"Untuk Apa hijabmu jika tubuhmu kotor dan tidak suci? Menutupi aib dan jejak dosamu di masa lalu? Dasar Penipu!"
Sepi. Akasia tidak menjawab dan hanya terisak.
"Ka-kamu, sudah tidak suci lagi kan, Akasia?" Aku kembali menatap nanar wanita yang tampak pucat pasi di hadapanku dan berusaha keras menutupi lengan dan bahunya yang terbuka.
Aku tidak menduga, wanita yang kuanggap suci dan tak ternoda itu ternyata...sudah tidak perawan!
Aku mendapati istriku yang lembut, anggun dan berhijab lebar itu ternyata sudah tidak suci! Aku juga tidak menyangka wanita yang aku anggap indah bak mutiara itu ternyata hanya perempuan hina dan kotor!
Memuakkan!
Aku meremas rambut dengan geram dan sakit. Malam ini, malam di mana seharusnya menjadi malam paling bahagiaku sebagai suami dan pria sejati, berubah menjadi malam penuh penyesalan dan kebencian. Aku kecewa, sakit sekaligus murka.
"Siapa yang pertama menyentuhmu sebelum aku, Akasia?" Suaraku menggelegar, menembus malam yang sepi. Persetan, jika ada orang yang mendengar.
"Siapa yang pertama memiliki tubuhmu selain aku, pria yang mengucap janji suci yang dipersaksikan langit dan bumi?" Kembali gelegarku tidak sanggup menutupi rasa benci yang tiba-tiba naik sampai ke otak.
Akasia terisak. Dia tidak menjawab tanyaku, menunduk dalam bisu yang aku rasa makin memuakkan.
"Jawab, Akasia!"
Aku mendorong keras tubuh istriku dengan perasaan marah.
"Aku tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa, Mas. Aku...."
"Penipu!"
Aku menggeleng dan menudingnya.
"Aku tidak menduga dibalik penolakanmu dan sikapmu yang selalu menghindari malam pertama ini, ternyata kamu menyimpan kebusukan. Aku pikir kamu gadis lugu dan polos ternyata kamu perempuan jalang dan liar!"
"Mas, aku...aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan keadaanku. Sampai segalanya terjadi tanpa sempat aku bercerita padamu," Isak Akasia.
"Alasan!"
Aku mendengus keras. Meraih jaket dan memakainya dengan tergesa. Aku ingin pergi malam ini sejauh yang aku bisa.
"Selain pandai bersandiwara, kamu juga pandai merangkai kata. Sekarang aku tidak butuh penjelasan darimu."
"Dengarkan aku sebentar saja, Mas." Akasia tersedu.
"Kamu tidak harus menjelaskan apapun padaku, kamu hanya perlu mengatakan siapa pria b******n yang sudah menyentuh mu sebelum aku. Jawab!"
Untuk pertama kalinya Akasia tengadah. Wajah cantiknya penuh air mata.
"Sampai kiamatpun, aku tidak bisa mengatakannya. Aku...aku tidak tahu!"
"Cukup! Pergi dari hidupku malam ini juga."
Telunjukku lurus ke arah pintu. Aku muak dengan dusta ini, aku muak karena untuk pertama kalinya ada wanita yang berani menipuku dengan begitu sempurna.
"Kamu tidak memberiku waktu untuk menjelaskan? Kamu tidak mau membuka telingamu walau sesaat?" Akasia terisak.
Aku menggeleng.
"Simpan dustamu buat pria bodoh lainnya. pergilah dari hidupku dan...jangan kembali lagi."
Suasana hening. Akasia menyeka sudut matanya. Tanpa melirikku lagi, dia bangkit.
"Aku akan pergi dan tidak akan pernah kembali. Kau Suamiku, satu- satunya pria yang aku anggap tulus mencintai dan mau mendengarkan aku, tenyata sama saja."
Aku menelan ludah.
"Kamu sama saja dengan mereka yang tertawa dan menghujat atas noda yang tidak aku lakukan. Kamu...kamu sama seperti mereka yang telah membuangku sejak lama. Terimakasih karena pernah menjadi bagian dalam hidupku. Maafkan wanita kotor yang telah singgah dalam hidupmu. Permisi!"
Aku membisu, membiarkan Akasia membereskan baju- bajunya dalam tas.
"Selamat tinggal." Suara Akasia sendu. Aku sebetulnya ingin perduli, tapi bara di dalam d**a rasanya tak mampu aku padamkan, kubiarkan tubuh wanita dengan wajah lembut dan senyum sendu itu berlalu. Lebih baik kisahku dengan wanita penipu itu usai bukan?
Tubuh itu perlahan berlalu. Meninggalkan malam yang terasa kian sepi dan sunyi. Meninggalkan sisa tetes air matanya di ranjang pengantin kami.
***
"Aku bersedia jadi pengganti Akasia, Mas. Aku mungkin janda beranak satu, tapi aku tidak munafik." Suara Sabrina mengiang kembali. Untuk kesekian kalinya wanita itu datang dan menggedor hariku meminta kesempatan untuk menggantikan tempat Akasia dalam hidupku.
Aku mendesah. Aku tidak bisa lagi berlari dari rayuannya. Rasa benciku pada Akasia membuat aku mantap menggantikan sosoknya dengan Sabrina, saudara angkat Akasia.
"Baiklah, aku bersedia," jawabku setelah sekian lama memikirkan. Rasa muak pada Akasia memaksaku memilih Sabrina dan berharap rasa benciku pada Akasia, wanita sok suci
yang telah merebut hati dan jiwaku segera pergi.
"Betulkah, Mas? Ibu pasti bahagia. Ibu pasti senang, Mas kembali menjadi bagian keluarganya. Seperti dirimu, Ibu dan Bapak juga sudah menganggap wanita penipu itu mati."
Aku mendesah. Entah mengapa kalimat Sabrina terasa mengusik hatiku. Kalau orang tua Akasia telah menganggap nya mati, lalu dimana dia? Kalau orang tuanya ikut murka dan menutup hati, lalu bagaimana kisah Akasia saat ini?
Aku menghembuskan nafas. Setelah sekian lama menutup rapat pintu hatiku, mengapa kini aku tiba-tiba perduli?
"Aku akan datang di rumahmu sebagai istrimu. Aku tidak mau ada jejak Akasia di sana, bereskan dan buang semua miliknya yang tertinggal!" Kata- kata Sabrina senja tadi mengiang kembali. Waktu seolah berputar begitu cepat, tiba- tiba saja aku memutuskan Sabrina yang akan menjadi istriku setelah Akasia pergi.
Ingat permintaan Sabrina dan Ibu, aku bergerak ke arah lemari pakaian Akasia. Karena terkunci aku akhirnya membuka dengan paksa. Akasia pergi dalam tangis dan terburu-buru, dia tidak membawa semua pakaian nya. Bahkan benda- benda kecil kesayangannya masih tersimpan rapi di sudut lemarinya.
Perlahan tanganku mengambil baju Akasia dan memasukkannya ke kopor untuk disimpan di gudang. Tak tega sebenarnya, tapi ini lebih baik. Dengan memindahkan baju Akasia, aku berharap rasa cintaku juga ikut pergi.
Tak banyak baju Akasia yang tertinggal, dengan cepat aku memindahkannya ke dalam kopor besar yang biasa kupakai pergi jauh, pun benda-benda kecil dengan teliti ku masukan juga. Sampai....
Tanganku terhenti pada sebuah buku diary merah hati dan liontin yang rasanya begitu aku kenal. Liontin yang aku simpan sampai saat ini. Dadaku gemuruh.
Gemetar tanganku Menilik benda kecil yang tampak berkilau di bawah sinar lampu di kamarku. Betul, ini adalah Liontin yang sama dari gadis bertahun silam yang....aku nodai!
Dengan d**a gemetar, aku membuka buku Diary merah hati yang terasa dingin dalam genggaman. Buku yang aku tahu begitu berarti bagi Akasia karena dia menyimpannya begitu rapi dan tidak mudah ditemukan.
Mataku perlahan mengeja kata demi kata dengan perasaan tak karuan.
Sampai di ujung sebuah lembar yang tulisannya terlihat buram karena tetesan air mata, dadaku seolah berhenti berdenyut.
"Sabtu, saat senja menjelang punah, di sebuah jalanan sepi yang dipenuhi pohon bambu, aku baru saja mengambilkan kue pesanan saudara angkatku, saat sosok yang tidak aku kenal menarikku dengan paksa. Menjamah dan menyentuhku tanpa sanggup aku melawan, sekuat tenaga aku menolak dan memberontak. Pria yang aku yakini mabuk dan gila itu berhasil membuatku terhina dan meninggalkan jejak noda dalam hidupku.
Sejak hari itu, hidupku hancur dan tak lagi berwarna. Sejak saat itu, jiwa Akasia telah mati dan mungkin tidak akan bernafas kembali..."
Rumpun bambu? Senja menjelang malam di hari Sabtu? Gusti Allah...ingatanku terbang pada peristiwa bertahun silam saat aku berjalan di sana dalam keadaan setengah mabuk gara-gara tanpa sepengetahuanku, teman-teman satu gankku menaruh sesuatu di minumanku.
Aku masih ingat teriakan wanita yang mencaciku, mencakar dan menendangku dengan liar, sampai akhirnya saat tenaganya tidak bersisa, dia memohon dan menangis untuk tidak kunodai.
Lutut dan jiwaku mengigil, liontin dan buku diary merah hati jatuh begitu saja menyisakan jeritan pilu dan penyesalan di hatiku.
Akasia, akulah pria yang telah menyentuh dan menodaimu waktu itu. Akulah pria b******n itu!
Liontin dalam genggamanku terasa dingin dan sepi, dalam lautan rindu dan penyesalan yang sulit kulukiskan, gemetar aku memanggil wanita yang kini keberadaannya entah di mana.
Akasia, akulah pria durjana yang telah menodaimu senja itu, akulah yang telah membuat nafas dan jiwamu mati, akulah pria b******n itu, Akasia!
Aku ambruk. Air mataku mengalir laksana air bah di waktu hujan. Aku terkapar, jiwaku rasanya mati dalam sejuta penyesalan yang aku rasa mungkin tiada berarti lagi.