BAB 27 - GENGGAM

2291 Kata
            Setelah semua kehebohan yang terjadi, Saira semakin lama semakin kebal dengan semua yang menimpanya. Semua orang sok tau yang hanya percaya gossip murahan sama sekali bukan levelnya. Ia tidak ingin diliputi perasaan takut berlebihan atau khawatir. Cukup baginya memiliki Aliyyah, Bian, teman-teman sekelasnya, dan juga Gibran.             Saira bahkan sudah berani berjalan ke kantin atau ke tempat mana pun di area sekolah, sendirian. Jarang sekali ia meminta untuk ditemani. Apalagi seluruh teman-temannya semakin sibuk mempersiapkan ujian akhir semester yang sebentar lagi akan diadakan.             Namun, satu hal yang membuat Saira tidak tenang terkait rumor-rumor yang beredar mengenai dirinya dan Gibran. Ia khawatir akan Gibran, karena tampaknya beberapa orang menjadi memandang rendah Gibran, tidak seperti sebelumnya.             Minggu kemarin tim basket inti SMA Swasta Pelita Mulia memenangkan pertandingan persahabatan melawan SMA Swasta Cendekia Bangsa. Tapi, berbeda dari biasanya. Orang-orang menyelamati tim basket, namun tidak ada satu pun yang memberi selamat pada kaptennya, Gibran, kecuali anggota tim itu sendiri yang masih menganggap Gibran sebagai pahlawan mereka, dan tentu saja sahabat-sahabat terdekat Gibran.             Saat Gibran mengucapkan sambutan kemenangan timnya saat berita baik itu diumumkan di sekolah, suara gemuruh dari siswa dan siswi memenuhi aula. Sayangnya, bukan suara menyemangati atau pun selebrasi, melainkan suara sorakan tanda tidak suka. Dan itu adalah sambutan paling singkat yang pernah Gibran katakana dari seluruh kata sambutan dari nya sebagai kapten basket atas kemenangan timnya selama ini. Saira yang saat itu hadir, hatinya teriris.             Maka Saira ingin segera menemui Gibran. Ia yakin keputusannya saat ini sudah benar. Ini adalah satu-satunya jalan agar rumor ini hilang. Saira: kak gibs Gibran: saira Saira: saira mau nanya, ketemu di kantin? Gibran: jgn di kantin Gibran: nnt kalo ada yg liat, saira digosipin lagi Gibran: deket sama gue, tp kok gak jadian Saira: jadi? Gibran: saira mau ngomong apa? Saira: ada deh Gibran: di perpus? Saira: gak ada yg liat? Gibran: ajak Kemal sama Maiko Gibran: nnt mrk y gurus Saira: ok             Pada jam istirahat, Saira langsung menuju ke perpustakaan sekolah. Perpustakaan SMA Pelita Mulia adalah perpustakaan yang luas, yang memiliki empat jenis area untuk siswa yang berkunjung. Area 1 merupakan area baca dan tulis. Area itu dilengkapi dengan meja, bangku, dan partisi untuk setiap bangku, sehingga orang yang membaca dan menulis dapat fokus pada apa yang dikerjakan. Selain itu, material yang digunakan untuk partisi merupakan besi yang dilengkapi dengan magnet, berfungsi sebagai tempat untuk menempelkan catatan atau sticky note.             Area 2 adalah area yang hanya diperuntukkan untuk pembaca. Area ini merupakan area yang paling banyak digunakan oleh siswa. Sebuah area tanpa bangku, meja, dan partisi, area ini merupakan area berukuran 3x3 meter yang beralaskan karpet berwarna biru polos. Area itu memiliki beberapa buah bantal besar untuk sandaran. Area ini hanya digunakan untuk membaca, atau berdiskusi.             Area 3 adalah area untuk meeting. Beberapa meja berukuran 1x1 meter dikelilingi oleh beberapa buah bangku.             Dan terakhir, Area 4 yang akan digunakan Gibran dan Saira. Area ini berisi lima buah komputer yang sudah jarang sekali digunakan karena semua siswa SMA Pelita Mulia sudah membawa laptop/netbook sendiri. Tiga komputer itu dulu adalah hadiah dari perlombaan design web yang dimenangkan oleh tim IT SMA Pelita Mulia. Area ini agak terbelakang dan pandangan dari dalam tidak langsung mengarah ke Area 1, 2, dan 3. Orang yang ingin melihat harus berjalan sedikit ke luar untuk dapat melihat area lain. Sehingga area ini aman untuk Saira dan Gibran.             “Saira baru pertama kali ke sini?” tanya Gibran saat melihat adik kelasnya itu memandang berkeliling.             “Iya. Biasanya cuma sampai rak buku,” jawab Saira jujur.             “Dulu sebelum dipinjemin laptop sama Kemal, gue sering cari kerjain tugas dulu di sini sebelum pulang,” kata Gibran mengenang masa lalunya.             “Oh… Kak Kemal baik banget, ya?” tanya Saira. Saat ini di Area 3 pun ada Kemal dan Maiko. Mereka sedang mengobrol dan berjaga-jaga, mereka akan memberi tau Gibran jika ada yang ingin masuk Area 4.             “Iya. Dia baik banget. Babanya juga baik banget sama gue.”             Saira mengangguk sambil tersenyum. Rasanya sudah lama sekali tidak mendengar Gibran bercerita. Ia juga sudah tidak pernah bercerita apapun pada Gibran.             “Jadi, Saira mau ngomong apa?” tanya Gibran kembali ke topik pembicaraan.             “Kak Gibs apa kabar? Baik-baik aja kan?”             “Kenapa nanya gitu? Alhamdulillah gue baik. Emang kenapa?” Gibran tersenyum.             “Saira cuma mau bilang, bahkan kalaupun gak ada seleksi basket nanti, Saira tetap…” Saira tidak tau bagaimana caranya untuk bilang bahwa ia mau jadi pacar Gibran tanpa melukai harga dirinya sendiri. Bahkan Gibran belum pernah mengajaknya pacaran dengan terus terang.             “Tetap apa, Saira?”             “Karena gossip makin parah, Saira takut orang-orang semakin kelewatan sama Kak Gibs. Harusnya biarin aja orang tau.”             “Gue gak apa-apa. Gossip kayak gitu mah, gak akan bikin gue ciut, Sar.”             “Tapi, orang-orang udah kelewatan.”             “Bian cerita apa aja emang?”             “Cuma yang waktu itu,” jawab Saira, mengacu pada anggota tim basket cadangan yang sengaja bercanda dengan sindiran.             “Waktu itu, gue gak apa-apa kan?”             Saira mengingat reaksi anak-anak saat kata sambutan minggu kemarin. Namun ia tidak sampai hati mengungkitnya di depan Gibran. Belum lagi semua tatapan sinis orang-orang pada Gibran.             “Lagian Sar, kalau kita deket tapi gak jadian, orang akan ngejelekin Saira. Percaya, deh,” kata Gibran. Ia memandang Saira dengan tatapan rindu.             “Kan bisa bilang kalau kita cuma teman? Kan kenyataannya begitu.”             “Sar,” panggil Gibran pelan.             “Iya, Kak?”             “Gue kangen deh sama Saira.”             Saira tidak menjawab. Ia tidak tau maksud Gibran yang tiba-tiba mengatakan bahwa ia merindukan Saira.             “Saira jangan fokus di gue. Kalau sampai nanti seleksi, ternyata Saira udah suka sama orang lain, atau ada orang baik yang suka sama Saira, Saira boleh kok lupain gue.”             Saira melotot. Apa maksud Gibran sekarang?             “Karena, kalau pun gue diterima seleksi, masih lama prosesnya sampai gue selevel sama Saira,” kata Gibran.             “Kak, kenapa balik lagi ngomongin ini sih?” tanya Saira. Ia kesal sekaligus membenci Gibran di saat-saat seperti ini.             “Karena emang gitu! Sar, ibuku cuma jualan roti goreng.”             Saira menunduk. Ia ingin menangis karena perkataan Gibran barusan. Tapi, di sisi lain Saira tau. Mungkin Gibran sudah hampir mencapai batas kesabarannya. Semua rumor-rumor yang beredar pastilah sudah menyakiti hatinya dan harga dirinya. Barangkali Gibran sudah ingin menyerah.             “Kenapa kita gak jadian sekarang aja?” tanya Saira tiba-tiba. Ia pun kaget mengapa ia memiliki keberanian sebesar itu.             Gibran melotot karena terkejut. Ia kemudian merespon, “Saira capek ya nungguin gue?”             “Saira capek sama gosip-gosip di sekolah,” jawab Saira jujur. Dan ia ingin bilang bahwa ia tidak tega pada Gibran.             Gibran mengacak rambut Saira di puncak kepalanya. “Maafin gue ya, Sar. Makanya, gak perlu ditungguin. Okay?”             Saira memandang Gibran dengan sedih. Ia ditolak. Ia sudah merasa ditolak kali ini. Ia merasa kasihan pada Gibran, namun ia juga malu dengan dirinya sendiri. Ia ditolak. Saira Bayu ditolak oleh Gibran Radu. ***             Ujian Akhir Sekolah akhirnya tiba bagi seluruh siswa SMA Swasta Pelita Mulia. Saira dan teman-temannya sibuk mempersiapkan diri menghadapi hari sakral itu. Bahkan, Bian yang selalu mendapatkan nilai bagus, tidak melewatkan kesempatan dan tidak membiarkan apapun mengganggung konsetrasinya seminggu ini. Sampai-sampai membuat Saira merasa tidak lagi dekat dengan kedua sahabatnya, Aliyyah dan Bian.             Ruangan ujian dibagi berdasarkan huruf pertama nama panjang masing-masing siswa. Aliyyah Omar dan Arisbian Haryo yang memiliki inisial yang sama, ditempatkan di Ruang Ujian 1, sementara Saira Bayu ditempatkan di Ruang Ujian 4. Hari ini adalah hari terakhir ujian, dan Saira belum bertemu Aliyyah dan Bian semenjak hari pertama ujian.             Semalam Saira mengajak kedua temannya untuk merayakan hari terakhir ujian dengan makan di rumah Saira, Aliyyah, atau pun Bian, karena mereka belum pernah ke rumah Bian sama sekali. Namun, Bian menolak dan beralasan bahwa ada latihan basket setelah jam ujian terakhir.             Berarti Kak Gibran juga latihan ya? Tanya Saira dalam hati. Sejak terakhir kali ditolak, Saira sama sekali belum menghubungi Gibran. Begitu pula sebaliknya. Ia terlalu malu untuk menghubungi duluan. Kadang, Saira hanya melihat Gibran datang atau pulang, atau mereka berpapasan di gerbang atau di area-area sekolah. Namun, keadaan menjadi canggung dan semakin sulit antara mereka, menyebabkan mereka tidak pernah bertegur sapa.             Saat break antar ujian pertama dan ujian kedua, Saira berjalan sendirian ke kantin karena belum sarapan. Bunda sedang ke luar kota dan Salman hari ini ada panggilan interview kerja. Kakak laki-laki pertamanya itu akhirnya telah menyelesaikan kuliahnya dalam 7 semester dan predikat cumlaud. Ia pun bekerja di café karena Pak Ali menyukai kinerjanya, namun berjanji akan melepaskan saat Salman sudah mendapatkan pekerjaan tetap. Saira masih membuat brownies dan diambil oleh mobil café setiap harinya. Sementara Fatih sangat sulit dibangunkan karena bergadang semalam.             Di kantin, Saira betermu Gibran. Saira memperhatikan kakak kelasnya itu dengan seksama, dan ia menyadari bahwa kini rambut Gibran sudah tidak lagi cepak. Rambut itu sudah hampir seperti dulu, saat Saira baru mengenalnya.             Gibran tidak menegur Saira meskipun sudah melihatnya. Lelaki itu hanya tersenyum melihat Saira, dan Saira hanya tersenyum tipis, kemudian menunduk karena tidak ingin kontak mata antara mereka disadari oleh anak-anak yang sedang berebut membeli makanan ringan.             Gibran sedang membantu Ibu Dewi berjualan. Sepertinya benar kata Gibran, lama kelamaan, anak-anak akan rindu pada roti goreng buatan ibunya. Karena kini Saira bisa melihat bahwa stand roti goreng sudah mulai ramai kembali. Ditambah lagi, saat ini Ibu Dewi sedang mengantar pesanan ke ruang guru.             Saira berjalan menuju penjual corndog isi sosis dan aneka cemilan khas negeri ginseng lainnya.  Ia memesan satu buah corndog isi sosis ukuran jumbo dengan saus barbeque sebagai topping tambahan yang dibungkus terpisah. Saat sedang menenggak air mineral yang baru dibelinya, Saira mendengar seseorang memanggil namanya dengan usil. Kali ini bukan dari kumpulan senior perempuan yang mengganggunya tempo lalu.             “Saira…” Saira mendengar suara laki-laki memanggil namanya dengan main-main. Saira menoleh, ia melihat seorang anak kelas dua yang tidak dikenalnya. Namun Saira ingat bahwa senior itu pernah dipanggil oleh Shota, wakil ketua OSIS yang menjabat saat Saira sedang menjalani masa ospek. Konon anak kelas dua itu ketahuan mengerjai anak baru tanpa dasar.             Saira tidak menanggapi. Ia malas berurusan dengan senior yang sombong dan berlagak jagoan. Jadi, ia diam saja dan mengambil corndog pesanannya.             “Sairaaa! Sombong banget sih!” anak kelas dua itu lagi-lagi memanggil namanya.             Saira langsung berjalan cepat, namun langkahnya terhalang. Ternyata senior laki-laki itu sudah ada di depannya dan menghalangi langkah Saira.             “Eh, mantan calon pacar Gibran! Tapi gak jadi.” suara laki-laki itu meninggi, padahal jelas Saira ada di depannya. Teman-temannya yang sedang berkumpul tertawa saat ia memanggil Saira dengan sebutan mantan calon. Laki-laki itu pasti sengaja ingin membuat Saira malu.              Saira tidak menjawab perkataan laki-laki di depannya. Ia balik badan, dan memilih jalan lain. Ia berpura-pura tidak mendengar.             “Eh, lo gak sopan banget sih?” laki-laki itu mulai kesal karena perkataannya tidak ditanggapi.             Akhirnya Saira menoleh dengan tatapan ketus dan tidak suka. “Siapa ya?” tanya Saira berani.             Lelaki itu menyunggingkan senyumnya. Akhirnya omongannya ditanggapi oleh Saira.             “Kenapa sih lo bisa dibegoin Gibran lama banget gitu?” tanya laki-laki dengan nada mencemooh.             Ini orang maunya apa sih? Saira kesal. Ingin rasanya Saira melempar botol minum air mineral yang ada di tangannya kepada senior di depannya ini. Namun, ia urungkan niat karena di sekitarnya hanya ada anak-anak kelas dua, tidak ada yang akan membelanya. Jika ia melakukan k*******n, pasti akan dia yang salah, meskipun anak laki-laki ini yang memulai.             Tiba-tiba anak kelas dua itu menggenggam lengan Saira dengan kasar. Ia hendak menarik Saira menjauh dari area kantin.             “ALEX!!!”             Seketika seseorang melepaskan tangan anak itu—yang dipanggil Alex—dari lengan Saira dengan paksa. Ia mendorong Alex dan membanting tubuh Alex ke tembok terdekat. Saira menoleh siapa yang menarik tangan orang yang dipanggil Alex itu dan melihat Gibran dengan wajah penuh amarah sedang menahan tubuh Alex dengan cara mengunci lehernya. Gibran membentak anak itu, “Saira itu cewek gua!”             Saira yakin semua orang mendengar kata-kata Gibran barusan. “Lo ngapain cewek gua?” Wajah Gibran merah padam. Ia benar-benar terlihat marah. Kini semua orang menonton mereka.             Alex tidak bisa menjawab atau pun menyanggah perkataan Gibran karena Gibran mengunci lehernya yang menyebabkan ia sulit bicara. Anak-anak yang tadi berkumpul bersama Alex kini berusaha memisahkan mereka. Namun Gibran masih tanpa ampun tidak melonggarkan kunciannya sama sekali.               “Kak Gibs,” panggil Saira perlahan. Ia juga takut karena belum pernah melihat Gibran semarah itu sebelumnya.             Gibran mendengar Saira memanggilnya. Ia kemudian mengendurkan kunciannya di leher Alex dan berkata pada Alex, “Lo suka gosip murahan? Saira itu cewek gua! Jadi lo gausah gangguin dia!”             Setelah membentak Alex yang tidak ada respon karena masih berlagak sok kuat, Gibran pergi meninggalkan Alex dan semua kerumunan. Ia menghampir Saira dan menggandeng tangan kanan Saira dan membawa Saira menjauh dari area kantin. Saira mengikut Gibran sambil mengangkat kepalanya dan memandang wajah Gibran, tapi kemudian matanya beralih ke genggaman tangan Gibran yang erat.             Saira mencoba membuka genggaman tangannya dari tangan Gibran saat mereka sudah cukup jauh dari kantin. Namun, alih-alih melepaskan genggamannya, Gibran semakin mempererat genggamannya.             “Ayo kita jadian,” kata Gibran tanpa memandang ke Saira.             “Hah?” sahut Saira kaget.             “Saira mau gak jadi pacar gue?”             Saira tidak tau harus jawab apa. Kenapa tiba-tiba Gibran mengajaknya berpacaran jika beberapa waktu lalu ia ditolak?             “Kenapa?”             “Karena gua suka sama Saira,” jawab Gibran, kini menoleh pada Saira dan tersenyum. Ia masih mengenggam tangan Saira.             Belum sempat Saira menjawab, bel masuk sudah berbunyi, menandakan Saira dan Gibran sudah harus kembali ke ruang ujian masing-masing dan mempersiapkan diri karena sepuluh menit lagi ujian akan dimulai.             Barulah Gibran melepaskan genggamannya dan berkata pada Saira, “Good luck ujiannya! Fokus ya, jangan mikirin gue! See you!” *** “Apa, sayang?” – Gibran 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN