Bab 3

741 Kata
Langit mulai kemerahan. Aku bahkan lupa apakah aku makan atau minum sejak datang di ruangan ini. Setelah memeriksa laporan keuangan dan ketersediaan bahan baku untuk beberapa hari ke depan dari managerku, aku memutuskan untuk tidak keluar ruangan. Dari tempat aku duduk, aku melihat langit mulai merah. Senja sebentar lagi pergi dan pemandangan di bawah kafeku akan terlihat begitu indah. City light yang akan tampak sempurna di malam kemarau seperti ini. Aku menghela nafas, melirik almanak, menghitung waktu sejak kepergian Akasia. Sudah dua bulan dan tak ada secuilpun kabar aku dapati. Bodohnya aku! Bukankah aku tidak pernah mencari dan menanyakannya? Dan hanya cukup mendengar dari cerita Sabrina kalau Akasia memang sudah tidak tinggal bersama orang tua angkatnya? "Ibarat memungut sampah, akan selamanya menjadi sampah, meski sudah ditaruh di atas piring berlapis logam mulia sekalipun," ujar Sabrina seminggu yang lalu saat dia mampir ke tempat kerjaku. Seperti saat ini, senja kala itu baru saja turun membaluri wajah Sabrina yang cantik menjadi mirip pahatan para seniman yang begitu indah. Aku bahkan sampai menyesal karena terlambat jatuh hati pada Sabrina dan malah memilih Akasia gadis yang ku anggap telah menipuku dengan kesederhanaannya. "Maksudmu?" Aku menautkan alis. "Intinya kami tidak tahu kalau Akasia ternoda jika saja Mas tidak mengatakan nya pada Ibu dan Bapak," lanjut Sabrina terlihat tanpa beban. "Dia memang pandai bersandiwara dari dulu." Nada suara Sabrina terdengar ketus. Raut iri tidak bisa ditutupi dari sorot matanya. Aku yang bodoh dan tidak tahu kebenaran tentang Akasia hanya mengangguk. Ikut tersenyum sinis untuk Akasia, wanita yang kuanggap telah membohongiku dengan liciknya. "Aku senang dia pergi, Mas." "Bukankan dia saudaramu juga meski saudara angkat." Sabrina tertawa hambar "Dari awal aku tahu Akasia wanita licik. Selain Papa, Aku dan Mama membencinya." "Harusnya tidak seperti itu, Na. Meski pun dia saudara angkat bagimu tapi tetap kalian bersaudara. Saat orang tuamu memutuskan untuk mengangkat nya sebagai anak," timpalku di luar dugaan Sabrina. "Sejak kapan Mas mulai perduli padanya?" Mata Sabrina menatapku tajam. "Mau mengulang kesalahan kedua kalinya dengan kembali jatuh hati pada wanita penipu itu?" Aku menggeleng pelan. Berusaha menjauhkan wajahku saat Sabrina dengan senyuman manja menatapku. "Akasia telah pergi dengan aibnya, kini akulah yang akan menjadi ratu dalam hidupmu. Tersenyum dan sambut hari indah kita." Sabrina melingkarkan tangan di pinggangku yang berusaha kutolak dengan halus. "Lupakan Akasia, hapus seluruh jejaknya dalam hidupmu, Mas." Suara Sabrina tandas dan penuh penekanan yang aku balas dengan anggukan yakin. Astaghfirullah. Sekejam itukah kamu, Angkasa Aditya? Hatiku menggerimit pilu, baru sadar kalau aku telah begitu banyak menyakiti Akasia. Suara adzan dari mushola perkampungan terdengar samar ke tempat aku berada sekaligus mengusir bayanganku tentang Sabrina. Aku beranjak menuju air untuk mengambil wudhu dan solat di mushala kafe bersama karyawan pria, berharap rasa gelisah ini segera pergi. "Pak, silahkan." Heru, salah seorang karyawanku mempersilahkan untuk menjadi imam. Ada beberapa karyawan pria yang kebetulan solat di mushola. "Kamu saja." Aku menggeleng sambil tersenyum mempersilahkan Heru saja untuk memimpin solat. Bukan tidak bisa, tapi aku merasa tidak pantas. Pria pecundang ini tidak pantas berdiri memimpin salat, biarkan pria b******n ini menjadi makmum saja. Solat Maghrib kali ini terasa sangat berbeda. Aku merasa mataku terasa hangat saat dengan syahdu, Heru membaca ayat demi ayat dalam suaranya yang begitu jernih. Sujudku terasa panjang dan penuh, dalam harap yang begitu dalam, aku meminta pada Sang Pemilik hati agar mengembalikan Akasia dalam hidupku. *** Sehabis solat Maghrib, aku memutuskan untuk keluar City light di bawah sana dan dinginnya angin malam Minggu serta suasana kafe yang cukup ramai dengan pengunjung tidak membuat suasana hatiku berubah. Tetap sepi dan hampa, bayangan Akasia terus menari seolah memaksaku untuk terus berlari mengejarnya. Aku mengeluarkan ponsel dari jaketku. Untuk kesekian puluh kalinya aku mengirim pesan pada nomor kontak Akasia meski tidak pernah sampai apalagi terbalas. Poto profil Akasia yang selama ini menampilkan wajahnya yang tersenyum kini berubah menjadi bayangan hitam tanpa senyum dan tanpa makna. Akasia memblokir nomor ponselku! Akasia menepati janjinya, pergi jauh dari hidupku dan mungkin tidak pernah kembali. Aku menghela nafas, langit terasa kian gelap, suara life music di panggung kafe yang terdengar sampai ke tempatku berada seolah mengelus hatiku yang sepi menjadi semakin sepi. Akasia, pulanglah. Aku kembali mengetik kata itu entah untuk sekian ratus kalinya sejak aku sadar kalau Akasia ternoda oleh ulahku. Pesan yang bahkan aku tahu tidak akan pernah sampai dan terbalas, pesan yang aku pun sadar tidak pantas diberikan oleh pria pecundang sepertiku. Aku tahu Akasia, aku tidak pantas memintamu pulang, tapi aku rindu padamu. Akasia, aku rindu ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN