Chapter 8

1236 Kata
Kediaman Hamilton, Pukul 21.40 malam. Jakarta Timur. "Kamu suka sama Ava?" Franklin terdiam. Ia merasa tidak berkutik begitu Ayesha menginterogasinya sambil bersedekap didepan pintu. Ia menatap putranya yang baru saja pulang dari makan malam bersama Ava tepat pada pukul 21.40 malam. "Mom, aku-" "Kamu suka atau tidak? Kenapa tidak bilang sama Mommy kalau ketemuan sama dia? Ini hampir jam 22.00 malam, Frank! Bagaimana bisa kamu mengajak anak orang lain sampai malam-malam begini? Dia itu anak perempuan!" "Tapi diluar masih ramai, Mom." "Jangan cari alasan! Jawab saja, kamu suka atau nggak sama dia?" "Ay, jangan terlalu tegas sama Franklin. Dia anak laki-laki. Tidak ada yang perlu di khawatirkan ketika dia pulang jam segini." sela Fandi. "Kamu berusaha membela putramu?" "Tidak, bukan begitu." "Lalu?" Ayesha menatap suaminya dengan jengah. "Usianya sudah 30 tahun. Sudah waktunya dia menikah. Jangan sampai dia berkelakuan yang tidak-tidak. Dia anak laki-laki Fan. Seharusnya dia izin dulu sama kita. Seharusnya dia cerita dulu sama kita kalau lagi dekat sama wanita lain. Aku tidak ingin dia membuang-buag waktu dengan seorang wanita dan berakhir dengan hal-hal yang tidak di inginkan seperti dimasalalu. Seperti aku, kamu, atau Aifa. Jika dia menyukai seorang wanita, aku ingin dia langsung menikahinya seperti Frankie. Itu lebih baik." "Ayesha-" "Mom-" Detik berikutnya Ayesha melenggang masuk dengan rasa kecewa. Sebagai seorang ibu ia tidak ingin kejadian masalalu terulang kepada anak-anaknya. Itu saja. Dan Franklin sadar akan hal itu. Ia sangat ingat bagaimana Daddynya pernah bercerita secara singkat tentang masalalunya dengan Mommy Ayesha sehingga Ayesha selalu menerapkan pada semua anaknya agar senantiasa selalu menjaga diri terhadap pasangan yang bukan muhrimnya. Fandi menatap kepergian istrinya. Ia juga sadar, semenjak putra dan putri mereka sudah menikah dan hanya menyisakan Franklin yang belum menikah, Ayesha begitu overprotektif pada Franklin. Bandar Udara Internasional Adi Soemarmo, Surakarta. Pukul 09.30 pagi. Seminggu kemudian. Tidak ada yang istimewa setelah makan malam bersama Ava yang berakhir dengan canggung seminggu yang lalu. Semua itu gara-gara Frankie yang membuat satu rumah heboh. Ayesha masih kecewa dengannya hingga sekarang. Gara-gara mendapati situasi yang ada, Ia merasa takut untuk bisa menghubungi Ava. Tak hanya itu, selama seminggu ini Ava juga tidak menghubunginya meskipun ada kalanya kedua hanya bisa saling menyimak postingan status cerita di w******p dan i********: masing-masing. Mobil melaju dengan kecepatan sedang ketika Aldi mengemudikannya dengan santai. Setelah menepuh penerbangan dari kota Jakarta menuju solo selama kurang lebih 1 jam 30 menit, saat ini mobil yang di kemudian Aldi menuju kota Solo melalui jalan Adi Sucipto. "Pak?" panggil Aldi pelan. "Ya?" "Kalau Bapak mau istrirahat sebentar, silahkan. Masih ada waktu kurang lebih 30 menit menuju ke bagian kota Surakarta." "Oke." Meskipun Aldi menyarankan hal itu, tetap saja Franklin enggan untuk beristirahat apalagi memejamkan kedua mata sejenak. Ia kepikiran Mommnya dan Ava, dua orang wanita yang selama ini membuatnya gelisah tidak karuan. Sepanjang jalan, Franklin memilih menyibukkan diri melihat-lihat situasi kota Surakarta yang cuacanya lumayan cerah dan terik. Gedung-gedung pusat perbelanjaan, perusahaan dan gedung-gedung lainnya. Tak hanya itu, Franklin juga melihat salah satu gedung besar yang sedang menjalani proses pembangunan. Franklin merogoh ponselnya. Ia pun memilih mengirim pesan singkat pada Daddynya. Franklin : "Asalamualaikum, Dad. Aku sudah sampai di Solo." Daddy 'online', mengetik.. Daddy : Wa'alaikumussalam. Iya, hati-hati dijalan. Semoga urusanmu lancar disana. Daddy akan segera menyuruh Frankie mengirimkan alamat pemilik produksi olahan pangan itu ke kamu." Franklin : "Iya Dad." Setelah itu tidak ada balasan lagi dari Daddynya. Franklin juga teringat Mommynya. Alhasil ia pun berinisiatif memberi kabar juga pada Ibu kandungnya. Franklin : "Asalamualaikum, Mom aku sudah tiba di Solo." Mommy 'Online'.. Franklin terdiam menatap chatnya yang sudah terkirim dengan dua garis centang lalu berubah menjadi warna biru. Itu artinya pesannya sudah terbaca. Namun menit-menit kemudian Ayesha tidak kunjung membalasnya hingga membuat hati Franklin sesak. Dan ia menyesal sudah membuat Mommnya kecewa. Hotel Astria, Solo. Pukul 20.00 Malam. Franklin menghempaskan dirinya di atas tempat tidur setelah mengecek kembali proposal yang ingin ia ajukan pada industri pangan di besok pagi pada salah satu warga yang akan ia tuju. Franklin mengambil ponselnya ketika suara deringan panggilan terdengar. Ia pun membaca nama panggilan yang ternyata adalah Aldi. Franklin segera menerimanya sambil berjalan menuju jendela kaca hotel kemudian menyibak tirainya. "Asalamualaikum, Pak." "Wa'alaikumussalam. Iya?" "Bapak sibuk?" "Tidak." "Mau ikut saya Pak?" "Kemana?" "Ngopi Pak. Kebetulan saya menemukan tempat ngopi yang enak. Jaraknya dekat kok dari lokasi hotel ini." "Kamu saja, saya lelah." Hening sesaat. Disisilain, Aldi sadar kalau atasannya itu mungkin memang lelah. Alhasil Aldi hanya bisa memakluminya dan mengakhiri panggilan tersebut dengan sopan. Berbeda dengan Franklin sendiri yang saat ini merasa hampa. Ia membuka pintu balkon kamarnya sambik menatap suasana kota Solo di malam hari. Semilir angin malam dengan posisi balkon yang berada di lantai 15 membuat Franklin merasa damai. Kota solo saat ini terasa sangat sejuk di malam hari. Padahal ia bisa saja pergi keluar menikmati kuliner dimalam hari tapi ntah kenapa rasanya ia begitu enggan pergi keluar. Pintu kamar hotel terketuk pelan. Franklin menoleh kearah pintu dan segera membukanya. Franklin terkejut ketika pelayan hotel tersebut mengetuk kamarnya dan membawa nampan berisi secangkir coffe. Franklin hampir saja lupa ia ada memesan coffe beberapa menit yang lalu melalui jasa layanan kamar. Namun rasa terkejutnya terjadi ketika pelayan hotel tersebut adalah temannya semasa sekolah menengah pertama. "Selamat malam Pak, ini coffe anda." Bukannya menjawab, Franklin malah membuka lebar pintunya dan ia melenggang masuk seolah-olah memberi kode mengizinkan pelayan tersebut masuk. "Terima kasih, Rian." Pelayan tersebut terdiam sesaat. Kemudian tersenyum tipis karena ia tidak menyangka kalau Franklin masih mengingatnya. "Kupikir anda tidak ingat saya." "Tentu saja ingat." Franklin tersenyum tipis. "Kamu teman yang dulunya suka bolos." Rian tertawa kecil. "Iya Pak. Anda betul." "Tidak perlu formal. Santai saja." Rian mengangguk lagi. "Sudah berapa tahun ya kita tidak ketemu? Lama banget. Beberapa bulan yang lalu sekolah kita reunian loh. Kamu tidak ikut?" "Aku tidak pernah tahu ada reunian." "Oh gitu, grup teman-teman kita di w******p ada." sambung Rian. "Oh iya, kamu kesini sendirian?" "Iya." "Anak istri kamu tidak dibawa?" Franklin hanya menimpalinya dengan senyuman tipis. Yang ia lakukan setelah itu adalah duduk santai di sofa sambil memegang secangkir coffe kemudian menyeruputnya sedikit. "Aku belum menikah." "Ah gitu, kupikir orang sukses sepertimu sudah berkeluarga." Rian mengecek jam di pergelangan tangannya dan bersiap untuk keluar kamar. "Jadi kapan kamu nikah?" "Hanya Allah Yang Tahu." Rian hanya terdiam sebentar karena ia pikir, orang kaya dan tampan macam Franklin sangat mudah memikat hati banyak wanita. "Semoga lekas ketemu jodohnya ya. Oh iya, minta nomor ponsel kamu ya. Kapan-kapan silahturahmi kerumahku. Deket daerah sini kok." Franklin pun segera mengeluarkan ponselnya dan menyebutkan nomornya. Tapi Franklin kembali terdiam. Kedua matanya terfokus pada cincin pernikahan yang melingkar di jari manis Rian. Setelah saling bertukar nomor ponsel, Rian pun pergi dengan sopan. Pintu kamar sudah tertutup hingga menyisakan keheningan.  Dari apa yang terjadi barusan, Franklin sadar bahwa temannya itu sudah menikah. Franklin juga sadar, ntah kenapa ia paling sering bertemu dengan temannya yang sudah menikah sementara dirinya belum. Apakah dunia sesempit itu? Dan ia tidak menyangka bahwa pria sesukses dirinya ternyata banyak di dahului oleh teman-temannya yang sudah menikah. Malahan mereka semua terkesan biasa-biasa saja dari segi tampang dan derajat. "Jodohku sudah ada. Tinggal ketemu suatu saat, ntah itu kapan. Jadi ya, santai saja." gumam Franklin dengan sendirinya. Ya Allah, Franklin Pernah gak, kalian yg masih single, ketemu teman atau keluarga terus  ditanya "Kapan nikah?" macam Franklin yang malah santuy gitu? Terus respon kalian gimana? Jawab apa? Ayo ngobrol disini Makasih sudah baca. Makasih sudah nunggu crita ini
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN