BAB 26 - RUMOR

2348 Kata
            Seorang anak perempuan dengan rambut dikuncir kuda tanpa poni berjalan ke meja tempat Saira mendaratkan kepalanya sejak ia memasuki kelas pagi tadi. Setelah membuat brownies kemarin malam, Saira tidak bisa tidur. Jadi ia memilih untuk menghabiskan semua episode serial drama yang sedang ia tonton belakangan ini. Ia bahkan hanya tidur tiga jam karena itu.             “Sar, begadang?” Nadialah yang menghampirinya di jam istirahat, saat Aliyyah dan Bian pergi karena urusan masing-masing, semnetara Saira memilih itu tinggal di kelas karena terlalu mengantuk. Nadia, anak perempuan tomboy di kelasnya mendekati mulutnya ke telinga Saira.             “Iya, Nad. Gue abis marathon semalam,” jawab Saira.             “Lari?” tanya Nadia. Entah ia bercanda atau memang serius dengan pertanyaaanya.             “Nonton Nad. Masa gue lari marathon,” kata Saira kesal. Bagaimana bisa Nadia menyita waktunya untuk lelucon macam itu padahal dia sedang ingin tidur?             “Hehe,” Nadia menyunggingkan bibirnya. “Sar, lo digosipin.” Nadia berbisik, padahal tidak ada siapa-siapa di kelas selain dirinya dan Saira.             “Digosipin apa?” tanya Saira. Ia masih belum bisa mengumpulkan nyawanya karena belum hanya tidur beberapa jam semalam.             “Lo beneran belum tau?” tanya Nadia, tidak langsung ke permasalahan utama.             “Don’t beat around the bush, please.”             “Iya, sorry. Lo putus ya sama Gibran?” tanya Nadia akhirnya.             “Putus? Jadian aja enggak,” jawab Saira malas-malasan. Ia sedang tidak ingin membahas tentang Gibran. Sudah satu minggu sejak Gibran menjelaskan semuanya dan mereka tidak lagi saling sapa, bertukar pesan, atau menelepon satu sama lain. Ia sudah sangat merindukan kakak kelasnya itu. Namun, Saira menahan rasa rindunya karena menghargai keputusan Gibran. Kalender di smartphone-nya pun sudah ia tandai sampai hari seleksi Gibran. Hanya tujuh bulan sampai hari penentuan itu tiba. Sampai waktu itu, Gibran dan Saira berjanji untuk tidak terlalu instens berkomunikasi.             “Hah, gosipnya bener?” Nadia bertanya dengan nada kaget.             Kantuk Saira otomatis langsung hilang begitu mendengar pertanyaan Nadia. Saira, seorang yang tidak pernah sama sekali menjadi spotlight, tiba-tiba saja menjadi pusat perhatian dan dibicarakan dimana.             “Gosip apa sih?” tuntut Saira dengan perasaan khawatir yang mulai menyelimuti dirinya.             “Kata orang-orang, Gibran cuma manfaatin lo. Terus sekarang dia ninggalin lo,” jawab Nadia dengan tidak enak hati. Ia mengucapkan kata demi kata dengan hati-hati.             Saira langsung takut. Ia tiba-tiba merasa tidak ingin keluar dari kelas dan tidak ingin bertemu siapa-siapa. Ia ingin segera pulang ke rumah. “Terus?” Saira mencoba mengorek lebih banyak lagi dari Nadia.             “Tapi anak-anak semua support lo kok, bukan support Gibran. Apalagi lo itu korban Gibran yang paling lama,” tambah Nadia lagi.               “Korban???” Saira tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Entah dari mana cerita itu berasal.             Nadia mengangguk dengan wajah takut. Baru saat itu ia mendengar Saira bicara dengan nada tinggi. Ia sedikit mundur dari tempatnya berdiri sekarang. Saira menyadari responnya barusan berlebihan. Ia mencoba mengendalikan diri.             “Korban gimana maksudnya?” tanya Saira pelan. Kemudian dia lanjut meminta dengan nada memelas, “coba ceritain yang lengkap, dong!”             “Lo juga cerita dong sebenarnya lo sama Gibran gimana,” Nadia balik meminta.             “Iya,” Saira berjanji.             Setelah kesepakatan bertukar cerita antara Saira dan Nadia telah jelas, Nadia mulai menceritakan rumor yang saat ini beredar mengenai Saira dan Gibran. Ternyata kenyataan mengenai keadaan ekonomi keluarga Gibran telah diketahui satu sekolah. Awalnya itu hanya jadi rahasia umum di angkatan Gibran, namun karena berita tentang Gibran mencampakkan Saira bergitu saja, hal ini menjadi terbongkar hingga ke satu sekolah.             Semua orang menganggap Gibran, si kapten basket yang merupakan anak penjual roti goreng di sekolah adalah seorang playboy yang memanfaatkan ketenarannya untuk mendekati siswi-siswi Pelita Mulia dan memanfaatkan uang mereka. Dan Gibran akan meninggalkan korbannya itu saat ia sudah punya target lain. Konon, Saira adalah salah satunya korbannya—yang paling lama—dan kini sudah dicampakkan, meskipun target selanjutnya belum diketahui.             “Astagah Nadiaaaa!” Saira langsung meledak lagi. Kepalanya tiba-tiba pening. Ia tidak tau bagaimana harus memproses cerita Nadia yang ternyata kini sedang menjadi topik pembicaraan di sekolah. Dan apa yang dimaksud dengan korban?             “Nad, gue bahkan gak pernah keluarin uang selama kenal sama Kak Gibran. Gue gak ngerti apa maksudnya korban?” ujar Saira dengan perasaan yang tidak karuan. Ia khawatir pada Gibran saat ini. Semua orang mengetahui keadaannya dan menyalahkannya.             “Jadi itu bohong?”             “Ya jelas bohonglah! Kak Gibran gak kayak gitu orangnya!” kata Saira tak sabar. Ia membela Gibran terang-terangan.             “Ya ampun, padahal stand Bu Dewi sekarang jadi sepi gara-gara gosip itu,” kata Nadia ikut khawatir. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya.             “Serius???”             “Iya! Ceritain dong, lo sama Gibran gimana?” kini Nadia menuntut Saira.             “Ya gue sama Kak Gibran cuma teman deket aja. Kita gak jadian. Dan gue bukan korban, Kak Gibran juga gak mungkin jahat kayak gitu!” Saira menjelaskan lagi. Amarahnya mempengaruhinya sekarang.             Saira segera mengambil handphone-nya. Ia ingin menghubungi Gibran secepat yang ia bisa. Sebentar lagi bel masuk berbunyi, Saira memeriksa jam dinding dan mendapati bahwa ia masih punya waktu sepuluh menit lagi sampai jam pelajaran berikutnya dimulai. Saira: kak gibs Gibran: saira             Pesan singkat dari Saira langsung dibalas detik itu juga oleh Gibran. Saira menarik napas panjang. Ia tidak tau harus menjawab apa dan mulai dari mana. Di luar kelas, ia mendengar suara gemuruh orang berlari dengan kencang. Namun Saira mengabaikannya karena sedang fokus pada layar telepon genggamnya.             “Saira!” Saira mendengar suaranya dipanggil dengan kencang oleh orang yang tidak asing. Pemilik suara itu adalah orang yang baru saja dibicarakan oleh Nadia dan kini sedang dibicarakan oleh seisi sekolah.             Saira menoleh ke asal suara. Ada Gibran di sana. Entah kenapa ia ingin menangis karena membayangkan perasaan Gibran saat ini. Ia tau bahwa Ibu Dewi—ibu kandung Gibran—belum sembuh betul, dan semua yang terjadi pada Gibran belakangan ini tampaknya sudah terlalu berat tanpa harus ditambah dengan rumor yang tidak jelas dan menyebabkan penjualan roti goreng terkena imbasnya.             Melihat Gibran, Saira berlari keluar untuk menemui Gibran. Ia harus memastikan kakak kelasnya itu baik-baik saja.             “Kak Gibran,” panggil Saira yang diiringi dengan air mata yang mengalir tanpa ia sadari.             “Saira kenapa?” tanya Gibran sembari menurunkan kepalanya sampai setinggi kepala Saira.             “Orang-orang bilang….” Saira tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.             “Saira. Jangan percaya, ya? Gue gak ada niat apapun sejak awal. You know that, right?”             Saira mengangguk.             “Gue belum pernah dekat sama siapa-siapa. Saira yang pertama. Gak ada yang sebelumnya, gak ada yang selanjutnya,” kata Gibran dengan suara bergetar. Kedua tangannya memegang lengan Saira di kanan dan kiri.             Saira mulai mengendalikan tangisnya dan mencoba bebicara, “Kak Gibran gak apa-apa?”             “Gue udah biasa diomongin orang. Cuma baru kali ini dijelekin sih.” Gibran tersenyum kecut. Ia kemudian menyeka air mata Saira.             “Saira akan bilang ke semua temen-temen Saira kalau gosipnya gak bener. Saira janji, Kak.”             “Iya, gak apa-apa. Gue masih sehat-sehat aja….”             “Kantin katanya…”             “Apa?”             “Katanya roti goreng ibu jadi sepi?” tanya Saira denan perasaan tidak enak.             “Masa sih? Kebetulan mungkin, Sar. Nanti juga anak-anak kangen lagi sama roti goreng ibu. Roti goreng ibu kan enak,” sahut Gibran. Sepertinya ia berusaha menenangkan dirinya sendiri.             Saira mengangguk, setuju bahwa roti goreng buatan ibu memang paling enak. Tidak ada yang bisa mengalahkannya.             “Yaudah, sebentar lagi bel. Gue balik ke kelas ya! Jangan nangis. Kalau ada apa-apa chat aja, ya?” Gibran melambaikan tangannya dan berjalan mejauh. Sementara Saira melihat dari arah berlawanan, tampak beberapa anak kelas satu sudah mulai kembali ke kelas. Mereka melihat Gibran dengan pandangan ingin tau. Mereka semua pasti sudah mendengar rumor tidak mengenakkan tentang Saira dan Gibran. Dan kini mereka pasti bertanya-tanya ada apa gerangan Gibran menghampiri Saira ke kelas, apalagi Saira terlihat habis menangis. Maka Saira buru-buru menghapus air matanya.             “Sar, you okay?” tanya Bian yang baru saja kembali ke kelas dan melihat Gibran dari arah kelasnya. Saira pun terlihat habis menangis.             Saira mengangguk, menjawa tanpa suara. Ia masuk ke dalam kelas dengan wajah yang ia usahakan agar terlihat baik-baik saja. Ia juga berusaha keras untuk tersenyum. Saira juga tidak menggubris saat Aliyyah memandanginya dengan khawatir. ***             Rumor mengenai Gibran dan Saira menyebar dengan cepat seantero SMA Pelita Mulia, namun seperti pesan Gibran, Saira tidak ambil pusing dan tidak pernah percaya pada berita yang beredar yang kini sudah ditambah bumbu-bumbu lain agar semakin sedap.             Cerita tambahan juga kerap mewarna rumor di antara mereka. Apalagi terakhir kali berita mengenai Gibran yang menghampir Saira di kelas dan membuat Saira menangis juga tersebar entah siapa dalangnya. Beberapa beranggapan bahwa Gibran marah pada Saira karena perempuan itu mengedarkan isu yang tidak-tidak. Sementara beberapa siswa lain menilai bahwa Saira yang ingin merusak Gibran dan playing victim.             Banyak anak SMA Pelita Mulia tidak tau, bahwa sebenarnya hubungan antara Gibran dan Saira baik-baik saja. Bahkan mereka saling menguatkan satu sama lain dan sibuk pada urusan masing-masing, sampai hari seleksi Gibran tiba.             Sahabat-sahabat Saira seperti Aliyyah, Bian, Nadia, dan seluruh teman sekelas Saira bisa dipercaya. Saira juga selalu mengatakan yang sebenarnya. Tidak ada yang ditutupi, kecuali rencana ia dan Gibran soal seleksi. Saira mengaku bahwa ia dan Gibran tidak lain merupakan teman biasa selama ini.             Orang-orang terdekat Gibran sendiri juga diyakini oleh keduanya bisa menjaga rahasia dan tidak mengurusi isu-isu yang beredar. Kemal dan pacarnya, Maiko selalu berusaha meralat setiap perkataan yang menjelekkan Gibran. Begitu pun beberapa tim basket inti SMA Pelita Mulia dan couch yang selalu bisa Gibran andalkan.             Sayangnya, orang-orang yang mengedarkan rumor tidak berdasar ini selalu berbicara di belakang Saira, Gibran, dan orang-orang kepercayaan mereka. Sehingga kesalahpahaman tidak dapat lagi dihindarkan.             Saira pernah mendengar namanya dijelek-jelekkan di depan matanya sendiri. Saat itu hari sedang terik. Saira berencana membeli air mineral dingin di kantin sekolah dan berjalanlah ia ke sana bersama Sekar, salah satu teman sekelasnya. Sampai di kantin, Saira bisa merasakan tatapan tak suka dari beberapa senior perempuan yang sedang berkumpul di ujung kantin, yang bahkan Saira tidak tau namanya.             Saira berusaha tidak berpikir jelek dan mengabaikan tatapan mereka. Namun, tiba-tiba Sekar mencolek lengan Saira dan berbisik, ”Anak kelas dua itu ngomongin kamu.”             Saira hanya melirik dan berkata, “Biarin aja.”             Sekar menurut. Namun saat Saira dan Sekar hendak keluar dari area kantin, salah satu kumpulan senior perempuan itu berteriak, “Jangan playing victimlah. Kasian kapten basket kita jadi korban. Annoying!”             Seseorang yang lain menanggapi, “Kalo cantik gapapa deh.”             Berikutnya mereka memelankan suara mereka, namun suasana kantin yang sepi saat itu tetap saja membuat Saira bisa mendengarnya.             “Tapi katanya dia selalu pilih-pilih temen tau. Dia itu satu g**g sama anak yang cantik terus sok alim itu.”             “Satunya lagi yang cowok pakai kacamata itu bukan? Yang katanya sering juara esai?”             “Wah, circle-nya gak main-main ya!”             “Cuma dianya sendiri gak ada kelebihan.”             Saira mulai menitikkan air mata. Sekar yang sadar mata Saira berkaca-kaca langsung menariknya dengan tergesa. Namun karena itu, mereka menabrak seseorang.             “Saira! Kenapa?” Kemal muncul bersama Maiko. Maiko langsung bertanya saat dilihatnya Saira meneteskan air mata.             “Gapapa Kak! Duluan ya!” Saira dan Sekar langsung berlari menuju kelas mereka.             Sampai di kelas, Saira menangis dan mengadukan semuanya pada Aliyyah. Sekar meminta maaf karena tidak berani melawan senior mereka.             Soal Gibran lain lagi. Bian pernah bercerita pada Saira bahwa Gibran sering mendapat tatapan sinis dari para siswi SMA Pelita Mulia sejak rumor antara Saira dan Gibran beredar. Beberapa siswa sering menyindir Gibran yang dibalut dengan lelucon. Kebanyakan hal itu datang dari tim cadangan basket SMA Pelita Mulia. Di antara tim cadangan dan tim inti basket mereka ada gap yang membuat tim inti tidak begitu dekat dengan tim cadangan. Beberapa orang di tim cadangan pun jelas-jelas menunjukkan kecemburuan mereka.             Saat itu Bian sedang latihan basket bersama tim inti, tentu saja Gibran, si kapten basket pun hadir. Ternyata couch mengadakan latihan persahabatan antara dua tim itu. Saat waktu break, beberapa anggota tim cadangan mencandai Gibran.             “Beliin minum dong!” kata salah satu dari anggota tim cadangan itu pada anggota tim inti.             “Gak bawa uang. Ada di mobil dompet gue,” jawab si anggota tim inti.             “Minta cewek lo dong. Kan cewek lo nungguin di depan.”             “Gak ah, gaenak.”             “Tau, masa minta cewek bayarin,” salah seoran tim cadangan tiba-tiba menimpali.             “Emangnya gue kapten basket, bisa seenaknya?” salah seorang yang lain ikut-ikutan. Ia juga merupakan anggota tim cadangan.             Mendengar itu, Gibran yang tadinya tida peduli pada pembicaraan mereka, langsung menoleh. Ia berusaha mengendalikan diri, “maksudnya apa nih?” tanyanya sambil tersenyum.             “Enggak capt! Bercanda. Kan kita satu tim, masa gak pernah bercanda,” jawab laki-laki itu mengeles.             Gibran diam saja. Ia tidak menanggapi. Wajahnya kini ketus.             “Eh, tapi ajarin gue dong, capt. Gimana sih caranya?” ternyata anggota tim cadangan yang tidak tau sopan santun itu belum puas menyindir Gibran.             “Cara apa?” tanya Gibran masih bersabar. Bian berusaha menenangkan.             “Ya gitu. Caranya biar ceweknya royal?”             Gibran tertawa. Sebuah tawa yang dipaksakan. “Lo gila ya?”             “Ah, pura-pura nih Gibran,” anak itu masih berusaha bercanda. Namun, seluruh anggota tim inti tau, bahwa Gibran mulai marah.             “Lo masih mau masuk tim? Lo aja bisa jadi cadangan karena gue rekomendasiin ke couch,” kata Gibran mendengus, dengan nada meremehkan. Lalu ia menambakan, “Kalo enggak, bahkan couch gak mau lo masuk club. Lo cuma bisa main basket pas pelajaran olahraga aja. Mau nasib lo kayak Alex?” Kata-kata Gibran mampu membat si anggota tim cadangan ciut. Ia sendiri mungkin sadar bahwa kemampuan basketnya jauh di bawah kualitas tim inti. Dan orang bernama Alex yang disebut Gibran adalah mantan anggota tim basket sekolah. Ia dikeluarkan karena k*******n dengan sesame anggota tim saat latihan.               Setelah Bian menceritakan kisah itu pada Saira, Saira langsung mengirimkan pesan pada Gibran. Saira: kak gibs Gibran: saira Saira: ganbatte Saira: you okay? Gibran: feeling good abis baca chat dr saira Gibran: ganbatte, saira! *** “Saira itu cewek gua!” – Gibran
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN