BAB 23 - MENJAUH

2435 Kata
            “Aku capek suka sendirian, Al. Mungkin Kak Gibran cuma iseng,” kata Saira di telepon. Ia sedang berbicara pada Aliyyah. Wajahnya kini sudah basah dengan air mata. Ia sedang menceritakan percakapannya dengan Gibran sepulang sekolah pada Aliyyah.             “Tapi dia bilang kan dia juga suka sama kamu,” jawab Aliyyah dari seberang mencoba untuk menenangkan.             “Tapi dia malah ngira aku nembak dia,” kata Saira lagi. Tangisnya pecah, ia merasa harga dirinya hancur dan hatinya sakit karena kekecewaan yang besar.             “Coba kamu inget-inget lagi, tujuan kamu confess ke Kak Gibran untuk apa?”             Saira diam. Ia pun tidak tau apa tujuannya jujur pada Gibran. Ia hanya merasa bahwa ia akan merasa lebih baik setelah menyatakan perasaannya pada Gibran.             “E…” Saira berpikir.             “Kamu pingin jadian?”             “Enggak!” ujar Saira menyangkal mentah-mentah.             “Kamu pingin dia tau?”             “E…. iya! Aku cuma pingin dia tau.”             “Sekarang dia udah tau, Sar. Terus masalahnya dimana?”             “Masalahnya responnya gak bagus.” Tangis Saira pecah lagi.             “Kamu maunya dia bilang apa?”             “Aku pikir dia juga suka sama aku,” jawab Saira. Aliyyah mengiba.             “Kak Gibran juga bilang suka sama kamu, kan?” Aliyyah mengingatkan.             “Tapi dia kira aku minta jadian,” tangisan Saira makin keras.             “Kalau kamu cuma pingin dia tau, harusnya kamu cukup bilang kalo kamu pingin dia tau. Selesai percakapan kalian di situ, gak perlu ada kata jadian.”             “Aku salah ya, Al?” Saira mulai menyalahkan dirinya.             “Enggak, wajar kok. Kalian kan udah dekat lama.”             Saira diam saja. Earphone masih menggantung di telinganya dan ia juga tidak memutus sambungan dengan Aliyyah.             “Sar?” Aliyyah memanggil nama sahabatnya, memastikan bahwa Saira tidak apa-apa.             “Iya?” jawab Saira pelan.             “Kamu mau ke rumah aku? Kan belum pernah.”             “Boleh?”             “Boleh. Besok setelah aku tahfidz ya?”             “Iya,” Saira menyetujui ajakan Aliyyah. Harusnya hari ini pun ia mengikuti ekskul tata boga, namun ia batalkan karena kejadian dengan Gibran.             “Besok aku di rumah sendirian. Ummi sama Abi pergi sama Aisyah, mau ke dokter.”             “Sampai jam berapa?” Saira mulai mengontrol nada bicaranya agak tidak sesenggukan lagi.             “Katanya akan nginep di Bandung. Soalnya dokternya ada di Bandung.”             “Oh. Oke, besok aku bawain brownies ya?”             “Serius? Kalau gak ngerepotin Saira, aku mau!” ***             Memasuki hari Jumat, semua murid SMA Pelita Mulia selalu menunjukkan wajah lebih ceria dari hari-hari sebelumnya. Mereka tau bahwa mereka akan segera memasukia akhir pekan dan mulai menyusun berbagai rencana untuk liburan. Beberapa anak perempuan bahkan membawa beberapa bekal tambahan, mengetahui bahwa waktu istirahat di hari Jumat akan lebih panjang dari biasanya, karena beberapa waktu diisi dengan agenda keagamaan.             Begitu pun dengan Saira. Meskipun wajahnya tidak sama sekali menunjukkan wajah yang lebih ceria dari biasa, karena permasalahannya dengan Gibran kemarin, Saira menjadi lebih bahagia karena mengingat akan bermalam di rumah Aliyyah malam nanti. Ia juga membawa beberapa potong brownies untuk bekal di rumah Aliyyah, dan seloyang besar untuk dibagikan pada teman sekelasnya.             Di gerbang, Saira berpapasan dengan Aliyyah dan Bian yang berjalan sendiri-sendiri meskipun sudah saling melihat satu sama lain. Saira yang ingin menghibur dirinya sendiri, langsung mengaitkan lengan kanannya pada lengan Bian dan lengan kirinya pada lengan Aliyyah.             “Kalian jalan jauh-jauhan banget. Beda g**g ya?” tanya Saira bercanda pada kedua temannya yang sedikit terkejut karena tiba-tiba ada yang menggandeng mereka dari belakang.             “Pagi, Saira!” kata Aliyyah saat melihat bahwa sahabatnyalah yang menggandeng lengannya.             “Pagi, Aliyyah! Pagi, Bian!” kata Saira. Ia berusaha melupakan kejadian kemarin dan berbahagia hari ini, meski jelas terlihat kepura-puraannya.             “Morning,” jawab Bian singkat.             “Jutek banget, sih!” Saira menyiku perut Bian yang bisa dijangkau oleh sudut lengannya.             “Aduh! Lo ceria banget, sih. Kenapa? Jadian ya sama Bang Gibran?” tanya Bian. Memiliki teman laki-laki yang tidak peka memang terkadang menyulitkan Saira.             Aliyyah melihat ke arah Bian, namun buru-buru mengalihkan pandangannya saat matanya dan mata Bian bertemu. Bian pun demikian.             “Hari ini gue mau ke rumah Aliyyah, Bi. Mau ikut gak?” Saira mengalihkan pembicaraan tepat saat ia menyaksikan kejadian barusan.             “Ke rumah Aliyyah?” tanya Bian. Kali ini ia terang-terangan menatap Aliyyah. wajahnya menuntut jawaban.             “Iya, kamu mau ikut, Bi? Main sebentar setelah itu pulang?” tanya Aliyyah pelan, membalas tatapan Bian. Sejujurnya, Saira merasa seperti nyamuk.             “Boleh?” tanya Bian heran.             “Boleh, kan sama Saira. Nanti ada paman sama bibi aku juga sampai Maghrib, ba’da Maghrib mereka pulang.”             “Ummi, Abi, dan Aisyah kemana?”             “Pergi.”             “Kemana?”             Saira mengetahui bahwa Bian belum tau soal Aisyah, bergegas memotong dan masuk dalam pembicaraan mereka, “Lo pingin tau aja deh, Bi. Jadi intinya mau ikut kita gak? Gue bawa brownies. Nanti kita delivery Mcd?”             “Okay. Boleh kan, Al?” Bian mengetujui, namun memastikan lagi pada pemilik rumah.             “Boleh, Bi.” Aliyyah tersenyum. Senyum lebih lebar dari yang biasa Saira lihat saat ia tersenyum pada anak laki-laki lain.             “Aduh! Aku jadi pingin nonton drama korea,” Saira memudarkan senyum Bian dan Aliyyah, kemudian menggantinya dengan keheranan kedua sahabatnya. Saira menyebutkan drama korea yang identik dengan romantismenya yang kuat.             Bian dan Aliyyah tidak mempertanyakan keheranan mereka. Mereka hanya tertawa kecil melihat tingkah Saira. Mereka melanjutkan perjalanan dan saat sampai di persimpangan, Aliyyah menyiku Aliyyah yang kini sudah tidak menggandeng kedua sahabatnya.             Saira mengarahkan kepalanya pada Aliyyah, kemudian melihat gadis lulusan pesantren itu menunjuk ke sesosok laki-laki dengan bola matanya. Gibran Radu. Gibran tengah memandang Saira dengan tatapan yang tidak bisa Saira jelaskan. Membuat Saira teringat kata-katanya kemarin dan kesal lagi. Setelah jelas-jelas memasang wajah tak senang pada Gibran, Saira segera membuang muka dan berjalan cepat.             “Bang Gibran!” Saira mendengar Bian memanggil Gibran di belakangnya. Namun ia tidak mendengar Gibran menjawab panggilan itu. Mungkin Gibran hanya menjawab dengan anggukan.             Dalam waktu lima menit, Saira dan Aliyyah sampai di depan kelas mereka. Aliyyah langsung berbicara pelan saat mengetahui Bian tidak ada di sekitar mereka, “Tadi Kak Gibran ngeliatin kamu, Sar.”             “Iya, aku liat. Biarin aja. Dasar aneh,” kata Saira menunjukkan kekesalannya.             Aliyyah berjalan menuju loker di belakang kelas dan memilih modul-modul yang akan digunakan untuk bahan belajar hari ini. Sementara Saira langsung duduk karena ada pesan masuk ke telepon genggamnya. Gibran: Saira             Saira mendengus. Ia tidak habis pikir kenapa Gibran bisa mengirim pesan singkat hanya dengan memanggil namanya. Apa yang sebenarnya Gibran pikirkan? Ia menjadi semakin kesal karena merasa Gibran meremehkan dirinya.             “Siapa?” tanya Bian yang ternyata sudah berdiri di belakangnya dan memperhatikan dirinya.             “Siapa apanya?” tanya Saira.             “Chat dari siapa sampai lo kesel gitu?” Bian langsung duduk di tempat duduknya selesai bertanya. Tampaknya ia tidak benar-benar peduli siapa orang yang membuat Saira kesal pagi-pagi begini.             Saira langsung menuju bangku Bian dan menghadapkan wajahnya pada wajah Bian. “Bi, gue mau cerita,” kata Saira dengan wajah cemberut.             “Apa?” tanya Bian dengan nada penuh tanda tanya sambil melepas rompi kanvas biru yang dipakainya. Sepertinya ia sudah menebak bahwa ada yang tidak beres pada Saira sejak sahabatnya itu mengaitkan lengannya.             Saira tersenyum. Ia tau Bian adalah sahabat yang selalu bisa diandalkan bagaimana pun keadaannya. Tidak heran banyak sekali yang percaya pada dirinya.             Cerita Saira tentang Gibran diawali dengan hilangnya Gibran dan bagaimana ia tiba-tiba muncul di rumah Saira. Dilanjutkan dengan Saira yang merasa hubungannya dengan Gibran semakin tidak jelas dan diakhiri dengan percakapan ia dan Gibran di lorong gedung kelas satu dengan detail. Tidak ada yang terlewat sedikit pun.             “Oh… jadi berantem dong?” tanya Bian saat Saira mengakhiri cerita.             “Sstt jangan kenceng-kenceng,” kata Saira sambil menempelkan telunjuknya di bibirnya sendiri, menyadari suara Bian dapat didengar oleh anak lain di kelasnya.             “Gibran kaget mungkin Sar. Tiba-tiba lo ngomong gitu.” Bian mencoba menanggapi dan mengangkat kedua bahunya tanda bahwa ia bahkan tidak meyakini ucapannya sendiri.             “Terus?”             “Yaudah mau gimana lagi. Dianya juga diem aja.”             “Tapi barusan dia chat gue, Bi.” Saira menunjukkan layar hp-nya pada Bian.             “Ngapain?” Bian fokus menatap layar.             “Gak tau.” Kali ini giliran Saira yang mengangkat kedua bahunya.             “Saira, tatap mata gue!” Kata Bian melotot dan menghadapkan wajahnya pada wajah Saira. Saira memfokuskan kedua bola matanya pada Bian.             “Lo harus bisa mengendalikan diri. Kalo Gibran mau, ya dia akan bilang mau. Kalau enggak, ya dia akan bilang enggak. Kan kemarin dia bilang enggak, ya berarti maksudnya enggak. Kalau ternyata maksud dia beda, ya itu urusan dia. Lo fokus sama diri lo!” kata Bian panjang dengan wajah galak. Saira baru pertama kali melihatnya seperti itu, membuat dirinya sedikit takut dan memundurkan kepalanya lalu mengalihkan pandangan. Tanpa sengaja, dilihatnya Aliyyah sedang memperhatikan mereka. Dan saat Saira memergokinya, Aliyyah menggembungkan mulutnya dengan kikuk.             “Pengalaman ya Bi?” tanya Saira saat wajahnya sudah kembali di hadapan Bian, kini jarak mereka agak berjauhan.             Bian mengepalkan tangannya dan meninju kepala Saira, “Udah dikasih tau, malah songong,” katanya. “Udah sana! Gue mau nyiapin kelas.”             Saira kembali tempatnya. Dalam hati ia mengulang-ulang perkataan Bian. Kalau dia mau, dia akan bilang. Kalau dia tidak mau, dia akan bilang tidak. Jika sebaliknya, maka itu urusannya. Saira menghela napas. ***             Sudah satu jam sejak Saira menunggu Aliyyah dan Bian selesai dengan urusan mereka masing-masing. Aliyyah sedang menyelesaikan kegiatan club-nya bersama anggota Tahfidz lainnya, sementara Bian sedang konsultasi mengenai esai yang akan ia ikutsertakan dalam lomba. Saira menunggu di kantin meski semua penjual makanan di sana sudah bersiap menutup dagangannya. Saira memperhatikan salah satu stand yang sudah tidak pernah terlihat lagi jualannya. Konon pemilik kios itu sakit.             “Sar.” Saira mendengar suara yang sangat pelan menyerupai bisikan menghampirinya. Tapi, meskipun suara itu sangat halus, Saira tau siapa pemiliknya. Gibran.             Laki-laki dengan rambut cepak itu menghampiri dirinya dengan wajah serius. Ia masih mengenakan seragamnya, namun kemeja putihnya sudah dikeluarkan.             Saira tidak menjawab panggilan Gibran. Ia hanya menoleh saat Gibran memanggilnya, namun kemudian buang muka dengan dengan wajah ketus. Ia sengaja melakukannya.             “Saira.” Gibran sudah ada di depannya. Tepat di depannya dan ia menunggu Saira menyahut.             Saira mengangkat mukanya hingga matanya dan mata Gibran bertemu. Saira masih kesal dan sakit hati.             “Gue chat lo dari tadi. Lagi sibuk, ya?” tanya Gibran dengan suara pelan.             Saira membuka smartphone­-nya dan menemukan beberapa pesan Gibran di sana. Gibran: sairaa, r u there? Gibran: saira bayu Gibran: sar, nnt plg sama siapa? Gibran: saira, msh di sekolah ya?             Tapi tidak satu pun balasan dari Saira.             “Gak sempet pegang hape,” jawab Saira ketus.             “Sar, masih marah?”             What? Masih marah?             “Marah? Marah kenapa?” tanya Saira pura-pura tidak memikirkan hal yang terjadi kemarin.             “Sar, can’t we just be friends?” tanya Gibran. Ia duduk di depan Saira.             Saira memandang Gibran cukup lama. Kemudian ia berusaha tersenyum, lalu menjawab, “We’re friends from the first place.”             “Terus?”             “Terus?” Saira balik bertanya.             “Sar, let’s talk.”             “Dari tadi juga gue ngomong, Kak. Emang bengong?” tanya Saira menjadi semakin ketus.             “Kita beda, Sar. Makanya gak bisa jadian,” kata Gibran setelah diam beberapa menit dan menghela napas.             “Jadian lagi, jadian lagi yang dibahas. Emang kemarin gue minta kita jadian ya? Lo kepedean kali, Kak. Kebanyakan yang nembak lo ya?” Saira mulai dikuasai emosinya.             Di tengah bicaranya, Saira mendengar ada notifikasi pesan masuk di handphone-nya. Dari Bian dan Aliyyah. Mereka mengirim pesan secara bersamaan. Dasar jodoh, kata Saira dalam hati. Aliyyah: sar aku udh selesai, km dmn? Bian: sar lo dmn? Gue udh selesai nih             “Udah ah, Kak. Gue mau pergi, Bian sama Aliyyah udah nungguin.” Saira bangun dari bangkunya dan berjalan keluar dari area kantin.             “Sar,” panggil Gibran sebelum Saira sempat benar-benar pergi.             “Apa?” sahut Saira tidak peduli.             “Belum pernah ada yang confess ke gue. Karena yang gue deketin baru Saira. Pertama kalinya," kata Gibran.             Saira mengerutkan dahinya, kemudian ia yang masih diliputi dengan amarah menjawab, “Gak peduli, Kak.” Lalu benar-benar pergi dari area kantin.             Setelah menjauh dari kantin, Saira masih memikirkan perkataan Gibran dan bertanya-tanya apakah benar ia yang pertama didekati oleh kapten basket kenamaan itu. Ia ragu, karena rasanya banyak sekali yang mendekati dan gossip yang beredar bahwa Gibran banyak sekali membuat perempuan salah paham. Mungkin Gibran memang buaya.             Saira berjalan menemui Bian yang bilang akan menunggu di deretan bangku depan, sementara Aliyyah bilang akan menunggu di parkiran karena harus memindahkan beberapa peralatan Tahfidz ke mobil sekolah untuk disumbangkan ke panti asuhan. Namun dalam hati, Saira curiga bahwa itu hanya asalan Aliyyah saja agar tidak berduaan dengan Bian saat menunggunya.             “Ayo, bibi aku bilang, dia masak curry, kalian suka gak?” tanya Aliyyah saat melihat Bian dan Saira berjalan menghampirinya. Ia tersenyum.             “Curry apa?” tanya Saira.             “Curry Jepang,” jawab Aliyyah.             “Suka!” jawab Saira dan Bian bersamaan.             Mendengar jawaban kedua temannya, Aliyyah langsung mengaitkan lengannya ke lengan Saira seperti tadi pagi. Namun, berbeda dengan Saira, Aliyyah tidak mengaitkan lengannya yang satu lagi ke lengan Bian.             “Lo bukan mahromnya Aliyyah, Bin,” kata Saira sembari mengaitkan lengannya yang kosong ke lengan Bian.             “Emang kamu mahromnya Bian?” tanya Aliyyah.             Saira terkejut dengan pertanyaan Aliyyah dan langsung melotot. Ia memperhatikan Bian, dan lelaki itu juga menaikkan kedua alisnya tanda bahwa ia juga terkejut. Tidak biasanya Aliyyah menjawab candaan Saira seperti itu. Saira menyunggingkan bibirnya usil.             “Aliyyah, kamu cemburu?” tanya Saira. Ia ingin sekali menggoda temannya yang pemalu itu.             Kini giliran Aliyyah yang mengangkat kedua alisnya. Ia sepertinya sadar bahwa ia baru saja salah bicara. Wajahnya merah.             “Enggak!” kata Aliyyah berkilah dengan galak.             Bian terlihat berusaha menahan senyumnya. Wajahnya memerah.             “Ih jangan galak-galak dong Aliyyah, kamu salting ya?” Saira tidak berhenti menggoda sahabatnya itu. Ia menuduh Aliyyah salah tingkah.             “Apasih Saira.” Aliyyah melepaskan lengannya dari lengan Saira dan berjalan cepat hingga posisinya jauh di depan Saira dan Bian sekarang. Saira bertaruh bahwa Aliyyah benar-benar salah tingkah. Wajahnya laksana kepiting rebus.             “Ciee,” Saira menyiku Bian dan meledeknya dengan suara sangat pelan yang tidak bisa didengar Aliyyahn. “Muka lo merah,” kata Saira.             Bian juga turut melepaskan lengannya dari lengan Saira dan berjalan menjauh, namun tidak mendekati Aliyyah. Di belakang, Saira menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak sadar bahwa seseorang dengan tubuh tinggi dan rambut cepak sedang memperhatikannya dari kejauhan dengan wajah sedih. *** “Maafin saya ya, Sar.” – Gibran 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN