Cahaya matahari menembus celah tirai, menyapu lembut kamar itu dengan kehangatan.
Kaia membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa lelah namun hangat di bawah selimut putih tebal.
Tapi begitu kesadarannya kembali sepenuhnya, dia menyadari sesuatu. Tubuhnya tidak mengenakan apa pun di balik selimut itu, sebuah pengingat akan malam sebelumnya yang penuh dengan emosi dan keintiman.
Ia menoleh ke samping, mengharapkan wajah Zeff yang masih tertidur. Namun, ranjang di sebelahnya kosong.
Jantungnya berdebar pelan saat dia menyadari keheningan yang aneh di kamar itu.
Kaia memutar kepalanya ke arah jendela. Di sana, Zeff berdiri tegak, hanya mengenakan celana panjang santai, dengan punggung lebar yang menghadap ke arahnya.
Pemandangan dari jendela menunjukkan taman besar yang mulai disinari cahaya pagi.
Tapi mata Zeff tampak kosong, seolah dia tidak benar-benar melihat apa yang ada di depannya.
"Zeff," Kaia memanggilnya dengan suara pelan.
Zeff menoleh, tetapi wajah yang dia tampilkan berbeda dari yang Kaia harapkan.
Tidak ada senyuman, tidak ada kelembutan seperti yang dia lihat semalam. Sebaliknya, matanya dingin, tanpa ekspresi, dan garis wajahnya tegang.
“Kaia,” ucapnya pelan, suaranya berat.
Ia berbalik sepenuhnya, berjalan mendekat tetapi berhenti beberapa langkah darinya. “Aku ingin mengatakan sesuatu.”
Kaia mengerutkan kening, bingung dengan sikap Zeff yang tiba-tiba berubah. "Hmm?" sahutnya hati-hati.
Zeff menarik napas dalam, seperti sedang menyusun kata-katanya. “Aku minta maaf ... tentang apa yang terjadi semalam.”
Kata-katanya menggantung di udara, membuat Kaia terdiam.
“Aku sedang tidak berpikir jernih,” lanjut Zeff, wajahnya tetap tanpa emosi. “Aku dipengaruhi oleh alkohol. Itu ... seharusnya tidak terjadi.”
Dunia Kaia serasa berhenti sejenak. Hatinya mencelos, dan ia merasakan sesuatu yang tajam menusuk dadanya.
Kata-kata Zeff terasa seperti tamparan keras di wajahnya. Namun wanita itu hanya diam, tak bersuara.
Kaia menghela napas panjang, berusaha menahan emosi yang mulai membuncah.
Ia menarik selimut lebih erat ke tubuhnya, merasa telanjang dalam arti yang lebih dari sekadar fisik. “It’s okay. Aku mengerti,” katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Zeff tidak menjawab. Ia hanya menatap Kaia dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada penyesalan, tetapi juga jarak yang terasa semakin lebar di antara mereka.
Kaia menelan ludahnya dengan susah payah, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia bangkit dari tempat tidur.
Selimut yang melingkupinya terlepas, dan dia segera meraih pakaiannya yang tergeletak di lantai.
Dengan gerakan cepat, dia mengenakan pakaiannya, punggungnya membelakangi Zeff.
Zeff memperhatikan Kaia dalam diam, tetapi dia tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya.
Ketika akhirnya Kaia selesai berpakaian, dia berdiri sejenak, mengatur napasnya sebelum berbalik menghadap Zeff.
Wajahnya terlihat terluka, tetapi dia berusaha menyembunyikannya di balik ekspresi tenang yang dipaksakan.
“Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu, Zeff. Tapi satu hal yang aku tahu, aku tidak akan membiarkan diriku merasa seperti ini lagi,” katanya dengan tegas.
“Kalau semalam tidak berarti apa-apa bagimu, maka aku juga tidak akan mempermasalahkannya lagi. Aku harap bisa melupakan ini dengan cepat.”
Zeff membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Kaia menunggu beberapa detik, tetapi ketika Zeff tetap diam, dia memutuskan untuk pergi. “Aku harus pergi bekerja.”
Kaia berjalan menuju pintu, membuka pegangan dengan tangan yang sedikit gemetar.
Ia tidak menunggu jawaban Zeff. Dengan langkah tegas, dia keluar dari kamar, meninggalkan pria itu yang masih berdiri di tempat yang sama.
*
Kaia berjalan di lorong mansion dengan langkah cepat, tetapi hatinya terasa berat.
Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tetapi yang jelas, dia tidak ingin berada di tempat itu lebih lama lagi.
Dadanya terasa sesak, dan dia merasa sulit bernapas.
Semalam, dia merasa seperti segalanya berubah. Ia pikir ada sesuatu yang spesial antara dirinya dan Zeff—sesuatu yang lebih dari sekadar hasrat atau ketertarikan fisik.
Tetapi pagi ini, dia merasa seperti semuanya hanyalah ilusi.
*
*
Di dalam kamar, Zeff masih berdiri di tempat yang sama, menatap pintu yang baru saja ditutup oleh Kaia.
Ia mengepalkan tangannya, merasakan emosi yang sulit dijelaskan—penyesalan, kemarahan pada dirinya sendiri, yang perlahan-lahan mulai menyelimuti dirinya.
Ia tahu bahwa dia telah membuat kesalahan. Dan Zeff tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Hingga akhirnya, dia memutar tubuhnya. Matanya secara tidak sengaja tertuju pada ranjang yang masih berantakan.
Di tengah-tengah seprai putih yang kusut, ada bercak kecil berwarna merah. Darah.
Napas Zeff tercekat. Seketika malam sebelumnya kembali terputar dalam pikirannya seperti kilasan mimpi buruk yang tidak bisa dia hindari.
Dia menutup matanya, berharap bisa menghapus semua itu, tetapi bayangan itu terlalu kuat.
"Apa yang telah aku lakukan ... Kau benar-benar b******k, Zeff," gumamnya dengan suara serak pada dirinya sendiri.
Tangannya gemetar saat meraih seprai itu, mencoba menyentuh noda itu seolah ingin memastikan bahwa ini hanya ilusi.
Tapi tidak. Itu nyata. Sama nyatanya dengan rasa bersalah yang kini menghancurkan hatinya.
Kaia sudah tidak ada di sana, setelah dengan sengaja dia mengusirnya dengan kata-kata yang menyakitkan.
Ranjang itu kosong kecuali dirinya sendiri dan jejak kejahatan yang dia lakukan.
Zeff memandang sekeliling kamar, mencari keberadaan Kaia, tetapi tidak menemukan apa pun kecuali keheningan yang menyiksa.
Dia bangkit dengan langkah berat, tubuhnya terasa seperti membawa beban seribu batu.
"Kaia...,” bisiknya lirih, suaranya dipenuhi penyesalan yang dalam.
Dia teringat bagaimana Kaia mempercayainya, bagaimana dia memandang Zeff dengan mata yang penuh harapan dan kepolosan.
Semua itu hancur karena dirinya. Karena egonya.
Zeff memukul meja di dekatnya, kemarahan pada dirinya sendiri meledak dalam keheningan ruangan. "Bodoh! Apa yang aku pikirkan?!" teriaknya, suaranya menggema di dinding kamar.
Semua ini tidak seharusnya terjadi. Kaia adalah seseorang yang selalu ada di masa terpuruknya waktu itu sampai saat ini, bukan seseorang yang seharusnya dia hancurkan.
Zeff tahu, tidak ada kata maaf yang cukup untuk memperbaiki semuanya. Tidak ada tindakan yang bisa menghapus apa yang telah dia lakukan.