"Gimana kabar Mas Ridwan, Wid?" tanya Rahman pada Widyawati setelah ia sampai di rumah sakit.
"Masih di dalam ruangan, Mas. Dinar sedang di dalam," jawab Widyawati lemah.
Rahman melihat ruangan ICU melalui kaca ruangan yang transparan. Ia tak tega melihat sahabatnya itu terbaring dengan alat yang memenuhi d**a bidangnya. Apalagi melihat Widyawati yang tampak sedih, itu membuat d**a Rahman terasa nyeri.
"Bagaimana Mas Rahman tahu jika Mas Ridwan berada di sini?"
"Ada kerabat yang memberitahu soal batalnya pernikahan anakmu. Aku hanya ingin mewujudkan cita-cita kita. Jika Tuhan tak menghendaki dirimu menjadi milikku, minimal anakku bisa mewujudkan apa yang kuharapkan sejak dulu." Rahman menjeda ucapannya sejenak. Ia mengembuskan napas berat sebelum melanjutkan ucapannya.
"Paling tidak jika aku dan kamu tidak bisa menjadi satu keluarga kecil, kita bisa menjadi satu keluarga besar," lirih Rahman. Ia takut jika ucapannya di dengar oleh Arya yang tengah duduk di bangku tunggu di belakang mereka.
Widyawati terperanjat mendengar ucapan Rahman. Ia tak menyangka jika rasa itu abadi dalam hatinya. Meskipun setelah sekian tahun telah berlalu, Rahman tetap menyimpan kenangan keduanya dengan rapi.
Esok paginya Widyawati mengajak Dinar untuk berbicara empat mata tentang permintaan Rahman.
"Tolonglah, Nak. Jangan buat malu keluarga kita. Undangan sudah disebar, bagaimana jika para tamu sudah terlanjur datang dan mempelai tidak jadi menikah. Malu lah kita, Nak." Widyawati mencoba menjelaskan perihal permintaannya pada Dinar.
"Bu, Bapak sedang terbaring lemah! Tapi Ibu masih saja memikirkan nasib pelaminan itu! Uang bisa dicari!"
"Tapi rasa malu tak bisa ditutupi, Nak! Minimal pernikahan tetap terjadi. Perihal dengan siapa itu bukan menjadi masalah besar!" sahut Widyawati cepat.
"Bagaimana malunya Bapakmu saat teman-temannya datang tapi rumah dalam keadaan sepi?" sambung Widyawati lagi.
Dinar berpikir sejenak. Ia berusaha mencerna ucapan ibunya itu.
"Tapi, Bu, Dinar ngga kenal siapa Mas Arya itu," elak Dinar cepat. Ia tetap berusaha mencari alasan untuk bisa lepas dari pernikahan terpaksa itu.
"Arya anak sahabat orangtuamu, pastilah dia lelaki yang baik."
"Baik kalau tak cinta juga buat apa, Bu!" Dinar bangkit dari duduknya. Ia berusaha menghindari permintaan sang ibu. Tetapi seseorang datang memberikan kabar.
"Permisi, Bu. Bapaknya siuman, beliau mencari ibu dan mbaknya," ujar perawat.
Dinar dan Widyawati segera berlari menuju ruangan tempat Ridwan terbaring.
"Bu," lirih Ridwan terbata.
"Iya, Pak? Jangan dipaksa bicara jika belum kuat," sahut Widyawati cepat.
"Bu, bagaimana pernikahan Dinar? Carikan pengganti suami untuk Dinar, Bu! Jangan pedulikan kondisi Bapak."
"Mas Rahman datang kemari, Pak. Dia menawarkan Arya untuk menggantikan Dhana," ujar Widya.
"Segera nikahkan, Bu. Jangan sia-sia kan persiapan yang sudah matang," timpal Ridwan lirih.
"Nak, dengar sendiri, kan?" ujar Widyawati sambil menatap Dinar.
Dinar menghela napas kasar. Ia kesal pada dirinya sendiri. Tak mungkin menolak permintaan bapaknya jika kondisi sudah seperti ini.
Akhirnya Dinar mengangguk setuju.
Setelah menghubungi wedding organizer, persiapan kembali dimatangkan. Dinar pun kembali ke rumah guna melanjutkan kembali pernikahan yang terancam batal.
Saat hari H, Arya tampak murung. Setengah hati ia menjalani pernikahan ini. Berbeda dengan Dinar yang menerima demi permintaan kedua orangtuanya.
Arya sudah duduk di depan penghulu dan saksi. Sedangkan Dinar duduk di ranjang kamar menunggu prosesi akad selesai. Ia sedang menata hati untuk bisa menerima pernikahan ini.
"Sah."
Sayup terdengar oleh Dinar seruan saksi yang menyaksikan akad nikah Dinar dan Arya di depan. Meskipun dilakukan secara mendadak, tak sedikitpun mengurangi sakralnya ikatan suci dihadapan Tuhan. Dinar terharu.
Air mata Dinar berderai melihat keadaan yang menimpanya. Sungguh tragis kisah cintanya yang berakhir dengan pernikahan terpaksa.
Dinar dan Arya duduk di atas pelaminan saat Dhana datang memberikan ucapan selamat. Keduanya seperti orang asing yang tak saling kenal. Duduknya berjarak tanpa ada sedikitpun pembicaraan antara keduanya.
Dhana datang dengan kepala tegak. Rasa sedih terpancar dari sorot matanya saat menatap Dinar. Sang mempelai pun tak menyangka bahwa Dhana akan datang di pernikahan yang seharusnya ia yang menjadi sang mempelai laki-lakinya.
"Terima kasih, Mas," jawab Dinar bergetar. Air matanya tiba-tiba saja menganak sungai. Bahkan ia enggan melepas jabatan tangan Dhana.
"Sama-sama. Maafkan, Mas ya?" Dhana berujar lirih.
Arya hanya diam sambil mengatupkan bibir. Ia pun enggan berada di pernikahan ini jika bukan karena terpaksa.
Dhana menepuk pundak Dinar dengan halus. Ingin rasanya ia memeluk Dinar saat itu juga, tetapi ia masih punya akal sehat untuk membedakan mana hal yang baik dan buruk.
Dinar terus saja mengusap air matanya. "Mas, jangan pergi," lirih Dinar. Ia merengek di samping Dhana.
"Sabar ya? Ikhlas kan semuanya," jawab Dhana terbata. Sebab ia pun seperti tak rela jika gadis pujaannya menjadi istri lelaki lain.
Tiba-tiba saja Sitta datang dengan santainya dan langsung naik ke atas pelaminan. Ia mengulurkan tangannya pada Arya.
"Selamat ya," ujar Sitta tenang. Wajahnya penuh rasa bangga. Bahkan ia tak turut bersedih atas tangis dua orang di depannya.
Setelah bersalaman dengan Arya, Sitta berganti menjabat tangan Dinar setelah melerai dengan kasar genggaman tangan Dinar dan Dhana.
"Kamu?" pekik Dhana keras. Ia hampir saja mengangkat tangannya untuk memukul ketika tangan Sitta melerai dengan kasar.
"Tenang, Mas. Jangan emosi." Sitta berkata dengan tenangnya. Kemudian ia menghadap Dinar dan mengulurkan tangannya.
"Selamat ya? Terima kasih kamu sudah merelakan pasanganmu untukku," ujar Sitta pongah.
"Jahat kamu!" pekik Dinar tertahan. Ingin rasanya Dinar mencabik-cabik muka Sitta yang tampak tak bersalah itu.
"Kok aku? Aku kan korban? Kalau kamu nuduh aku jahat, kamu salah. Yang jahat itu dia," ujar Sitta sambil menunjuk wajah Dhana dengan jari telunjuknya.
Dhana yang ditunjuk seakan menjadi tersangka dalam masalah ini. Ia hanya mampu menunduk tetapi dalam hati ia bertanya-tanya, "Sungguhkah tuduhan yang diarahkan padaku itu?"
Widyawati turut naik di atas panggung. Ia mengusap punggung Dinar dengan penuh kasih sayang. "Nak sudah. Malu dilihat sama orang," lirih Widyawati.
"Dinar masih belum bisa menerima semua ini, Bu," jawab Dinar dalam pelukan ibunya. Ia menelusupkan wajahnya ke dalam d**a sang ibu.
"Sabar, Nak. Ini ujian. Biarkan cinta mencari jalannya," bisik Widyawati tenang. Ia terus saja mengusap anak semata wayangnya yang mengenakan kebaya modern berwarna putih gading.
Arya hanya terdiam menatap wajah-wajah orang yang ada di pelaminan itu. Dengan malas ia pun kembali duduk di atas singgasana khusus pengantin yang berada di tengah panggung.
"Ayo balik!" pekik Dhana pada Sitta. Ia menarik lengan Sitta dengan kasarnya.
"Awww! Jangan kasar, dong!" sahut Sitta dengan mengibaskan tangan Dhana keras. Ia lantas memegang pergelangan tangannya yang terasa nyeri.
"Ayo balik! Ini semua gara-gara kamu!" hardiknya lagi. Lagi, ia menyeret Sitta dengan menarik lengannya secara kasar.
"Jangan kasar, dong! Sakit ini!"
"Sakitnya lenganmu nggak sebanding dengan sakitnya hatiku karena perbuatanmu!" omel Dhana. Keduanya sudah berada di luar area resepsi pernikahan.
"Perbuatan apa? Kan ini juga karena kamu!"
"Aku tidak pernah merasa melakukan apapun! Ini pasti akal-akalan kamu kan?"
"Akal-akalan gimana? Ini anak beneran ada di sini!" ujarnya keras sambil menunjuk perutnya yang rata. Wajahnya dibuat sesedih mungkin agar Dhana percaya.
"Tapi aku nggak pernah merasa melakukan apapun padamu!"
"Kamu lihat sendiri kan bagaimana saat kamu membuka mata? Kita telanjang berdua!" teriak Sitta. Ia bahkan tak peduli ada banyak pasang mata yang mendengar ucapannya.
"Jaga mulut kamu!" pekik Dhana. Ia hampir saja mendorong tubuh Sitta.
"Jangan main kasar dong, Mas!" rengek Sitta. Ia malah mendekat dan bergelayut manja pada bahu Dhana.
"Apaan sih kamu!" pekik Dhana sambil mengibaskan lengan Sitta hingga ia tersungkur ke tanah.
Dada Sitta bergemuruh merasakan perlakuan Dhana yang sedikit keras padanya. Tindakan itu menciptakan percikan amarah yang semakin berkobar seiring dengan sikap Dhana yang makin keras padanya.
"Jangan bertengkar disini, Mas, Mbak," ujar seseorang yang kesal melihat dua sejoli itu bertengkar hebat.
"Maaf, Pak," jawab Dhana sungkan. Ia masih berada disekitaran lokasi pernikahan jadi tak salah jika mereka merasa terusik akan pertengkaran keduanya.
Dhana pergi begitu saja tanpa membantu Sitta untuk berdiri. Bibir perempuan yang duduk di tanah itu tersenyum miring sambil membatin. "Lihat saja apa yang terjadi. Tidak hanya kamu yang menderita karena memperlakukanku seperti ini, tapi orang-orang disekitarmu juga akan merasakan hal yang sama denganku."
Sitta menghubungi seseorang setelah mengambil ponsel dalam tasnya.
"Lakukan sekarang," ujarnya setelah panggilan itu terhubung