Restoran siap saji Family, Pukul 13.30 menit. Jakarta Timur.
Aldi menatap Franklin yang kembali tenang mengemudikan mobilnya setelah 20 menit yang lalu atasannya itu sempat mengalami drama dompetnya yang hilang.
Seperti menjadi wataknya, atasannya itu tetap santai tanpa panik ketika masalah tersebut menghampirinya.
Mobil berhenti di persimpangan empat lampu. Aldi menoleh ke samping.
"Pak?"
"Ya?"
"Em, uang saya yang Bapak pinjam tadi-"
"Saya akan ganti begitu sampai diruangan."
Aldi terdiam. Tiba-tiba ia merasa tidak enak. Padahal ia tidak bermaksud demikian.
"Maksud saya, Bapak tidak perlu menggantinya."
Franklin terdiam. Dalam hati sebenarnya ia malu sebagai atasan sudah meminjam uang pada bawahannya sendiri. Tapi ia berusaha untuk bersikap tenang dan semuanya akan baik-baik saja.
"Berapa anak kamu dirumah?"
"Ha? Maksud Bapak?"
"Anak-anak kamu suka makanan apa?"
Aldi mencoba untuk tetap fokus menyetir ketika lampu di persimpangan sudah kembali berwarna hijau.
"Maaf Pak, em sebenarnya Bapak tidak perlu mengganti uang saya. Saya ikhlas kok."
"Saya cuma tanya, anak kamu suka makan apa?"
"Anak saya belum lahir Pak."
"Masih didalam kandungan atau-"
Franklin terdiam. Ia menggaruk lehernya yang tidak gatal dan berdeham. Aldi melirik ke samping, dilihatnya Franklin sedang grogi.
"Atau apa Pak?"
"Atau sedang di proses?"
Seketika Aldi tertawa kecil. Tapi secepat itu ia berdeham agar bisa bersikap sopan kepada atasannya.
"Istri saya sedang hamil Pak. Anak pertama. Usia kandungannya baru 5 bulan."
"Oke."
"Saya penasaran dimana hilangnya dompet Bapak."
"Mungkin tertinggal di ruangan kerja."
Lalu setelahnya, tidak ada yang berbicara lagi. Waktu pun terus berjalan. Mobil hitam merek termewah itu memasuki bassement HM Corporation tepat waktu.
Kediaman Hamilton, pukul 20.00 malam.
Fandi tertawa geli melihat cucu kembarnya yang berusia 1 tahun dan saat ini sedang terduduk di karpet berbulu tebal sambil memainkan majalah yang menampilkan halaman kapal pesiar.
"Aifa?"
"Ya Dad?"
"Bulan depan kamu free?"
"Aifa pengangguran Dad, tentu saja free. Ada apa?"
"Kita akan liburan."
"Liburan?" Aifa terlihat berbinar. Kemana?"
"Hawai. Daddy akan membeli kapal pesiar disana."
"Harus disana ya?" tanya Aifa lagi.
"Kamu lihat putramu itu. Sejak tadi menatap dan memegang majalah itu. Daddy tidak tega melihatnya dan Daddy berniat akan membelikannya."
"Ya Allah, makasih Daddy.." Aifa memeluk erat lengan Daddynya.
Sementara Ayesha hanya menggeleng kepalanya melihat suami dan putrinya yang masih manja meskipun sudah memiliki putra kembar.
"Rafa, Rafi." panggil Aifa pada putra kembarnya. "Minggu depan kalau kita kesini kamu harus membawa majalah gambar rumah mewah dan gambar uang dollar ya. Siapa tahu Kakekmu akan memberi itu semua buat kita!"
Detik berikutnya Fandi malah menyentil kening putrinya yang berucap seenaknya jidat.
"Sakit Dad." ringis Aifa. "Dad, lihat! Adek Franklin rapi banget malam ini. Dia mau kemana?" ucap Aifa yang menunjuk kearah Franklin dan di ikuti arah pandang oleh Daddynya
"Mau kemana kamu Franklin?" tanya Ayesha sambil bersedekap.
"Beli martabak."
"Martabak? Buat siapa? Calon mertua kamu." sela Fandi penuh harap karena ia ingin putranya yang kaku itu segera melepas masa bujang.
"Bukan." ucap Fandi santai. "Untuk wanita hamil."
"Siapa? Istri simpanan? Kok nggak bilang-bilang sudah nikah? Atau nikah diam-diam?" tanya Aifa bertubi-tubi.
"Hush!" tegur Ayesha. Ayesha menatap putranya. "Siapa yang lagi hamil Franklin?"
"Istrinya Aldi. Aku kesana untuk mengganti uangnya yang aku pinjam?"
"Apa?! Seorang Franklin pinjam uang? Kok bisa?" timpal Aifa terkejut.
"Dompetku tidak ada saat makan di restoran."
"Hilang dimana?" tanya Fandi lagi.
"Tidak tahu Dad. Mungkin tercecer di kamar."
"Kalau begitu cepat cari karena disana banyak kartu-kartu penting buatmu."
Franklin mengangguk dan segera pamit berlalu menuju rumah Aldi.
HM Corporation, pukul 11.00 siang. Jakarta Timur.
Aldi segera keluar dari mobil dan membuka pintu untuk Franklin setelah mereka melakukan rapat dengan klien di salah satu perusahaan yang ada di kota Bandung. Franklin tetap melangkah kedua kakinya dengan santai di ikuti oleh Aldi yang ada di belakangnya.
"Sudah ketemu dompet Bapak?"
"Belum."
"Diruangan Bapak?"
"Tidak ada."
"Bapak tidak berniat mencari tahu lagi dimana hilangnya dompet Bapak?"
"Tidak."
"Loh, kenapa Pak?"
"Positif thinking saja. Mungkin tercecer dilain."
"Kalau tidak tercecer dilain, Pak?"
"Mungkin sedang disimpan sama orang yang menemukannya."
"Sebenarnya tadi malam Bapak tidak perlu repot-repot bertamu kerumah saya bawa martabak sebanyak 3 kotak buat istri saya." sela Aldi dengan sopan.
"Itu sebagai tanda terima kasih dari saya. Kamu sudah menolong saya waktu di restoran."
"Tapi Pak-"
"Saya ketoilet dulu. Kerjakan apa yang menjadi tugasmu diruangan."
Dan Aldi terdiam begitu melihat Franklin dengan raut wajah datarnya itu meninggalkan dirinya. Aldi pun tidak banyak bicara lagi segera mengerjakan tugasnya sebagaimana mestinya.
HM Corporation. Pukul 13.30 siang. Jakarta Timur.
Ava baru saja keluar dari toilet setelah menunggu adiknya yang sedang melakukan interview da memakan waktu kurang lebih 30 menit.
Ava menghentikan langkahnya begitu dari jarak beberapa meter melihat Franklin berada didepan matanya. Ia sudah menduga akan bertemu pria itu begitu menemani adiknya yang baru saja lulus kuliah dan mencari pekerjaan.
Sebenarnya ia ingin menolak permintaan adiknya yang ingin ditemani ke HM Corporation, tapi ntah kenapa, hatinya terdorong untuk kemari.
"Pak?"
Tatapan Franklin yang sejak tadi melihat Ava kini teralihkan ke salah satu karyawan yang berprofesi sebagai cleaning service.
"Maaf Pak, ada perlu apa memanggil saya?"
"Em, saya.." Franklin berdeham dengan sikapnya yang santai sambil melawan rasa groginya akibat di lihat oleh Ava dari jauh. Sebuah ide terlintas di pikirannya.
"Ya Pak?"
"Tolong carikan dompet saya."
"Dompet Bapak hilang?"
"Iya, mungkin tercecer di sekitaran perusahaan."
"Baik Pak saya akan coba cari."
Karyawan tersebut akhirnya mengangguk patuh kemudian membalikkan badan untuk menjalankan perintah Franklin.
"Tunggu." cegah Franklin lagi. Akhirnya ia pun segera melangkahkan kakinya mendatangi karyawan tersebut bertepatan saat bersebelahan dengan Ava.
"Ya Pak?"
"Coba kamu cari di toilet juga nanti."
"Toilet? Em maaf Pak, bukankah toilet Bapak ada di ruangan Bapak sendiri ya? Apakah Bapak ada memakai toilet di lantai ini?"
Seketika Franklin terdiam. Padahal sebenarnya ia tidak memikirkan dompet itu lagi. Yang ia lakukan saat ini hanyalah bagaimana cara berbasa-basi agar langkahnya bisa berada disebelah Ava.
"Pokoknya cari saja."
"Baik Pak."
Karyawan itu pun pergi berlalu dengan sopan. Ava merasa grogi. Wajahnya sudah bersemu merah. Franklin sudah berdiri dengan tampan di sampingnya. Aroma tubuh Franklin yang wangi semakin membuat debaran hati Ava deg-degan.
"Vita!"
Vita menoleh kearah Ava begitu Kakak kandungnya itu memanggilnya. Dengan cepat Ava pun pergi meninggalkan Franklin yang tadinya hendak menyapa.
Franklin mencengkram kuat kepalan tangan dibalik saku celananya. Dalam hati ia merasa gemas sama dirinya sendiri kenapa begitu pemalu walaupun hanya menegur seorang wanita yang ia kagumi sejak dulu.
Vita mendekati Ava dan terseyum.
"Sejak tadi aku mencari Kakak, rupanya disini. Kakak habis dari toilet?"
"Iya. Bagaimana interviewnya? Apakah lancar?"
"Alhamdulillah, lancar Kak. Aku tinggal menunggu hasilnya bulan depan."
"Sudah mengisi informasi alamat dan nomor ponsel kamu yang aktip?"
"Aduh.." Vita menepuk jidatnya. "Ya Allah, aku lupa Kak."
"Ada apa?"
"Kemarin aku baru ganti nomor ponsel yang baru. Sedangkan di surat lamaran aku memberi nomor ponsel yang lama. Gimana ya?"
Samar-samar Franklin mendengar suara mereka dan segera mendekatinya. Franklin melihat Vita yang memang sangat mirip dengan Ava dan Franklin tahu keduanya adalah saudara kandung.
"Alamat kamu lengkap dan sudah benar?"
Ava dan Vita menoleh kesamping. Dilihatnya Franklin tetap santai dan raut wajahnya tenang.
"Asalamualaikum, Pak." sapa Vita dengan sopan dan ia tidak menyangka akan bertemu dengan pimpinan tertinggi di HM Corporation. Siapa yang tidak mengenal si Franklin Hamilton di kalangan dunia perusahaan?
"Wa'alaikumussalam." jawab Franklin.
"Alamat saya sudah lengkap Pak."
"Jika kamu di terima di perusahaan ini, bagian HRD akan memberitahumu melalui email atau surat yang akan di tujukan ke alamatmu."
"Iya Pak, terima kasih."
"Ayahmu ada dirumah?"
"Ayah?" Vita mengerutkan dahinya. "Ada apa bertanya Ayah saya Pak?"
"Agar surat tersebut bisa sampai dan diterima dengan baik."
"Ayah saya masih diluar kota Pak."
"Kakak laki-laki atau paman kalian?"
"Ha?" Vita melongo. "Harus laki-laki ya Pak?"
Ava mencubit kecil lengan Vita. Dalam hati ia ingin menegur Adiknya agar jangan terlalu banyak bicara dengan calon atasannya itu. Dan kenapa juga Franklin bertanya seperti itu? Apakah hal itu hanya modus dari pria itu yang sebenarnya ingin kerumahnya?
"Iya."
"Em, Vita ayo kita harus pulang. Kita harus buru-buru karena masih banyak kesibukan." sela Ava cepat dengan gugup.
"Iya Kak," Vita beralih menatap Franklin. "Terima kasih Pak. Semoga saya lulus interview dan bisa bekerja disini. Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Ava dan Vita pergi. Tak hanya itu, Franklin melihat Ava menarik lengan Vita dengan cepat. Tiba-tiba kedua mata Franklin menatap sebuah benda kecil yang berada di lantai.
Beberapa karyawati berlalu lalang dan menatap Franklin sesaat sambil tersenyum tipis. Bahkan diantaranya ada yang tersipu-sipu malu mengapa seorang Franklin bisa berada di area koridor toilet khusus karyawan dan karyawati.
Franklin merunduk hanya untuk meraihnya. Sebuah bros hijab berbentuk huruf A besar yang di hiasi glitter putih. Franklin menarik sudut bibirnya.
"Aku akan kerumahnya dalam waktu dekat."
Franklin itu mau bicara satu kata dua kata sama Ava aja ribet pakai banget saking malunya
Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian ya..
With Love
LiaRezaVahlefi
Instagram
lia_rezaa_vahlefii