Chapter 19

1921 Kata
Hotel Astria, Pukul 12.00 siang. Surakarta. Suara adzan sholat Zuhur berkumandang di ponsel Fandi ketika rombongan keluarga besar Hamilton tiba di kota Surakarta pada pukul 12.00 siang. Saat ini, seluruh keluarga besar Hamilton memilih menginap di salah satu hotel mewah yang ada di kota Surakarta. Ayesha menatap Fandi yang baru saja mengambil air wudhu dan sedang bersiap memakai baju Koko. "Aku akan sholat di mushola yang ada di lantai 1." ucap Fandi sambil menatap istrinya yang kini sedang menghampar sajadah. "Iya sayang. Apakah setelah ini kita langsung ke apartemen Franklin?" "Boleh." Fandi mengangguk. "Tapi cucu kita pada menagih untuk jalan-jalan ke Pandawa Waterwold, bagaimana?" Ayesha memakai mukenanya. Ia sedikit merapikan helaian rambut agar tidak terlihat di dahinya setelah itu ia pun tersenyum kecil. "Yasudah, turutin saja kemauan cucu kita. Sesekali rekreasi keluarga besar tidak masalah kan?" "Tidak masalah. Kalau perlu aku membeli lahan didaerah Jakarta untuk membangun taman rekreasi Waterwold juga buat mereka." Ayesha tertawa sementara Fandi berjalan kearah pintu. "Aku ke mushola dulu ya. Asalamualaikum." "Wa'alaikumussalam." Fandi pun keluar kamar bertepatan saat menantunya Rex Davidson dan Frankie serta cucu tertua Fariz dan Franz sudah siap untuk menuju ke mushola bersama-sama. "Kakek! Nanti jadi kan, ke tempat Om Franklin?" tanya Franz dengan raut wajah berbinar sambil memegang tangan kanan Fandi. Tak hanya Franz, Fariz pun juga ikutan memegang tangan kiri Kakeknya. "Kakek aku mau berenang di  Waterwold! Aku mau berenang bawa bebek karet!" Fandi tersenyum. Ia memegang tangan cucunya di kanan kirinya. "Insya Allah jadi. Kita sholat dulu ya, karena sholat adalah kewajiban setiap muslim. Kalian mengerti?" "Iya Kakek." "Iya Kakek." Rex dan Frankie berada di belakang mereka dan ikut tersenyum melihat interaksi ketiganya. "Kak.." bisik Frankie pelan kearah Rex. "Ya?" "Bagaimana kasus penipuan investasi Daddy sekarang? Apakah sudah ada perkembangan?" Rex menghentikan langkahnya. Sebisa mungkin ia membiarkan mertuanya itu berjalan terlebih dahulu dengan Fariz dan Franz. "Polisi sudah memberikan informasi. Penipuan investasi itu dilakukan oleh 3 orang pria." "Apakah mereka berasal dari Indonesia? Atau luar negeri?" "Indonesia." Rex menatap Franklin serius. "Kita akan bahas ini lagi. Kalau bisa jangan didepan Daddy. Kamu tahu kan, kata Aifa akhir-akhir ini Daddy tidak bisa tidur hanya karena memikirkan hal ini? Jika kita membahasnya lagi, Daddy akan kembali marah besar dan emosinya tidak terkontrol." "Iya aku tahu tentang hal itu. Aku akan berusaha membuat kedua putraku itu menghibur Kakeknya agar tidak terlalu kepikiran." "Frankie? Ray? Ayo! Apa yang kalian lakukan? Jangan menunda waktu sholat. Allah sudah memanggil kita." tegur Fandi nyaring yang kini sudah berada didepan pintu lift. "Iya Dad. Maaf." ucap Rex cepat hingga akhirnya Frankie pun segera mempercepat langkahnya bersama dengan Rex. Apartemen Solo Residen. Pukul 07.00 pagi. Suara tawa canda dengan riang sudah terdengar sejak beberapa menit yang lalu. Franklin menatap Franz dan Fariz yang kini sedang bermain dan berlarian di seluruh ruang tamu apartemennya. Tak hanya itu, Franklin hanya bisa menahan sabar ketika kedua keponakannya itu berlompat-lompat diatas sofa empuknya. Bahkan ia tidak menyangka kalau keluarga besarnya itu akan mendatanginya sepagi ini. Sedangkan si kembar Rafa dan Rafi, keduanya pun duduk diatas karpet berbulu tebal. Disekitar mereka terdapat beberapa mainan bahkan dari jarak beberapa meter, kedua adik Fariz dan Franz yang berusia 3 tahun dan 2 tahun sedang memakan cemilan. Rasanya Franklin ingin menepuk jidatnya kalau sudah para keponakannya ini berkumpul dan menghambur barang-barang apapun di sekitarnya. "Franklin?" Franklin menoleh kearah dapur. Suara Mommy Ayesha memanggilnya terdengar. Franklin menghela napas dan menuju kesana bertepatan saat disana sudah ada Feby, Kakak iparnya. "Ya Mom?" "Kayak gini nih yang Mommy takutkan." "Soal apa?" "Kamu hidup mandiri tapi soal gizi benar-benar nggak sehat." Ayesha berkacak pinggang sambil menatap putranya. Ia pun mengalihkan pandangannya kearah Feby yang baru saja ia perintahkan untuk memasukan satu per satu bahan-bahan masakan dan buah-buahan sehat kedalam kulkas Franklin. "Sebelum sampai disini, Mommy sudah merasa kalau bujangan seperti kamu pasti mengkonsumsi makanan yang tidak sehat dan cepat saji sehingga Mom memutuskan untuk ke minimarket dekat hotel tadi malam bersama Feby dan Aifa untuk membeli bahan-bahan masakan dan buah-buahan ini." "Maaf, aku begitu sibuk sehingga tidak sempat memasak, Mom." sela Franklin. Ayesha menghela napas. "Tolong jangan di ulangi. Kamu itu sekarang pemimpin perusahaan. Kesehatan harus benar-benar dijaga." "Iya Mom, Maaf." "Semua sudah selesai Mom." sela Feby tiba-tiba. "Baiklah, kamu boleh keruang tamu. Makasih ya Nak," Feby tersenyum tipis ia pun segera pergi keruang tamu dan mendatangi putranya. Ayesha mendekati putranya dan mengusap pipi Franklin. "Mommy hanya khawatir dengan kondisi dan kesehatanmu, itu saja." Bukannya menjawab, Franklin malah memeluk erat Mommy kesayangannya. Bahkan ia merindukannya. "Terma kasih, em aku merindukan Mommy. Maaf sudah membuat Mommy khawatir. Doakan acara syukuran launcing perusahaanku berjalan dengan lancar hari ini dan Allah senantiasa memberiku kesehatan." Ayesha tersenyum tipis. "Aamiin. Doa Mommy selalu menyertaimu." 2 Jam kemudian.. Acara syukuran launcing perusahaan terbaru milik Franklin kini berjalan dengan lancar. Pidato singkat selaku pemimpin perusahaan yang di lakukan oleh Franklin pun telah di ucapkan dengan lancar. Acara yang di gelar pukul 10.00 pagi hingga selesai itu di hadiri oleh beberapa rekan pengusaha dari Jakarta dan kota-kota lainnya. Seorang ustadz yang menjadi tokoh agama masyarakat tengah berdakwah yang memakan waktu kurang lebih selama 15 menit diatas panggung yang membahas tentang kunci kesuksesan dengan motivasi semangat pengusaha muda muslim. Franklin tidak menyangka bila ustadz tersebut adalah teman semasa sekolah menengah atas di Bandung bernama Ustadz Muhammad Arif, MA  lulusan Turki. Waktu terus berjalan, kegiatan pembagian hadiah dan sejumlah uang untuk para anak yatim sebanyak 100 anak pun dimulai. Dari jarak beberapa meter, Franklin mengerutkan dahinya. Kedua matanya terfokus dengan salah satu gadis kecil yang ia lihat kemarin siang dengan wanita kedai kopi Van Java saat di lampu merah persimpangan jalan. "Apakah gadis kecil itu anak yatim? Lalu, bagaimana dengan karyawan Anita itu? Apakah hubungan mereka saudara kakak beradik atau ibu dan anak?" Seketika Franklin terdiam. Ia harus bisa fokus dalam acara kegiatan ini. Apalagi sekarang banyak awak media sedang meliput acara launching perusahaanya terbaru. Seorang mc pria dan wanita yang sejak tadi menjadi pemandu pembukaan acara hingga sekarang pun berhasil menciptakan suasana dengan baik. Dari jarak beberapa meter, Fandi dan Ayesha tentu saja berbangga diri sekaligus bersyukur memiliki putra yang sukses dan berhasil seperti Franklin. Hingga akhirnya, Perusahaan produksi pangan atas nama PT. FR Food Jaya pun, telah resmi di buka dengan pimpinan tertinggi Franklin Hamilton. Kedai Van Java, Pukul 21.30 Malam. Dengan telaten Misha membersihkan satu per satu permukaan meja pelanggan kedai menggunakan kain lap dan botol semportan. 60 menit lagi jam tutup kedai akan tiba. Tubuhnya terasa lelah dengan hawa mengantuk. "Sha?" Misha menoleh ketika Anita memanggilnya. Ia pun segera mendatangi atasannya itu. "Iya Mbak?" "Tolong antarkan pesanan hot coffe latte ini ya." Misha menerima uluran kopi yang sudah di kemas kedalam craft paper box berisi 2 cup. "Ini alamatnya. Jangan sampai terlambat ya." "Baik Kak." "Ah ini.." Anita mengulurkan uang selembar Rp.20.000 untuk Misha. Misha tersenyum tipis, dalam hati ia merasa bersyukur mendapatkam tambahan uang sesuai janji Anita ketika atasannya itu menawarkan job mengantar pesanan kopi tanpa kurir aplikasi online. Anita sangat tahu bagaimana Misha sangat membutuhkan uang tambahan dalam hidupnya. "Makasih banyak, Mbak." "Sama-sama." Anita tersenyum tipis. "Semoga besok ada orderan lagi ya, kan lumayan sekali antar Rp.20.000,- untukmu." "Aamiin. Saya berangkat dulu, Mbak. Asalamualaikum." "Wa'alaikumussalam. Hati-hati, Sha." Misha mengangguk dan segera menjalankan tugasnya agar cepat selesai. Misha pun menuju parkiran motor matiknya kemudian mengendarainya. Misha bersyukur ketika alamat yang ia tuju hanya membutuhkan waktu kurang lebih selama 10 menit untuk tiba di tujuan. Sebuah apartemen yang baru pertama kali Misha datangi meskipun sejak dulu ia mengetahuinya dan sekedar melewatinya ketika bepergian. Misha memasuki lobby apartemen setelah mendapat informasi dari petugas penjaga apartemen tersebut. Sesuai instruksi dari penjaga apartemen, Misha pun memasuki sebuah lift dan menekan tombol angka 10. Lift bergerak kelantai atas. Misha memperhatikan jam di pergelangan tangannya ketika sebentar lagi jam akan menunjukkan pukul 21.00 malam. Ting! Pintu lift terbuka. Misha melangkahkan kedua kakinya sambil memegang selembar alamat untuk mencari nomor pintu pemesan kopi. "Nomor 08. Ah ini dia." Misha pun memencet pelan sebuah tombol bel di samping pintu tersebut. Pintu terbuka pelan, Misha memasang raut wajah senyum dengan ramah sebagaimana cara yang ia lakukan setiap bertemu dengan pembeli kopi. "Selamat Malam, Kak. Ini pesanan-" Seketika Misha syok. Ia menghentikan ucapannya dalam sekejap. Tak hanya itu, raut wajah senyuman ramah yang sempat ia perlihatkan tiba-tiba memudar. Perasaan takut, gugup, dan cemas menggelayutinya. Tapi tidak dengan seorang pria yang kini terlihat santai didepan mata Misha. Pria itu adalah Franklin. Misha memperhatikan secarik kertas yang ia pegang. Nama pemesan kopi yang tertera dikertas tersebut adalah Jono dan ia tidak menyangka kalau Franklin menyamarkan namanya. Franklin bersedekap dan bersender pada dinding yang ada disampingnya. Ia hanya tersenyum sinis. "Kopi saya, Mbak?" "Em, i-ini. Ma.. maaf." Tubuh Misha sudah keringat dingin. Kepalanya mulai pusing dan ia sadar sebentar lagi penyakit paniknya akan segera kambuh. Franklin tidak menerima uluran craft paper box kopi dari Misha. Ia malah memajukan langkahnya hingga membuat Misha semakin gugup. Tak hanya itu, keduanya sama-sama saling menatap tanpa berkedip. Misha memundurkan langkahnya bertepatan tanpa sengaja punggungnya mengenai sebuah dinding koridor apartemen. Misha berusaha menguatkan diri. Jangan sampai ia pingsan di tempat yang salah. "Maaf, Kak. Em, ini kopinya." "Saya tidak hanya butuh kopi." "Apakah.. apakah.." Misha meneguk air ludahnya dengan gugup. Kedua matanya sudah berkaca-kaca berusaha menahan air mata. Ia sadar Franklin tidak menyakitinya. Tapi ntah kenapa berdiri berhadapan langsung dengan pria itu membuat ketakutannya semakin menjadi-jadi. "Apakah ada yang kurang? Setahu.. setahu saya, orderan Kakak hanya.. hanya kopi." Franklin tetap santai. Ia malah menaruh tangannya tepat di samping kiri wajah Misha walaupun masih berjarak. Dengan posisi yang sedekat itu, Franklin sadar bahwa wanita gugup dan pucat itu setinggi lehernya, sama seperti Aifa. "Iya, ada yang kurang." "Kalau begitu.. " Misha menarik napas sejenak lalu menghembuskan dengan perlahan karena mengalau rasa gugupnya. "Kalau begitu, em.. saya.. saya akan.." Misha tidak bisa menunda niatnya lagi untuk menjauhi Franklin ketika ia hendak berpindah ke posisi sebelah kanan bertepatan saat Franklin malah menaruh tangannya disana. Bruk! Seketika craft paper box yang Misha pegang terjatuh begitu saja dilantai. Air mata meluruh di pipinya. Dengan posisi sedekat itu, Franklin masih saja santai. "Apa yang kamu sembunyikan dariku selama ini?" tanya Franklin dingin dan tajam. "Ti.. tidak ada Kak.. maafkan saya, saya harus pergi ke kedai untuk.. untuk mengganti kopi Kakak-" "Kamu pikir aku tidak mendengar semua ucapanmu saat di toilet waktu itu?" DEG! Franklin sadar, hanya dengan cara seperti itu keyakinannya semakin benar kalau ada hal yang telah di sembunyikan Misha selama ini. Ntah itu apa. Franklin masih saja tersenyum sinis. Ia pun merunduk untuk mengambil craft paper box kopi miliknya yang untungnya saja tidak tumpah. Franklin berdiri dan memundurkan langkahnya secara perlahan. "Aku bukan seorang pria yang mudah di bohongi.." Franklin menatap name tag yang terpasang di seragam kedai kopi wanita itu. "Misha Azizah." Misha terdiam. Ia tidak menyangka kalau Franklin adalah seorang pria yang tidak bisa di abaikan begitu saja. "Kamu sudah menikah?" Misha terdiam, lalu menggeleng lemah dan Franklin tersenyum angkuh. Baginya, Misha adalah sebuah masalah baru tentang rahasia yang semakin membuatnya penasaran. "Baguslah kalau begitu. Berarti tidak ada halangan buatku untuk terus mendesakmu nantinya." Tiba-tiba Franklin membalikan badannya. Ia pun sudah membuka pintu apartemennya. "Silahkan pergi dari sini." Misha tak banyak berkata-kata lagi ketika detik berikutnya Franklin sudah memasuki apartemennya dan menutup pintunya. Dan Misha pergi dari sana dengan air mata berlinang di iringi rasa jatuh cintanya semakin mendalam dan rasa takutnya untuk bisa mencintai pria itu. Ayo bernapas lah kalian. Sedikit deg-degan gpp kali ya? Makasih sudah baca. Makasih sudah menunggu cerita ini up dengan sabar. Sehat selalu buat kalian. With Love LiaRezaVahlefi Instagram lia_rezaa_vahlefii

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN