Sejarah Pergerakan Kaum Perempuan Indonesia
Setiap bulan April kita mengenal Hari Kartini, sebagai Hari Pergerakan Kaum Perempuan atau Hari Ibu. Berbicara pergerakan kebangsaan atau sejarah pergerakan nasional yang membicarakan perjuangan bangsa Indonesia membangkitkan kesadaran nasional, pergerakan Muslimah Indonesia juga turut menyumbangkan catatan sejarah yang tak kecil.
Membicarakan tentang organisasi perempuan, tentu saja kita tidak dapat melupakan perjuangan pahlawan perempuan sebelumnya yang mengantarkan kita kepada kemajuan-kemajuan yang telah kita capai sekarang.
Pada jaman Kolonial Belanda, di antara nama pejuang perempuan yang terkenal, yaitu Martha Christina Tiahahu dari Maluku, Raden Ayu Ageng Serang dari Jawa, Cut Nyak Dien dari Aceh, dan Cut Meutia dari Aceh. Kemudian kita mengenal RA Kartini dari Rembang, Jawa Tengah, Nyi H Achmad Dahlan dari Yogyakarta, dan Nyi H Rasuna Said dari Sumatra Barat.
Seiring dengan modernisasi yang diperkenalkan pihak Kolonial Belanda, isu emansipasi yang menghendaki dibukanya pintu bagi kaum perempuan memasuki alam kemajuan telah berkembang menjadi satu wacana penting, termasuk di kalangan Muslim Indonesia.
gerakan perempuan Islam sebagian besar disuarakan oleh mereka yang menjadi bagian dari organisasi pembaruan Islam.
Lembaga Aisyiyah adalah salah satu contoh penting dari hal ini. Sebagai bagian dari sayap perempuan Muhammadiyah, gerakan dan pemikiran Aisyiyah untuk memajukan kaum perempuan berada dalam agenda pembaruan Muhammadiyah.Menyangkut bidang pendidikan dan organisasi, gerakan Islam untuk kemajuan perempuan telah menempatkan Rahmah el Yunusiah pada posisi yang demikian penting.
Demi mewujudkan cita-citanya, Rahmah membentuk lembaga pendidikan yang didirikan khusus untuk kaum perempuan. Seperti Diniyah School Putri (Madrasah Diniyah li al-Banat) didirikan pada 1 November 1923.Sekolah tersebut sengaja dirancang untuk memberi pendidikan dan selanjutnya meningkatkan derajat kaum perempuan. Selain itu, Rahmah juga mendirikan lembaga pendidikan untuk kaum ibu yang belum bisa baca tulis.
Hj Rahmah El Yunusiah merintis pendirian sejumlah lembaga pendidikan khusus untuk kemajuan kaum perempuan. Karena itu, Rahmah kerap disebut juga sebagai "Kartini perguruan Islam."
Aisyiyah sejak semula memang dirancang sebagai orgnaisasi untuk memberi pendidikan Islam bagi kaum perempuan, yakni untuk memimpin, menjaga, dan menuntun anggota perempuan dalam Muhammadiyah hingga mereka mampu membimbing perempuan Indonesia pada umumnya untuk mempunyai keinsafan terhadap agama dan hidup berorganisasi.
Dalam hal pendidikan kaum perempuan, kalangan pesantren berbasis organisasi keagamaan NU terbilang berada di belakang kalangan pembaru Muhammadiyah. Melalui organisasi Fatayat, Muslimat dan IPPNU kalangan kaum tradisionalis NU tumbuh berkembang di lapisan kultural pedesaan.
Organisasi perempuan di Indonesia bermunculan sejak kepeloporan Aisyiyah yang berdiri pada 1917, yang bergiat dalam bidang pendidikan, terutama untuk tingkat dasar. Dimulai dengan membangun masjid untuk kaum perempuan di Yogyakarta pada 1922 dan Garut pada 1926, Aisyiyah melakukan kegiatan yang terpisah dari aktivitas keagamaan kaum lelaki dengan tujuan agar perempuan bukan menjadi objek, melainkan subjek dari kegiatan keagamaan.
Meski dalam perjuangannya tidak pernah menggunakan istilah feminisme, yang dilakukan oleh para aktivis organisasi kegamaan serupa, Aisyiyah ini jelas menyerap pandangan kalangan feminis yang telah lebih dulu lahir di Barat.
Melalui sosok dan gagasan Kartini di Jepara, pemikiran feminisme Barat dipersambungkan dengan pemikiran kalangan feminis Muslim di Tanah Air. Kalangan aktivis organisasi Muslimah ini percaya bahwa emansipasi perempuan harus dilakukan melalui perbaikan dunia pendidikan bagi kaum perempuan.
Gagasan sekolah untuk kalangan kaum Muslimah ini dilatari oleh semangat reformisme Islam yang sedang memuncak. Sementara, di sisi lain masih terdapat keinginan kuat untuk menempatkan perempuan sebagai penjaga warisan adat. Dengan kata lain, sekolah ini berhasil menyintesiskan tuntutan modernisme di satu sisi dan tradisi di sisi lain.
Wacana jender selalu menampilkan wacana stereotif yang membedakan posisi laki-laki dan perempuan. Selama berabad-abad, masalah ini agaknya kurang mendapat perhatian dan cenderung dilupakan. Dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, gerakan-gerakan penentangan terhadap sistem feodalisme menuju pencerahan (aufkllarung)-pun tidak terlepas dari kondisi ini. Sehingga, dari waktu ke waktu dalam rentang sejarah feodalisme hingga abad pencerahan hampir tidak terdengar kritik para pemikir terhadap pandangan gereja yang diperkuat terutama oleh Thomas Aquinas tentang perbedaan derajat laki-laki dan perempuan. Kalaupun ada hal itu tidak menjadi masalah yang cukup krusial dalam upaya umat manusia untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan.
Thomas Aquinas, filsuf skolastik abad ke-13 dalam filsafatnya menyatakan bahwa tatanan sosial merupakan bagian integral dari alam semesta ciptaan Allah. Baginya, Allah telah menciptakan dunia yang teratur sesuai dengan derajat rasionalitas dan kesempurnaan, dan masyarakatpun diciptakan sebagai suatu hierarki yang teratur sesuai dengan derajar rasionalitas. Secara umum, kaum laki-laki dianggap lebih rasional dari pada perempuan, dan karena itu kaum laki-laki harus memimpin kaum perempuan; demikian pula orang tua lebih rasional dari pada anaknya; dan seterusnya. (Hans Fink, 2003: 25-26).
Di masa-masa berikutnya perjuangan memperoleh kebebasan umat manusia berjalan sambil membawa ”PR” (pekerjaan rumah) kerangka berpikir yang paternalistik itu, hingga muncul kemudian gerakan-gerakan perlawanan yang menentangnya.
Sejarah penyebaran Islam juga bergulat dengan relaitas yang serupa. Seting masyarakat Arab ketika Nabi Muhammad tampil membawa risalah Islam adalah komunitas yang tidak ”memanusiakan” perempuan. Kaum laki-laki dengan sewenang-wenang mencari pasangan perempuan sebanyak-banyaknya tanpa batas. Anak laki-laki lebih dibanggakan dari pada anak perempuan, hingga menyebabkan beberapa suku tertentu memilih untuk membunuh bayi perempuannya. Ini diperparah lagi dengan cara mereka dalam menempatkan perempuan sebagai benda yang bisa diwariskan secara turun temurun.
Oleh sebab itu, secara umum dapat dipahami bahwa fakta Al-Quran (baca: Islam) merupakan peristiwa kebahasaan, kebudayaan, dan keagamaan yang berfungsi sebagai garis pemisah dalam sejarah sejarah Arab, antara “pemikiran primitif” (savage thinking), dalam pengertian yang diberikan kepada istilah itu oleh Claudé Lavi-Strauss, dan “pemikiran berbudaya” (civilited thinking). (Arkoun, 1996: 1).
Para ahli sejarah menggambarkan pemisahan itu dalam kronologi linear. Zaman sebelum Al-Quran (Islam) dikaitkan dengan tradisi Jahiliah, yaitu suatu kondisi masyarakat yang secara keagamaan bercirikan paganisme dan secara cultural tergolong “tidak berbudaya”. Sedangkan zaman sesudah Islam dikaitkan dengan pencerahan agama dan budaya, yang biasanya mengambil fakta “negara Islam” di Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad pada tahun 622 M, sebagai sampel kebenarannya. (Zamzami, 2000: 62).
Akibat dari mapannya kultur yang demikian itu, masyarakat dunia secara umum memandang bahwa peran perempuan terbatas pada urusan rumah tangga dan keluarga, sedangkan peran publik dipegang oleh kaum lak-laki. Masalah jender memang demikian rumit, karena tidak terbatas pada perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Lebih jauh lagi harus diperjelas apa batas-batas yang bisa dipersoalkan dalam "pembedaan“ terhadap kedua jenis makhluk ini.
Kalau melihat lima prinsip hukum Islam sebagaimana dijelaskan di atas agaknya tidak menjadi persoalan. Artinya, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan, perlindungan, dan jaminan keselamatan. Akan tetapi sejauh menyangkut posisi kaum laki-laki dan perempuan, ada semacam pemahaman yang salah kaprah.
Bagaimana Islam menempatkan perempuan? Ini bisa dilihat dari berbagai perspektif. Ada sebagian kalangan menganggap bahwa secara doktrinal ajaran Islam menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Ini merupakan buah penafsiran atas beberapa teks agama yang seolah-olah berbicara demikian. Al-Quran menyatakan bahwa, "kaum laki-laki menguasai perempuan“ (QS. An-Nisa, 4:34). Ayat ini sesungguhnya memberikan pengertian antropologis (Lily Zakiyah Munir (ed.), 1999: 36).
Menurut K.H. Abdurrahman Wahid, walaupun diputar-balik, memang laki-laki itu tetap qawwam, lebih tegar, lebih bertanggungjawab atas keselamatan perempuan, ketimbang sebaliknya (secara fisik), dan sebagainya. Bisa juga dalam pengertian psikologis, lelaki melindungi perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah. Akan tetapi ada kekuatan pada diri perempuan, yakni bisa memilih laki-laki. Ini membuktikan bahwa di balik kelemahannya dari segi fisik, perempuan mempunyai kedudukan yang amat kuat. Memang sudah kodratnya lelaki mengejar perempuan. (Lily Zakiyah Munir (ed.) : 36-37).
Namun demikian penafsiran yang keliru terhadap ayat itu akan menyebabkan Islam secara ideologis seperti membedakan posisi laki-laki dan perempuan. Penafsiran semacam itu tidak akan pernah terjadi seandainya umat Islam mau melakukan kajian yang serius terhadap asbâb an-nuzûl ayat itu dengan memperhatikan konteks sosial yang ada saat itu. Model pengkajian semacam ini sudah dikembangkan berabad-abad yang lalu oleh para ahli ilmu Al-Quran seperti As-Suyuthi, Al-Wahidi, dan lain sebagainya.
Di tempat lain, ada hadis yang menyatakan: “Jangan serahkan urusan penting kepada perempuan“. Hadis ini sering dijadikan legitimasi ideologis oleh sebagian kelompok umat Islam untuk melakukan proraganda dalam menghalang-halangi akses politik dalam berpolitik dan menghalang-halangi mereka untuk berperan dalam ruang publik. Sesungguhnya akan berbeda pemahamannya ketika mereka mempertimbangkan seting sosial masyarakat yang selalu berkembang dari zaman ke zaman.
Untuk ini para ulama terdahulu sesungguhnya telah mengembangkan ilmu asbâb al-wurûd yang berbicara tentang latar belakang munculnya hadis. Ahli sejarah manapun akan mengatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad bangsa Arab dan sekitarnya, tertutama yang belum menganut Islam, menggunakan model kepemimpinan atas dasar suku, kabilah, klan keluarga, dan semacamnya. Bahkan tampilnya dinasti-dinasti Islam pasca al-khulafâ ar-râsyidûn, seperti Umawiyah, Abbasiah, Fathimiyah, dan lain sebagainya, sering dianggap sebagai menguatnya kembali rasa kesukuan pada bangsa Arab setelah perekat spiritual di antara umat Islam semakin memudar –dengan tidak menutup mata atas keberhasilan-keberhasilan cemerlang dinasti-dinasti tersebut.
Penghormatan terhadap perempuan yang digariskan oleh Islam bukti bahwa Islam selangkah lebih maju dibandingkan dengan peradaban yang lebih dulu eksis dan tumbang. Pada saat perempuan dikebiri haknya, Islam memberikan secara proporsional hak-hak tersebut, dalam banyak hal, mereka setara dengan laki-laki, bahkan lebih mengetahui, seperti dalam kasus pengetahuan keagamaan keperempuanan, Aisyah RA contohnya.
Tak mengherankan bila sejarah mencatat banyak tokoh dari golongan hawa yang sukses menorehkan prestasi di berbagai bidang. Meski, perbandingannya masih teramat kecil. Bagi Fatimah Mernissi itu wajar, mengingat budaya patriarki yang teramat kental dalam masyarakat Arab saat itu. Meski demikian, peradaban Islam menjadi tonggak bangkitnya kemuliaan perempuan. Mereka berperan besar dalam membangun peradaban yang bermartabat.
Di bidang fikih, sejarah mencatat nama Amra' binti Abdurrahman (98 H/716 M), Hafsah binti Sirrin (100 H/718 M), atau Ummu al-Bani Atikah. Ada pula perempuan yang terekam sejarah sebagai ahli hukum, seperti Ummu Isa bin Ibrahim (328 H/939 M) dan Amah al-Wahid (377 H/987 M).
Sejarah juga mengabadikan sejumlah nama penyair perempuan. Abu Faraj al-Ishfahani dalam kitabnya yang berjudul Akhbar an-Nisa' fi Kitab al-Aghani memperkirakan jumlah pujangga perempuan itu ada pada kisaran 200 orang. Sebagian besar mereka hidup pada tabiin, generasi kedua pascasahabat.
Ada Salamah al-Qash, Khansa, atau Jamilah as-Sulamiyah yang mahir berpuisi dan bermusik. Meski sebagian besar karya mereka nyaris tak berbekas. Sejarawan menyebut, karya-karya sastra mendominasi buku-buku yang dibakar oleh Hulagu Khan saat meluluhlantakkan Baghdad pada 1258 M.
Ada banyak alasan tentunya mengapa tokoh-tokoh perempuan sepanjang sejarah peradaban Islam tak banyak terungkap meski harus tetap diakui bahwa capaian ini pun jauh lebih baik ketimbang peradaban yang eksis sebelumnya.
Ibnu Sa'ad dalam magnum opus-nya di bidang biografi, ath-Thabaqat al-Kubra, hanya memasukkan 629 nama perempuan dari total 4.250 entri para tokoh yang ia catat. Persentasenya hanya sekira 15 persen. Pemandangan serupa juga akan kita dapatkan saat menelaah kitab Wafiyat al-A'yan karya Ibnu Khalikan yang hanya mencantumkan enam tokoh perempuan dari 826 entri nama. Begitulah sejarah.
Kembali pada soal kepemimpinan perempuan yang diisyaratkan dalam hadis tersebut, semestinya disadari bahwa kepemimpinan atas dasar suku waktu itu mengandaikan seorang pemimpin (suku) memegang peran penting untuk segala macam urusan. Dengan kata lain, dia adalah pemutus hukum, pemimpin peperangan, pengatur kebijakan ekonomi, pengatur keuangan, pengatur akhlak, dan keamanan. Bisa dibayangkan, bagaimana jika perempuan yang dalam masa itu masih disubordinasikan dalam tingkat yang demikian rendah, harus tampil sebagai pemimpin.
Oleh sebab itu, tidak cukup beralasan jika Islam (baca: Ahlussunnah Waljama’ah) secara ideologis menolak kepemimpinan perempuan atau mensubordinasikan kaum perempuan.(***)