1 | Making Love (?)

3085 Kata
"Tidak selamanya membuktikan bahwa dekat harus selalu terikat." —The Endless Love ••• "Delta bangun! Mau sampe kapan lo terus tidur dan nggak akan masuk kampus hah? Mrs. Ketty udah 2x nanyain tugas lo. Mr. Adnan juga udah meringatin gue kalau sekali lagi lo nggak masuk—"  "Iya-iya, Na. Kalau sekali lagi gue nggak masuk dia gak bakal ngizinin gue ikut UAS, right?" "Right! Jadi, sekarang cepet bangun karena perkuliahan bakal di mulai 30 menit lagi," jelas Deana. Selalu saja begini. Tiap pagi ia harus datang ke apartemen dan jika bukan karena lelaki bodoh ini adalah temannya sejak kecil, Deana tidak sudi membuang waktunya hanya demi membangunkan Delta. "Fine! Gue bangun!" ucap lelaki berusia 22 tahun itu sambil menyibakkan selimut dan beranjak dari kasurnya. Satu lagi yang selalu menjadi menu sarapan Deana setiap pagi. Delta selalu tidur dengan keadaan telanjang d**a, membuatnya mau tak mau harus terbiasa melihat tubuh sispack pria itu. Delta memang sering ng-Gym, jadi wajar kalau tubuhnya sangat mempesona dengan perut kotak-kotak dan otot yang terbentuk sempurna.  "Udah ngeliatin guenya?" tanya Delta memecah lamunan Deana.  "Lo bisa nggak sih, kalau tidur pake baju?" protes Deana refleks. "Kenapa? Lo terpesona?"  "Nggak."  "Bagus. Kalau gitu bukan masalah gue tidur pake baju atau nggak," ujarnya menyebalkan. Gadis berusia 21 tahun itu mengembuskan napasnya berat. "Terserah apa kata lo. Gue tunggu di bawah!" Ia berbalik kemudian melenggang pergi dari kamar lelaki itu. Terpesona? Sama sahabat sendiri? are you f*****g kidding me?! protes Deana dalam hati. Jika yang melihat Delta adalah orang lain, mungkin kemungkinannya adalah iya. Atau jika yang Deana lihat adalah lelaki lain, bisa jadi dirinya akan terpesona. Tapi Delta? Tidak sedikitpun.  ••• Delta memarkirkan mobilnya di parkiran kampus. Keduanya keluar dari mobil dan berjalan seperti biasa. Hampir semua penghuni gedung fakultas tahu jika Delta dan Deana sudah berteman sejak kecil, jadi walaupun pria itu merangkul Deana semaunya, tidak akan ada yang menganggap mereka sebagai sepasang kekasih. Sekalipun mimpi buruk itu terjadi, mereka —terutama fans Delta— tidak akan pernah setuju karena Deana tidak sebanding dengan pangeran mereka. Hanya Kena, cewek paling cantik dan popular di kampus lah yang cocok dengan Delta. Bahkan menurut gosip yang beredar, mereka akan melangsungkan pertunangan sebentar lagi. Perfect!  Delta melepaskan rangkulannya saat seorang gadis cantik menghampiri mereka.  "Karena calon tunangan lo datang, gue ke kelas duluan," bisik Deana lalu melenggang pergi tanpa menunggu jawaban cowok tersebut. Saat melewati Kena, gadis itu tersenyum manis ke arahnya. Deana hanya membalasnya dengan senyum tipis dan melanjutkan langkahnya.  Kalau boleh jujur, sejak awal dirinya tidak pernah menyukai gadis itu. Entahlah, dari sekian banyak cewek yang Delta kencani baru kali ini ia tidak setuju. Tapi, melihat Delta yang begitu mencintai Kena sampai berencana untuk tunangan, Deana tak sampai hati untuk mengatakannya. Lagipula, suaranya tidak penting bagi Delta. Sekalipun ia mengatakan tidak setuju, cowok itu tidak akan mungkin mau mendengarnya.  "Hai sayang. Kemana saja?" tanya Kena menggelayut manja seperti biasa. Dan naasnya, Delta menyukai sifat manja cewek itu.  "Kangen sama aku, hm?"  "Ya iyalah! Beberapa hari ini kamu nggak ngampus. Kemana?"  "Aku lagi malas pergi ke kampus," jawab Delta enteng.  "Meskipun Deana membangunkan kamu setiap pagi?"  "Ya. Walau dia membangunkanku setiap pagi."  "Kamu kasih Deana akses bebas keluar masuk apartemenmu. Kenapa aku tidak?" Kenna mulai memasang wajah cemberutnya.  "Kamu cemburu sama Deana?"  "Of course! siapa yang nggak cemburu kalau calon tunangannya sendiri lebih dekat dengan cewek lain?"  "Kenna, Deana bukan cewek lain. Dia sahabat aku," ralat Delta tidak suka. "Ya ya ya. Aku sudah sering mendengarnya dari mulutmu."  Cup! Delta mencium bibir Kenna sekilas. "Jangan cemburu lagi, Okay? Aku sayang kamu."  "Delta?"  "Apa sayang?"  "Ta, kita harus bicara," ujar Kenna dengan wajah serius. "Sekarang?"  "Iya."  "Okay. Taman belakang kampus?" Kena mengangguk. Mereka pun berbelok dan berjalan menuju taman belakang kampus. Hari ini, sepertinya Delta tidak akan masuk mata kuliah pertama lagi. ••• Deana meraih ponselnya ketika sebuah pesan masuk di layar ponselnya.  Δ : Na, gue nggak bakal masuk jam pertama. Ada urusan sama Kenna. Titip tanda tangan ya.  Ia hanya membacanya dan meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula tanpa berniat membalasnya. Itu bukan pertamakalinya dan Deana sudah sangat muak! Semenjak pria bodoh itu berpacaran dengan Kena, semuanya berubah. Delta jarang masuk kampus dan sering menghilang di jam mata kuliah. Tugas-tugas kampus pun lebih banyak dikerjakan oleh Deana. Bukannya Deana terlalu baik, tapi keluarga Delta sudah terlalu banyak membantunya. Bahkan yang membiayai kuliahnya selama ini adalah keluarga Delta. Jadi, anggap saja dengan mengerjakan tugas-tugas pria itu, sebagai balas jasanya.  Deana menghela napasnya berat. Andaikan kecelakaan itu tidak pernah terjadi, mungkin sekarang dirinya masih bisa berkumpul dengan keluarganya. Ia tidak bisa membayangkan saat wisuda nanti, semua orang tua akan hadir melihat anaknya lulus. Sedangkan dirinya? Siapa yang akan mendampinginya? Sepertinya tidak ada.  Deana bukan tidak mempunyai saudara. Mereka ada. Hanya saja di tempat yang jauh. Dan saudaranya pun bukanlah orang punya. Ia tidak yakin bahwa om dan tantenya akan datang meskipun mereka sudah berjanji. Deana tidak ingin memberikan beban lebih berat kepada mereka dan tidak ingin menyusahkan siapapun. Cukup keluarga Altheraldo saja.  Empat puluh lima menit berlalu, Ponselnya kembali menyala. Deana melirik dosen yang sedang sibuk dengan laptopnya. Memastikan bahwa ia tidak menangkap basah dirinya sedang bermain ponsel. Tamat sudah riwayatnya jika sampai hal itu terjadi.  Lagi-lagi, sebuah pesan masuk datang dari Delta.  Δ : Gue nggak akan masuk kelas sampai jam pelajaran terakhir. Lo pulang sendiri gak papa, ya? Kunci mobil gue titip sama Budi.  Lagi, Deana menghela napasnya dalam. Gadis itu sudah merubah Delta sepenuhnya. Ia hanya berharap bahwa Kena tidak sampai merubah sikap Delta padanya. Takut pria itu menjauh? Tapi, kenapa?  ••• Sejak pulang kuliah siang tadi, Deana masih belum beranjak dari apartemen Delta. Pria itu tidak juga pulang bahkan ponselnya tidak aktif sama sekali. Deana ingin pulang, tapi ia mencemaskan pria itu. Takut jika sesuatu terjadi karena tidak biasanya Delta seperti ini. Apakagi jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi belum ada tanda-tanda cowok itu pulang.  Deana terperanjat ketika ponselnya menyala. Ia pikir itu dari Delta, ternyata dari Mamanya. Ralat, Mamanya Delta.  "Sayang kamu dimana? Kenapa belum sampai?" tanya wanita paruh baya tersebut disebrang telepon. Deana bisa merasakan kecemasan yang dirasakan oleh Mamanya Delta.  "Anna masih di apartemen Delta, Ma. Anak mama belum pulang sejak tadi siang. Ponselnya tidak aktif. Anna cemas terjadi sesuatu sama Delta. Jadi, Anna nunggu dia di sini."  "Pergi dengan Kenna?"  "Anna nggak tahu, Ma. Delta cuman bilang dia nggak akan masuk kelas dan nyuruh Anna buat pulang sendiri bawa mobil," jelas Deana.  "Dari awal Mama tidak pernah suka dengan gadis itu. Kenapa kamu tidak melarang Delta untuk berhubungan dengan gadis itu, Anna?"  "Ma ... jangan berkata seperti itu. Anak Mama sangat mencintai Kenna. Dan lagi, mana mungkin Anna melarang Delta untuk berhubungan dengan gadis itu. Anna bukan siapa-siapa, Mama. Dia tidak akan mau mendengarkan ucapan Anna." Dari sebrang, Deana bisa mendengar helaan napas Mamanya.  "Kamu benar. Baiklah, hubungi Mama segera jika Delta sudah pulang. Ya?"  "Iya, Ma."  Setelah mengatakan itu, sambungan telepon pun terputus. Deana memeluk lututnya sendiri. Hatinya sama sekali tidak tenang. Cemas? Khawatir? Tentu saja! Delta adalah sahabatnya. Wajar bukan jika bersikap seperti itu? Tak berapa lama, Ponselnya kembali menyala. Kali ini nomor tidak di kenal manggil di layar ponselnya.  "Ha—" belum selesai Dena berucap, suara di sebrang memotong kalimatnya. "Hallo Deana? Ini gue Alden. Lo bisa jemput Delta, gak? Dia mabuk berat," tuturnya di sebrang telepon. "Haah? A—apa? Delta mabuk? Kenapa bisa?" Deana hampir saja menjerit. Delta tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya.  "Gue nggak bisa jelasin di telepon. Mending lo jemput Delta sekarang. Dia makin ngeracau nggak jelas."  "Kenapa nggak lo aja yang nganterin dia pulang?"  "Kalau nih cowok mau, gue udah seret dia dari 2 jam lalu. Tapi dia keukeuh nggak mau balik dan terus sebut nama lo. Makanya gue nelpon lo."  Sebut nama gue? But, why?  "Ok ok. Dimana?"  "...." Alden menyebutkan sebuah club malam yang cukup terkenal.  "Tahu, kan?"  "Iya. Gue jalan sekarang." Tut tut tut ... telepon pun terputus.  Deana langsung bangkit dari duduknya, berjalan ke kamar Delta dan mengambil jaket hitam cowok tersebut. Jaket, kaos putih, celana jeans? Ia tidak peduli dengan penampilannya saat ini. Yang terpenting adalah Delta.  ••• Deana mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru dan tak lama matanya menemukan pria itu. Ia berjalan mendekati meja tersebut dan menghampiri Delta yang sedang bersama Alden.  "Delta kenapa bisa sampe mabok gini?"  "Ceritanya panjang. Lo bisa tanya ke dia kalau udah sadar nanti," kata Alden.  "Anna, Gue muak sama Kenna tapi gue cinta sama dia," racau Delta.  "Anna lo dimana? Gue butuh lo," racaunya lagi.  "Delta gue di sini. Lo kenapa, hah?"  Delta menoleh pada Deana. Memandang gadis itu sesaat lalu berdiri dari posisinya dan langsung memeluk tubuh mungil itu. Deana hampir saja kehilangan keseimbangannya jika tidak ada sofa di belakangnya.  "Gue cuman mau Kena. Tapi dia malah mutusin gue gitu aja. Gue nggak terima Anna. Gue ..." Delta tidak melanjutkan kalimatnya.  "Gue ngerti."  "Lo nggak akan ngerti Anna."  "Oke gue nggak ngerti."  "Gue sayang sama dia," lirihnya masih dalam keadaan mabuk. "Kena juga sayang sama lo."  "Nggak. Dia nggak sayang sama gue."  Ya tuhan ... kenapa Delta jadi nyebelin gini sih? Untung mabok. Kalau nggak? Udah gue tinggalin dia di sini! gerutu Dena dalam hati. "Delta stop! Kita pulang, ya?"  Delta hanya mengangguk. Entah paham atau tidak maksud dari ucapan Deana.  "Al, bantu gue buat mapah Delta, ya?" Alden mengangguk lalu mereka mulai memapah Delta keluar dari club tersebut.  Selama perjalanan, Delta terus meracau tidak jelas. Kadang menangis dan kadang tertawa. Deana memijit pelipisnya jengah melihat kondisi Delta saat ini.  Dengan susah payah, Deana membopong Delta turun dari mobil dan berjalan menuju lobi. Satpam yang berjaga pun langsung sigap ketika Deana hampir terjatuh saking tidak kuat menahan tubuh Delta yang sangat berat.  "Aduh, Mas Delta kenapa Neng?"  "Mabok, Pak. Di putusin pacar kesayangannya," jawab Deana.  Satpam itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dasar anak muda zaman now. Ayo Neng bapak bantu," ucapnya. Mereka pun berjalan ke arah lift menuju lantai 15. "Makasih ya, Pak udah bantuin Anna sampe sini. Kalau nggak ada bapak, mungkin Delta udah Anna sered dari lobi tadi," kekehnya. Satpam itu tertawa kecil.  "Ah si Eneng ini, sadis banget. Iya Neng, sama sama."  "Beneran, Pak. Abis tubuh Delta berat banget udah kayak bawa babon!"  Satpam itu tertawa. "Ya sudah Bapak pamit dulu, ya. Mau balik jaga lagi."  "Iya, Pak. Sekali lagi makasih, ya." Satpam itu mengangguk lalu melenggang pergi.  Deana mengambil kunci dari tas kecinya dan membuka pintu aprtemen tersebut. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Deana membawa Delta ke kamarnya dan langsung merebahkan pria itu di ranjang.  "Kenna ... kamu tega ninggalin aku! Cewek menyebalkan," Delta mulai meracau lagi.  "Delta, berhenti meracau. Astaga ... apa yang terjadi sama lo sebenernya?" Deana mengangkat kaki cowok tersebut agar terlentang di ranjang. Melepaskan sepatu dan membuangnya asal ke lantai.  "Gimana caranya menyadarkan orang mabuk? Gue nggak paham." Deana berkacak pinggang sambil berpikir. Ia belum pernah menghadapi orang mabuk sebelumnya.  "Telepon Alden aja kali, ya?" seketika pemikiran itu terlintas dalam benaknya. Saat hendak meraih tas, tangannya lebih dulu di tahan oleh Delta.  "Please Ken, jangan pergi," ucapnya dengan tatapan Nanar. Sepertinya Delta benar-benar mabuk parah.  "Gue bukan Kenna, Ta. Gue Anna." "Ken gue mohon. Apapun bakal gue lakuin demi lo. Maafin gue karena nolak lo kemarin. Gue janji kita bakal Mak—" Delta tidak melanjutkan kalimatnya dan langsung terkapar tidak sadarkan diri. Pegangannya pun terlepas.  Deana mengembuskan napasnya pelan. Ia tidak jadi menghubungi Alden dan lebih memilih untuk menghubungi mamanya; mama Delta. "Ma, Anna enggak akan pulang malam ini. Delta mabuk berat dan Anna tidak bisa meninggalkannya sendiri," ujarnya ketika telepon itu terhubung.  "Apa yang terjadi pada Delta, Anna? Kenapa dia mabuk?"  "Anna nggak tahu, Ma. Besok akan Anna tanyakan saat sarapan."  "Sayang, bilang pada Anakku suruh dia pulang ke rumah besok. Ini perintah!" tegasnya.  "I—iya, Ma. Besok Anna sampaikan. Mama nggak usah cemas, ya. Delta baik-baik aja," ucapnya tak yakin. Ada hal yang tiba-tiba mengusik pikirannya dan Deana harus mengetahuinya besok.  "Mama percaya, selama Delta sama kamu, Dia akan baik-baik aja. Tolong jaga anak Mama ya, Sayang."  "Iya, Ma." Deana menutup teleponnya dan berjalan ke luar kamar Delta. Membopong cowok itu ternyata sangat menguras tenaganya. Deana sangat lelah dan mengantuk. Ia membuka kamar tamu dan langsung berjalan menuju kasur. Deana benar-benar butuh istirahat dan tidur.  ••• Delta bergerak pelan. Nampaknya cahaya matahari pagi telah mengusik acara tidurnya. Perlahan ia membuka matanya dan mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Delta merubah posisinya menjadi duduk. Kepalanya masih terasa sangat pusing. Sejak kapan gue ada di kamar gue? Bukannya semalem gue sama Alden di bar? tanyanya dalam hati. Ia masih ingat betul ketika dirinya menghabiskan 2 botol wiskey dan semua itu gara-gara Kenna.  Tiba-tiba aroma harum masakan tercium oleh hidungnya. Perutnya seketika berbunyi minta di isi. Delta beranjak dari ranjang dan berjalan ke luar kamar.  "Udah bangun?" tanya Deana retoris sambil meletakkan dua piring nasi goreng di meja makan. "Hemm," jawab Delta pendek sambil duduk di kursi. "Lo yang bawa gue balik?" tanya Delta kemudian.  "Menurut lo?"  "Darimana lo tahu kalau gue—"  "Alden telepon gue semalem. Dia bilang kalau lo mabok berat dan nggak mau pulang," sela Deana cepat dengan nada tenang.  Delta menajamkan tatapannya. "Sejak kapan lo deket sama Alden?"  "Sejak lo mabok semalem," jawab Deana asal. "Gue nggak suka lo deket sama dia," katanya masih dengan tatapan tajam.  "Dia temen lo, kan? Kenapa lo nggak suka? Temen lo temen gue juga." Deana menyuap nasi gorengnya santai.  "Kalau gue bilang nggak suka ya nggak suka, An."  "Ok." "By the way ... Thanks, Anna."  Deana menaikan satu alisnya. "For?"  "Udah bawa gue balik. Sorry selalu bikin lo susah."  Iya! Semenjak lo pacaran sama Kena, lo selalu bikin gue susah, Ta! jeritnya dalam hati. "Nggak masalah."  "Ta?" panggil Deana pelan. Delta yang sedang memakan makanannya pun kembali menatap Deana.  "Lo kenapa mabok?"   "Nggak kenapa-napa. Pengen aja."  "Bener?"  "Iya. Lagian lo kenapa sih nanya-nanya? Tumben banget kepo."  "Gue juga nggak bakal nanya-nanya karena sejatinya gue nggak peduli. Tapi, semaleman lo ngeracau nggak jelas. Lo ada masalah sama Kena?"  Seketika Delta berhenti mengunyah dan menatap Delta lekat.  "Anna, jujur sama gue. Apa aja yang lo denger semalem?"  Deana sedikit berpikir. "Banyak."  "Jawab, An."  Deana mengembuskan napasnya berat. Ia tidak suka ada dalam keadaan seperti sekarang. Ia juga tidak suka mencampuri urusan Delta. Sejak kapan juga ia peduli pada hubungan pria itu dengan Kena? Tapi, apa yang ia dengar semalam benar-benar mengusik pikirannya.  "Kena ninggalin lo?" Deana balik bertanya.  "Itu yang lo denger?" Dengan cepat Deana mengangguk. "Nggak cuman itu," tambahnya.  "Apalagi?"  "Gue nggak bakal bilang apa yang gue denger kalau lo nggak mau cerita. Nggak papa. Gue juga nggak peduli. Tenang aja, gue gak bakal cerita pada siapapun apa yang gue denger. Sekalipun itu nyokap lo," paparnya.  Delta mendorong piringnya, meletakkan kedua tangannya di sana dan menatap Deana.  "Bukan gitu maksud gue ...."  "Ta, udahlah. Kalau lo nggak mau cerita, nggak papa. Oh iya, Mama bilang kalau hari ini lo di suruh pulang. Ini perintah dan gue harap lo mau nemuin Mama." Deana bangkit dari kursinya dan meletakkan piring itu di tempat cuci piring.  "Na ... gue putus sama Kenna," celetuknya kemudian. Deana sama sekali tidak kaget, ia berbalik dan menatap Delta.  "Iya. Gue tahu."  "Kenna ninggalin gue," katanya lagi.  "Lo udah bilang itu semalem."  "Gue tahu. Tapi ... ada yang lebih nyakitin dari itu." Delta menatap Deana frustrasi seolah gadis itu adalah Kenna.  Deana diam. Menunggu pria itu berbicara dengan sendirinya.  Delta kembali menarik napasnya dalam dan mengembuskannya pelan. Sebuah alasan yang bagi dirinya sama sekali tidak masuk akal dan konyol.  "Kena ninggalin gue karena gue nolak ajakan dia buat making love." Delta tertawa pelan. "Konyol, ya?" tambahnya.  "Nggak. Keputusan lo udah bener." "Tapi, Na ... kalau waktu itu gue bilang iya, Kenna nggak mungkin ninggalin gue, kan?"  Deana menatap Delta jengah. "Iya. Nggak akan." Ia berbalik dan mulai mencuci piringnya. Terserah apa kata Delta, ia tidak peduli.  "Menurut lo, gue harus gimana?"  Deana meletakkan piring itu di rak dan kembali menatap Delta.  "Pulang ke rumah. Mama kangen sama lo," sarannya. Deana sengaja mengalihkan pembicaraan. Delta harus bagaimana? Itu masalahnya, bukan?  "Anna ...."  "Ta? Lo kenapa sih segininya banget sama Kena? Perasaan, dulu lo kalau pacaran sama cewek nggak sebodoh ini. Apalagi sampe mabok berat kayak semalem. Gue nggak ngerti ya, Ta. Sama sekali nggak ngerti," ucap Deana kesal.  "Karena gue sayang sama dia, Na. Gue serius sama dia. Cuman Kena yang gue pengen jadi pendamping terakhir di hidup gue."  “Ta?” Deana memandang lelaki di hadapannya tak habis pikir.  “Dengerin kata-kata gue. Cewek yang baik, gak akan mau diajak atau bahkan ngajak making love sebelum nikah. Lo juga tahu itu, kan?”  “Jadi menurut lo Kenna bukan cewek baik-baik?”  Deana menaikkan satu alisnya. “Menurut lo?”  “Gimana kalau Kenna ngajak gue making love karena dia pengen liat keseriusan gue ke dia? Bisa aja, kan?”  “Cuman orang bodoh yang punya pikiran dangkal kayak gitu, Delta!”  “Coba sekarang lo bayangin kalau kalian making love terus abis itu Kenna hamil. Lo harus tanggungjawab nikahin dia. Sedangkan lo belum lulus kuliah, pekerjaan belum punya, mau dikasih makan apa anak istri lo entar, hah? Lo gak bisa bergantung sama Papa atau Mama setelah nikah, Ta!” ujar Deana panjang lebar. “Tapi, Ana—” "Fine, terserah. Kalau lo pengen Kena balik, gampang. Lo tinggal setuju buat making love sama dia dan semuanya bakal kembali baik-baik aja, Right?" Cukup! Deana malas berdebat dengan Delta apalagi hanya gara-gara Kena. "Lo mau kemana?" tanya Delta saat kena mulai berlalu menaiki tangga.  "Ke atas. Mandi terus pulang," jawabnya tanpa menoleh ke arah Delta sama sekali. Ia terus berjalan ke lantai dua.  Delta menghela napasnya pelan. Ia sadar, tidak ada gunanya bercerita atau meminta saran pada Deana. Gadis itu sangat cuek dan tidak pedulian. Kadang, Delta tidak habis pikir dengan jalan pikiran Deana. Sebelumnya gadis itu tidak pernah bersikap seperti ini. Soal Kenna, Delta benar-benar jadi berpikir keras. Haruskah ia melakukan itu? Ah tapi yang benar saja! Maksudnya ... sejak dirinya lahir sampai saat ini, ia belum pernah melakukan itu. Dirinya pasti akan terlihat sangat konyol dan amatir dihadapan Kenna dan lagi... prinsipnya sejak dulu adalah ‘s*x After Marriage’. Haruskah ia melanggar prinsipnya sendiri demi seorang perempuan yang ia cintai?  Memikirkan itu benar-benar membuat kepalanya sakit. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar. Hari ini Delta akan pulang dan menemui Mamanya. Ia tidak ingin di cap menjadi anak durhaka yang lupa akan rumah. •••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN