihan anita." ujar Mbak Wela. "Ok, saya minta maaf. Saya hanya terlalu senang di puji olehnya. kamu tahu kan, saya sudah menyukai anita sejak ia datang ke kantor kita." Bagaimana bisa pak Laksmana mengatakan perasaannya di depan ku. Seolah ini bukanlah sebuah kalimat yang penting. Mbak Wela terkekeh dan aku semakin mati kutu. "Tenang, tenang Pak mana. Anita tidak akan pergi ke mana mana. Tapi Pak mana harus mendengarkan sesuatu dulu dari anita. Barulah Pak mana boleh memutuskan lanjut menyukainya atau tidak." "kenapa? anita sudah punya suami atau sudah punya calon?" tanya Pak Mana. "Biar kalian bicara serius deh. Aku mau pergi dulu." Mbak Wela ini sungguh ajaib. Bagaimana bisa ia meninggalkan aku dengan Pak Laksmana. Dan saat ini kami sudah berduaan dengannya. Lalu bagaimana caraku memulainya ... "Ada apa an? kamu mau bicara apa sama saya?" Dan pada saat itu aku menelan ludah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN