BAB 22 - PENGAKUAN

2434 Kata
            Seperti biasa, saat hatinya gundah, Saira tidak bisa tidur semalaman dan hanya mengulirkan layar handphone-nya ke atas lalu turun lagi ke bawah. Ia sesekali menonton drama yang ingin ia selesaikan dari aplikasi di telepon genggamnya untuk kemudian ia batalkan keinginannya itu karena ia bahkan tidak bisa fokus pada jalan cerita.             Salman sudah pulang sejak tadi dan sudah tertidur di kamarnya di lantai atas setelah membantu Saira menyelesaikan pekerjaan dapur berupa mencuci piring sehabis mermbuat brownies yang akan diambil besok oleh mobil café.             Fatih pun sama. Setelah pulang dari kampus, Fatih langsung bergegas mandi dan sholat isya di Masjid kemudian makan malam dan naik ke lantai atas. Ia punya segudang tugas kuliah dan juga ia harus bersiap untuk ujian semester yang sebentar lagi akan diadakan. Ia mendadak menjadi Salman versi sedikit lebih santai.             Bunda juga sudah tidak ada suaranya sama sekali. Perempuan itu pasti lelah telah bekerja seharian dan langsung mandi dan tidur saat pulang. Ia bahkan tidak sempat menanyaka mengenai keadaan anak-anaknya hari ini. Dan dari ketiga anaknya, tidak ada satupun yang tega untuk menganggu waktu istirahatnya.             Maka tinggallah Saira yang menghabiskan malamnya dengan melamun atau melihat-lihat isi smartphone-nya setelah bertukar pesan singkat dengan Gibran yang mengaku baru pulang dari tempat ia kerja part time iseng. Entah sudah berapa kerja part time iseng yang dikerjakan Gibran, padahal ia sendiri sedang merawat ibunya yang sakit. Saira sudah mengingatkan, namun Gibran bilang ia harus belajar bekerja karena ini juga akan berguna di dunia kerja kelak. Juga, ada beberapa saudara jauh yang membantu Gibran menjaga ibunya di rumah. Saira menurut saja.             Saira mengingat-ingat kembali perbincangannya dengan Gibran di pesan singkat tadi. Sekali lagi, ia merasa hubungannya dengan Gibran lebih dari sekedar senior-junior di sekolah, membuat penasaran bagaimana perasaan Gibran dan sebenarnya apa tujuan Gibran mendekatinya. Gibran: Saira Radu Saira bingung karena nama yang ditulis Gibran bukanlah nama belakangnya, melainkan nama belakang Gibran. Saira: Hah? Gibran: Eh salah Gibran: Saira Bayu Saira: *emot tidak tertarik* why, capt? Gibran: Lg apa? Saira: Abis makan lg baca2 modul aja u/ besok Gibran: semangat belajarnya kalo gt Saira: Kak gibs lg apa? Gibran: br sampai rumah, abis part time Saira: part time dmn? Gibran: msh di café cabang 2 Saira: kak, saira blh nanya ga? Gibran: boleh Saira sebenarnya ingin menanyakan perihal ia yang diminta Gibran untuk bersabar. Bersabar untuk apa? Dan mengapa harus bersabar? Apa yang Gibran harus urus terlebih dahulu? Saira: gak jadi *emot lidah menjulur* Gibran: dasar adik kecil Gibran: gue mau bersih2 dl yaa Saira: ok Gibran: love you Gibran: as friends             Saira tidak membalas lagi. Gibran adalah laki-laki paling tidak jelas baginya saat ini. Apa maksud love you as friends? Namun tiba-tiba Gibran menghubunginya. Saira awalnya tidak mengangkat, namun karena ia pun penasaran, akhirnya mengangkat telepon dari Gibran. Pertahanannya memang lemah sekali.             “Halo,” sambut Saira.             “Saira.”             “Kenapa kak?”             “Marah ya?”             “Enggak.” Saira tau ia sedang berpura-pura bodoh.             “Bercanda gue.”             “Bercanda apa?”             “Bercanda pas bilang as friends.”             “Oh, maksudnya?”             “Kan lo adik kecil.”             Saira sudah tidak semangat meladeni Gibran. Dia bahkan berpikir kenapa bisa dekat dengan lelaki satu itu pada awalnya. Sudah berapa lama ini? Lebih dari enam bulan!             “Iya, Kak Gibs. Santai aja,” jawab Saira pada akhirnya. Lagi. Sama seperti biasanya.             “Oke adik kecil. Gue beberes dulu ya. Terus mau ngerjain tugas sebentar terus tidur. Bye! Selamat beristirahat!” Gibran menutup sambungan teleponnya.             Saira mendengus, dalam hati ia mengeluh. Kakak gue udah banyak, malah nambah satu lagi. Sejak itulah Saira merebahkan badannya di kasur dan mulai mengulir-ulir layar telepon genggamnya hingga lewat jam dua belas malam. Ia hanya dapat tidur selama dua jam untuk kemudian bangun subuh dan bersiap ke sekolah. Namun ia bersyukur sempat tertidur selama dua jam. Karena berkat mimpi itu, ia mendapat ide untuk hari ini. *** Saira: Kak gibs Gibran: Saira! Saira: Nnt latihan basket? Gibran: iya. Ciee hapal schedule gue Saira: bukan dong, kan hapal schedule bian Gibran: bian? *emot sedih* Saira: nnt mau nonton ya Gibran: tonton aja saira, kan free *emot tertawa* ***             Saira berjalan pelan dari kelasnya menuju lapangan basket outdoor yang belakangan ini digunakan oleh anak-anak basket latihan. Ia berjalan bersama Aliyyah yang sedang menenteng beberapa barang bawaan, sementara Bian masih harus ke ruang guru untuk beberapa masalah akademik yang belum selesai. Dan ia berpesan akan terlambat datang latihan karena harus konsultasi dengan Pak Cahyo mengenai kerangka essai yang akan ia tulis, dan juga konsultasi dengan Pak Didi mengenai kontennya. Kali ini ia akan membahas matematika terapan bagi dunia nyata.             “Sar, kayaknya aku gak bisa nemenin kamu nonton basket,” kata Aliyyah saat ia baru saja membuka handphone-nya yang sebelumnya Saira dengar berbunyi.             “Kenapa?” tanya Saira, namun ia sudah tau pasti ada sesuatu di rumah.             “Ummi minta aku pulang cepat. Aku gak tau kenapa,” jawab Aliyyah. Ia menunjukkan wajah tak enak pada Saira.             “It’s okay. Bye, Al.” Saira mengangkat tangan kanannya hendak untuk melambaikannya, tanda mengucapkan perpisahan.             Aliyyah juga mengangkat tangan kanannya yang sudah tidak menggenggam handphone lagi. Ia tersenyum setelah sebelumnya meminta maaf pada Saira. “Bilangin Bian aku pulang duluan, ya.”             Saira mengangguk, Ia tersenyum pahit meski tidak ada apa-apa. Ia hanya teringat pada hubungan antara Bian dan Aliyyah. Meskipun sudah tidak ada apa-apa lagi, Saira sering memergoki Bian sedang memandang Aliyyah dari jauh, dan terkadang teman baiknya itu sengaja terlihat tidak peduli pada Aliyyah. Sementara Aliyyah sering terlihat kecewa dengan sikap Bian, namun ia diam saja. Ia tau kenapa Bian seperti itu. Namun Saira bersyukur, mereka masih bersahabat. Paling tidak di depan Saira, mereka masih sering membicarakan hal ringan dan mengusir kecanggungan.             Tidak lama setelah Aliyyah pergi, Saira melihat seorang laki-laki dengan tubuh tinggi dan rambut cepak berjalan menuju ke arahnya sambil tersenyum. Gibran. Ia sudah berganti pakaian mejadi seragam basket, namun masih menggendong tas punggungnya.             “Adik!” panggil Gibran dengan antusias saat melihat Saira yang berjalan menuju tangga untuk turun.             “Kak Gibs!” Saira balas memanggilnya, dengan antusias yang sama.             “Tadi gue ketemu Aliyyah, kayaknya dia buru-buru gitu.”             “Iya, mau pulang katanya.”             Gibran mengangguk dan matanya berkeliling seperti mencari sesuatu, “Bian mana?”             “Lagi konsul sama Pak Cahyo dan Pak Didi. Mau ikut lomba lagi dia.”             “Wah, hebat ya si Bian tuh. Terus dia gak latihan? Kok gak ngabarin?”             “Latihan, cuma katanya akan telat.”             “Saira tau banget Bian sih.”             Saira hanya tersenyum tipis dan bicara, “Ya kan deket.”             “Yah, kalo Saira deketnya sama Bian, gue deket sama siapa dong,” kata Gibran. Ia berpura-pura cemberut.             “I won’t fall victim to your old trick, Kak,” kata Saira dengan nada datar.             “Hah? Emang gue ngapain?”             “Gak apa-apa.”             “Saira, wait.” Gibran menghentikan langkahnya dan langkah Saira. Ia berdiri tepat di hadapan Saira dan tengah memegang kedua lengan Saira. Ia memastikan Saira tidak kemana-mana. “Saira kenapa? Ada masalah?” tanya Gibran.             Tidak ada lagi satu murid pun di gedung kelas satu. Hanya Gibran dan Saira yang kini sedang berhadapan. Beberapa langkah lagi mereka seharusnya sudah turun dari tangga, namun langkah mereka terhenti karena Gibran tidak mau beranjak kecuali Saira bercerita tentang perubahan sikapnya har ini.             Mereka kini sedang berhadapan dan memadangi satu sama lain. Si lelaki bertubuh tinggi dengan rambut cepak bertanya-tanya, sementara wanita bertubuh kecil yang membuatnya lebih muda dari usianya sedang ragu.             “Kak, maafin Saira ya. Kayaknya Saira suka sama Kak Gibran,” ucap Saira pelan dan penuh kerapuhan. Siapa pun yang mendengar suaranya akan tau bahwa Saira tidak bercanda dan ia dipenuhi rasa takut karena kemungkinan yang menanti setelah pengakuan ini.             Gibran diam. Ia masih memegangi kedua lengan Saira dan tidak bergerak sama sekali. Ia sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu ia menarik napas dan menghembuskannya kemudian. Ia mulai tersenyum. Senyum seperti yang biasa dia tunjukkan pada Saira, perempuan yang ia panggil sebagai adik kecilnya.             “Gue juga suka sama Saira,” kata Gibran memberi respon. Tangan kanannya kemudian naik ke atas kepala Saira dan mulai mengacaknya. “Saira kan adik kecil gue,” kata Gibran lagi.             Saira sudah tau ini akan terjadi. Dia sudah tau Gibran lagi-lagi akan mengalihkan obrolan mereka dan ia kemudian akan tidak bisa tidur lagi malam nanti. Namun kali ini Saira sudah tau harus apa. Ia memegang tangan kanan Gibran yang kini sedang sibuk mengacak rambutnya, dan menghentikan lelaki itu. Ia menurunkan tangan Gibran dengan pelan dan mencoba melengkungkan bibirnya membentuk senyum. Kalau setelah ini Gibran menjauh pun gak apa-apa, Saira menenangkan dirinya dalam hati.             “Bukan suka kayak gitu yang gue maksud, Kak. Gue suka sama Kak Gibran kayak cewek-cewek lain yang dulu Kak Gibran bilang salah sangka. Suka kayak Bian ke Aliyyah,” kata Saira menjelaskan.             Ia melihat wajah Gibran diam lagi dan mulai tegang. Tidak ada senyum seperti sebelumnya, mungkin ia sudah kehabisan ide untuk mengalihkan omongannya dengan Saira kali ini. Mungkin Gibran tau bahwa setelah ini mereka tidak akan sama lagi.             “Sar,” Gibran mengawali pembicaraan, kemudian ia diam. Saira juga masih memadanginya dengan wajah serius.             “Apa?”             “I like you too. A lot. Maybe more than you do. Tapi gak bisa. Banyak yang harus gue urus,” kata Gibran akhirnya. Kedua tangannya sudah tidak lagi memegang lengan Saira atau pun mengacak rambutnya. Gibran sudah menarik tangannya perlahan tadi ketika Saira mulai serius.             “Hah? Maksudnya apa, Kak?” tanya Saira. Pertanyaannya mulai memburu Gibran.             “Ya gue gak bisa jadian, Sar.” “Jadian?” “Tujuan Saira confess, Saira mau kita jadian kan?” tanya Gibran.             Mata Saira melotot. Ia terkejut dengan perkataan Gibran. Ia tesinggung. This hurts her pride. Saira mendengus, ia tidak percaya terhadap apa yang didengarnya.             “Kak, pasti udah banyak banget ya yang confess sama lo? Even you said? What? Dating?”             “Terus apa kalau bukan karena minta komitmen?” tanya Gibran, sorot matanya seperti menantang. Saira semakin tersinggung. Ia malu. Ia ingin menangis sekarang, tapi harus ia tahan. Ia menggeleng tak percaya. Kemudian ia memberanikan diri dan melepaskan perasaannya. “I can’t do this anymore. Saira juga banyak yang harus diurus. Good luck untuk basketnya, beasiswanya, part time-nya. Saira pulang ya, Kak Gibs.” Saira menyunggingkan bibirnya. Ia tersneyum pahit pada Gibran yang hanya bisa memandangnya. Pandangan Gibran tadi terlihat berapi-api, namung saat Saira pamit, ia tau bahwa kapten basket sekolahnya itu memandangi dirinya tidak percaya. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tertahan. Dan Gibran hanya diam sampai Saira turun dari tangga dan berlari sampai ke gerbang. Saira sempat menoleh, dan Gibran tidak ada di sana. Saira menangis. Saira berlari sampai ke gerbang dan segera memesan ojek online sembari berusaha menyembunyikan tangisannya. Saira tidak sengaja memilih café tempat Salman magang sebagai tempat tujuan, dan baru sadar saat pengendara ojek online itu sudah menjemputnya. Namun Saira tidak peduli. Hal yang terpenting baginya saat ini adalah pergi dari sekolah yang mengingatkannya pada Gibran.             Dalam waktu 20 menit Saira sudah sampai di café tempat Salman magang. Ia segera turun dan motor dan memastikan bahwa ia tidak terlihat habis menangis dengan melihat pantulan wajahnya di kamera depan telepon genggamnya. Saira hendak masuk dan melirik ke parkiran motor, ia mendapati anak yang wajahnya familiar kemarin juga baru saja sampai dan ia turun dari motornya. Sebuah motor gede, bukan motor bebek biasa seperti motor Salman atau Fatih. Anak laki-laki itu masih memakai seragam sekolah—SMA—dan kemeja atasnya dibalut lagi dengan jaket kanvas warna hijau army.             Saira ingin sekali menyapanya, namun ia tidak melakukan itu karena takut anak familiar yang jutek kemarin tidak akan mengingatnya. Lagi pula, hari ini ia memakai seragam sekolah, mungkin saja anak lelaki itu akan pangling.             “Adiknya Mas Salman, kan?” Saira terkejut karena anak lelaki ini menyapanya terlebih dahulu. Ia menunjukan wajah Saira dengan telunjuk kanannya dan bertanya dengan wajah datar.             “Iya,” Saira mengiyakan dan wajahnya masih terkejut.             “Gue yang kemarin. Anak Pak Ali, yang punya café ini,” kata anak yang kemarin bergaya akpol itu memperkenalkan dirinya. Rupanya dia dan Saira berpikiran sama. Mereka mengira satu sama lain akan lupa kejadian kemarin.             “Gue inget kok,” jawab Saira meyakinkan disertai dengan anggukan.             “Oh,” sahut anak laki-laki itu pendek. Ia kemudian berjalan ke kasir dan meminta satu gelas Americano panas tanpa gula dan membuka laptopnya. Saira segera beralih dan memandang berkeliling mencari kakaknya. Namun, tanda-tanda keberadaan Salman tidak ada.             Saira memberanikan diri mendatangi anak berwajah familiar itu dan menyentuhkan ujung telunjuknya ke lengan anak itu dengan takut-takut, membuat anak itu langsung menoleh karena kaget.             Wajahnya penuh tanda tanya disertai dengan ekspresi terkejut yang Saira belum pernah lihat pada orang lain sebelumya. Benar-benar dingin dan ketus.             “Maaf, tau gak Mas Salman dimana?” tanya Saira pelan.             “Apa?” tanya anak itu agak kencang.             “Liat Mas Salman?” Saira mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih kencang.             “Mas Salman gak ke sini katanya hari ini. Nih, gue abis nanya,” jawab anak laki-laki itu dengan intonasi normal dan ia menunjukkan layar handphone-nya pada Saira. Sebuah percakapan lewat pesan singkat ada di sana, namun Saira tidak membacanya dengan jelas karena langsung ditarik kembali oleh anak lelaki itu.             “Lo bilang gue di sini?” tanya Saira.             “Ini, gue lagi bilang.” Anak itu langsung sibuk dengan handphone­-nya seperti sedang mengetik sesuatu.             “Hah?”             “Nih. Mas Salman nyuruh lo pulang,” kata anak itu. Salman pasti sudah membalas pesannya.             “Yaudah deh. Thank you, ya!” Saira berjalan ke bangku lain dan duduk di sana. Setelah memeriksa handphone dan tidak menemukan pesan dari Gibran di sana, Saira menuju kasir dan memesan satu gelas frappucino untuk dibawa pulang.             “Salman nyuruh gue nganter lo pulang.” Si anak lelaki itu menghampiri Saira saat Saira sedang menunggu pesanannya di bangku terdekat.             “Hah? Kenapa?”             “Gak tau. Mau gak?” tanya anak lelaki itu dengan wajah datarnya seperti biasa.             “Coba liat chat-nya!” Saira meminta anak itu untuk menunjukkan chat-nya dengan Salman.             “Lo kira gue bohong?” Anak itu langsung menggerutu, namun tetap menunjukkan layar handphone-nya. Salman: gue baru sampe nih, nan Salman: sini ke rumah gue Salman: bareng adek gue aja sekalian Salman: drpd nyasar             Ternyata Salman menyuruh anak laki-laki ini mengantarnya pulang karena Salman pada dasarnya memang menyuruh anak itu untuk ke rumah. Saira hanya sebagai penujuk jalan.             “Yaudah. Abis minuman gue jadi, ya!” Mengetahui situasi sebenarnya, membuat Saira langsung setuju untuk pulang bersama. *** “Aku capek suka sendirian, Al. Mungkin Kak Gibran cuma iseng.” – Saira 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN