Menikahi Gadis Wasiat Ayah
Mex Collin adalah seorang pria tampan dengan tubuh tinggi dan gagah yang sukses dalam studi dan karir, kini sedang menatap dirinya di dalam cermin berukuran jumbo yang menampilkan ujung kaki hingga ujung rambut. Mata coklatnya berkaca-kaca menahan genangan air yang sudah mendesak ingin keluar. Salivanya terasa pahit dan tersangkut di tenggorokan. Susah payah dia berusaha menelan tapi tak mampu melewati kerongkongannya. Tidak ada tempat yang bisa dia datangi untuk menyuarakan sakit hati yang saat ini melandanya. Ini adalah hari pernikahannya. Momen yang seharusnya menjadi hari paling bahagia kini telah berubah menjadi momen paling menyakitkan dari semua yang pernah dia alami setelah kehilangan ayahnya, Marthin Collin.
"Hari ini aku akan menikah, dad," ucapannya lirih dan masih menatap diri yang sedang rapuh dan hancur. Air matanya akhirnya mengalir tak terbendung. Dengan cepat dia menyeka karna ingin selalu terlihat tegar.
"Tapi bukan dengan wanita yang ku cintai, dad," lirihnya sekali lagi, setelah terdiam beberapa saat, air matanya kembali mengalir dan tak henti.
"Tapi ini yang Dady inginkan, kan? Dia menantu yang Dady harapkan hadir dalam rumah kita. Dady pasti senang bisa melihatku menikahi gadis pilihan kalian, aku yakin kau pasti tersenyum sekarang." Dia tertawa sumbang ditemani air mata. "Come on, man. Your dream come true," Ucapnya lagi menekan kalimatnya.
"Mungkin kalau Dady masih disini, rasa sakit ini bisa sedikit berkurang. Tapi nyatanya Dady tidak ada disini." Tangisnya semakin pecah. Sekali lagi dia menyeka air matanya sebelum akhirnya memasukkan kedua tangannya kedalam kantung celana.
"I am sorry dad, Aku tidak bisa pura-pura bahagia, semua ini membuatku tertekan. Tapi semua ini akan kulakukan hanya demi Dady dan Mami," Hidungnya mulai tersumbat setelah mengabiskan beberapa saat untuk menangis. Dia menghapus air matanya dengan cepat dan mengambil tissue basah untuk membantunya membersihkan wajahnya. Setelah memastikan dia terlihat baik, dia menyisir kembali rambutnya yang sebenarnya masih rapi. Namun matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan yang sedang merudungnya. Mata merah dan sebab akibat menangis kini terlihat jelas disana.
Tok tok tok.
"Are you ready Mex?" Dia mendengar suara ibunya-Emma Collin, dibalik pintu.
"Yes, mom." Jawabnya setelah menghela napas panjang. Walau bagaimanapun, dia tidak ingin merusak mood dan kebahagian Emma hari ini. Emma membuka pintu dan segera masuk dengan wajah penuh haru. Dia menatap putra tunggalnya itu dengan tatapan bangga dan penuh bahagia.
"Kau persis seperti Dady mu ketika dia seusia mu." Emma tak henti menatap netra coklat milik Mex. Mata coklat itu diturunkan darinya. Hanya itu yang dia wariskan untuk Mex, sisanya semua dia dapatkan dari ayahnya.
"He is my dad, mom," Jawab Mex dengan senyum yang terasa pahit.
"Dan aku bersyukur karena dia telah memilihku untuk melahirkan mu." Emma terharu sampai menitikkan air mata, namun sebuah senyuman masih terbentang di wajah cantiknya.
"Dan aku lebih bersyukur terlahir dari kalian, mom," Suara Mex terdengar berat karna menahan sakit hatinya yang terasa kian mencekik.
"Terimakasih telah menjadi kebanggaan kami, Mex. Percayalah kami sangat mencintaimu, dan gadis ini, kami yakin dia adalah anugrah dari Tuhan untukmu. Mami mohon padamu, sayangi dia seperti dady menyayangi mami," Ucap Emma penuh harap. Mex terdiam beberapa saat sambil menatap wajah ibunya. Jauh di hati kecilnya sangat tidak ingin membuat wanita itu terluka.
"Kau bisa melakukannya kan?" Emma kembali menitikkan air mata.
"Don't cry mom. I don't like that," Mex menghapus air mata Emma. Dia mengecup kening wanita itu lalu memeluknya dengan erat.
"Oh may God, I try, But I can't." Emma membalas pelukan Mex dengan erat. Mex berkali kali mengecup kepala ibunya penuh kasih sayang. Jauh didalam lubuk hatinya sangat ingin membahagiakan wanita yang telah menjadi cinta pertamanya ini. Tapi dia tidak pernah berharap kalau dia harus menderita, bahkan mengorbankan masa depan agar bisa melihat ibunya bahagia.
"Semoga pernikahan mu penuh berkah Mex. Mami doakan kalian langgeng hingga maut memisahkan. Ayahmu pasti sangat bangga melihat semua ini." Ucap Emma disusul isak tangis.
"Mom." Mex semakin menekan rasa sakitnya. Mex melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya.
"Baiklah. Seperti yang kalian inginkan. Tugasku adalah menikahinya, tapi aku mohon cukup sampai disitu. Aku tidak punya tanggung jawab lain dan aku mohon jangan menuntut ku lebih banyak lagi," Mex terlihat menyatukan kedua tangannya. Emma tau berdebat dengan Mex saat ini terlalu egois. Tapi dia tetap yakin cepat atau lambat Mex pasti akan jatuh cinta setelah menikahi gadis pilihan mereka nanti. Emma tidak menjawab. Dia hanya mengelus wajah Mex dengan kedua tangan lalu merapikan rambutnya. Setelah meyakinkan hatinya kalau putranya itu baik-baik saja, dia mengecup keningnya lalu tersenyum.
"Ayo. Semua orang sudah menunggu kita," Ucap Emma dengan lembut.
Darahnya terasa hangat dan mengalir lebih deras, debaran jantungnya semakin tak terkendali seakan memaksanya untuk berteriak. Namun semua tertahan setiap kali dia menatap ibunya. Meski dengan langkah yang sangat berat, dia mengikuti langkah ibunya menuruni anak tangga hingga tiba didepan para tamu. Aula itu sudah dihiasi bunga dan balon serta pita-pita yang indah. Aroma mawar tercium sangat wangi membuat semua tamu merasa nyaman bagaikan di surga. Pencahayaan yang indah dan sangat sesuai sudah diatur sedemikian rupa sehingga orang-orang yang ada disana benar-benar tidak merasa bosan. Mex melirik kearah pintu masuk yang dijaga oleh gadis-gadis cantik memakai dress senada berwarna merah dengan tinggi dan berat badan yang terlihat sama. Wajar saja mereka disebut pagar ayu. Don, sahabat baiknya bahkan sempat menyebut itu pintu surga yang dijaga oleh bidadari. Senyuman mereka memancarkan kehangatan penuh kebahagiaan.
"Seandainya kamu ada disini, Celine. Aku pasti sudah menjadi orang yang paling bahagia saat ini," Batin Mex. Tanpa sadar dia kembali meneteskan butiran bening. Dia dengan cepat menyadari dan menyeka air matanya. Para tamu berpikir bahwa tangis Mex itu karna terharu dengan keindahan dekorasi pernikahannya. Tidak satupun di antara mereka yang tau tekanan batin yang dialami Mex hari ini. Bahkan Don, sahabat terbaik dan satu-satunya harapannya saat ini tidak bisa memahaminya. Don lebih memilih untuk membantu Emma dalam melancarkan acara pernikahannya daripada membantunya untuk membujuk Emma membatalkan. Mex mengalihkan pandangannya pada sudut lain yang menampilkan hidangan makan untuk para tamu, itu terlihat sangat mewah dan menggiurkan. Namun tak sedikit pun sanggup mengunggah selera makannya.
"Apakah kita akan berakhir seperti ini?" Batin Mex tak bisa berhenti memikirkan Celine-kekasihnya. Host yang memandu acara pernikahannya telah mengucapkan banyak kalimat dari tadi. Tapi tidak satupun kata yang bisa didengar baik olehnya. Emma menyentuh lengan Mex untuk mengembalikan fokusnya. Saat dia tersadar semua orang sudah berdiri dan bertepuk tangan. Dia menoleh kearah pintu masuk, jantungnya berdetak berkali-kali lebih cepat dari biasanya. Kakinya terasa bergetar seakan tak mampu menopang tubuhnya tatkala melihat seorang wanita cantik muncul dengan balutan gaun putih panjang yang mengembang dihiasi mutiara-mutiara kecil. Kulitnya putih bersinar membuat gaunnya terlihat sangat serasi di kulitnya. Bibir mungil yang dipoles dengan lipstick berwarna nude itu membuat wajahnya terlihat natural. Mahkota kecil yang menghias rambutnya seakan mewakili keindahan hatinya. Semua mata terpana dan terpesona melihatnya. Banyak pujian dan sanjungan yang terdengar mengagumi kecantikan gadis itu. Decak kagum tak hentinya terdengar dari bisikin para tamu. Tatapan haru hingga ucapan syukur tak terlepas dari telinganya. Sorak bahagia dan tepuk tangan tak henti-hentinya memenuhi seisi penjuru ruangan aula hingga gadis itu tiba di depan Mex. Dia adalah Sarah Meghan, gadis yang sudah di jodohkan dengan Mex sejak mereka masih kecil. Kedua orang tua mereka yang sudah bersahabat baik sejak masa muda sudah membuat kesepakatan jauh sebelum orang tua Sarah meninggal dunia. Gadis cantik itu menunduk tak menampilkan ekspresi jelas. Mex membuang wajah seakan enggan bertatapan dengannya.