BAB 25 - PENJELASAN

2449 Kata
             Saira terbangun di rumah Aliyyah keesokan harinya tepat saat Aliyyah baru kembali dari kamar mandi setelah berwudhu. Gadis lulusan pesantren itu masuk kamar dengan hati-hati karena tidak ingin menganggu tidur Saira. Mungkin Aliyyah tau Saira kelelahan beberapa hari ini karena memikirkan Gibran dan rutin membuat brownies setiap hari. Kemarin ia mendapat waktu istirahat karena hari ini café akan buka agak sore, jadi Saira bisa membuatnya siang nanti sebelum diambil oleh mobil café.             “Saira, udah bangun? Baru mau aku bangunin. Wudhu gih, kita sholat jamaah, ya?” ajak Aliyyah saat melihat Saira yang terbangun dan menoleh saat Aliyyah membuka pintu sehabis dari toilet.             Selama beberapa saat Saira melihat Aliyyah, dan ia sadar mengapa banyak sekali anak laki-laki yang mengincarnya, begitu juga Bian yang sepertinya tidak bisa begitu saja melupakan Aliyyah. Aliyyah adalah anak yang cantik, bahkan saat lampu kamar mati dan hanya diterangi oleh lampu tidur yang redup, Saira masih bisa melihat seolah ada cahaya langsung dari wajahnya. Di samping kenyataan bahwa Aliyyah memang memiliki kulit terang.             Mengetahui Aliyyah menunggunya untuk berwudhu, Saira berjalan gontai dari kamar menuju toilet, kemudian sholat berjamaah dengan Aliyyah.             Selesai sholat Aliyyah langsung turun ke lantai bawah dan mempersilahkan Saira beristirahat. Ia bilang ia akan ke bawah dan memasak sarapan sederhana, kemudian memanggil Saira. Awalnya Saira menolak dan bilang bahwa ia yang akan membuat sarapan sebagai tamu yang sopan, namun Aliyyah lebih menolak lagi karena ingin menjadi tuan rumah yang baik. Saira kalah, ia tinggal di kamar sementara Aliyyah turun.             Sendirian di kamar Aliyyah membuat Saira kembali memikirkan Gibran. Apa iya Gibran akan datang ke rumahnya hari ini? Lalu setelah itu? Saira bahkan tidak tau untuk apa Gibran datang. Saira memandang jendela kamar dan mengintip sedikit keluar, dan dilihatnya pemandangan percikan air hujan yang turun dengan deras di luar. Sebuah pemandangan yang tiba-tiba membuatnya menyelusuri satu hal dari sekian banyak yang pernah ia dan Gibran lewatkan selama lebih dari enam bulan.             Saat itu sedang ujian tengah sementer. Saira datang pagi-pagi sekali sehingga belum banyak siswa yang sudah sampai. Namun sayangnya saat itu turun hujan deras sekali, sehingga Saira yang saat itu pergi ke sekolah dengan menggunakan ojek online sampai di sekolah dalam keadaan basah kuyup. Ia kesal dan menangis sampai di sekolah.             Dari kejauhan saat melihat Saira di gerbang, Gibran sudah berlari dengan membawa payung yang ia akui ia simpan di dekat ruang peralatan olahraga. Dan beruntunglah saat itu ia sedang membawa kartu akses untuk masuk ruang olahraga milik ketua kelasnya.             “Saira, kamu basah kuyup!” kata Gibran langsung memayungi Saira.             “Gausah dipayungin Kak, udah basah kuyup!” kata Saira dengan nada seperti orang marah yang kesal pada keadaan.             Gibran menuntun Saira dan menyuruhnya duduk di kursi terdekat. Ia membuka jaket yang ia kenakan dan Saira melihatnya belum memakai kemeja putih yang merupakan seragam mereka hari itu. Lelaki itu membuka tas yang ia ambil sebelumnya dari kantin—entah kenapa bisa ada di kantin—dan mengeluarkan kemeja putih miliknya.             “Nih, pakai ini. Nanti lo masuk angin!”             “Kak Gibran pakai apa?” Saira bertanya. Ia tau bahwa semua siswa dilarang mengikuti ujian jika tidak memakai seragam.             “Gampang. Ada lagi, kok. Udah buruan pakai!”             Kemudian Saira menurut saja dan mengganti kemejanya dengan kemeja milik Gibran di kamar mandi terdekat. Lalu, saat kembali dari kamar mandi, ia tidak bisa menemukan Gibran sampai jam bel masuk berbunyi.             Besoknya barulah Saira tau apa yang Gibran lakukan. Saat Saira ke kamar mandi, lelaki itu segera ke ruang peralatan olahraga dan mengambil satu baju seragam bekas yang ditinggalkan salah satu alumni sekolah saat ia mengganti bajunya setelah bermain basket dan lupa untuk mengambilnya kembali. Diperkirakan baju itu sudah berumur 10 tahun, dan ditinggalkan dalam keadaan basah karena keringat tentu saja membuat baju itu menimbulkan bau yang tidak sedap. Gibran sempat menghubungi Kemal untuk dibawakan parfum khas arab yang aromanya menyengat, namun itu membuat aroma yang ditimbulkan Gibran semakin buruk!             Hari itu Gibran tidak lagi menampakkan diri di depan Saira. Ia merasa bau baju itu telah meresap sampai ke tulang. Ia harus mandi. Saira pun sama, saat pesannya hanya dibalas oleh Gibran dengan, “bajunya bawa pulang aja, besok baru balikin,”  Saira langsung pulang. Ia malu karena bajunya kebesaran dan membuatnya merasa seperti ondel-ondel.             Keesokan harinya barulah Saira tau dari cerita orang-orang. Beredar kabar bahwa baju yang ia kenakan adalah milik Gibran—karena kebesaran—dan aroma tubuh Gibran berasal dari kemeja bekas yang ia ambil dari gudang. Gibran dan Saira yakin bahwa itu bukan kabar burung. Melaikan berita yang sengaja Kemal sebarkan. Hanya ia yang tau kejadian di hari itu!             Saira mengingat-ingat sambil tertawa sendiri. Ia rindu pada kakak kelasnya itu. Biasanya di Sabtu pagi, Gibran selalu mengirimkan pesan selamat pagi disertai dengan pertanyaan, “belum bangun ya?” sebagai caranya untuk meledek Saira. Saira sudah hapal dan tidak pernah kesal.             Tanpa disadari, Saira reflek mengambil handphone­-nya dan menghidupkannya. Beberapa pesan singkat dan notifikasi missed call masuk berurutan. Saira menemukan beberapa dari Gibran dan yang lain dari bunda, Salman, atau Fatih. Gibran: pagi saira (06.00) Gibran: saira (06.15) Gibran: mau dijemput aja dr rmh aliyyah? (06.30) Bunda: jgn lupa subuh ya sayang (04.40) Bunda: pulang sama siapa? Mas faith jemput ya (06:00) 3 missedcalls from Bunda Salman: bsk pulang jam brp? Jgn lupa bikin browniesnya (yesterday, 22.00) Salman: pulang sama siapa? Bunda nyuruh jemput (06.00) 1 missedcall from Mas Salman Faith: salam buat Aliyyah (yesterday, 20:00) Fatih: bercanda sis, jgn disalamin (yesterday, 20.00) Faith: pulang sama siapa? Bunda nyuruh jemput bsk (yesterday, 22.30)             Saira tertawa membaca pesan dari Fatih kemarin. Namun ia memang tidak akan menyampaikannya pada Aliyyah meskipun Fatih menyuruhnya dengan serius. Saira entah mengapa tau bahwa Aliyyah tidak akan menyukai Fatih dan nasib Fatih akan sama dengan Bian kemarin. Kakak keduanya itu akan ditolak. Ia berharap Fatih hanya bercanda selama ini.             Saat sedang membalas pesan dari bunda dan kedua kakaknya, Aliyyah tiba-tiba membuka pintu dan mengajak Saira turun karena sarapan sederhana yang ia janjikan ternyata sudah siap. Saira mengangguk saat Aliyyah menyuruhnya turun untuk sarapan dan berjanji akan turun setelah membereskan beberapa barangnya untuk pulang nanti. Aliyyah turun duluan.             Bukannya membereskan barang-barang pribadi untuk pulang nanti, Saira memang berniat untuk membereskan kamar Aliyyah. Sebagai tamu ia sudah dijamu dengan makanan enak, dibuatkan sarapan, dan semua kebaikan dan kata-kata baik Aliyyah. Paling tidak ia harus membereskan kamar.             Saira menemukan sebuah n****+ yang ia ingat adalah n****+ yang ia rekomendasikan pada Bian sebagai kado ulang tahun Aliyyah. n****+ berjudul “Di Atas Sajadah Cinta” karangan Habiburrahman El Shirazy yang terkenal sebagai penulis n****+ romansa islami itu tergeletak di atas meja belajar Aliyyah seperti habis dibaca. Saira penasaran Aliyyah sudah membaca sampai mana, karena hadiah itu sudah lama diberikan. Ia dengan perlahan membuka n****+ itu dan tertulis di halaman depan, “Aliyyah Omar” dan sebuah tipografi huruf A yang sangat indah. Saira yakin tipografi itu buatan Aliyyah sendiri.             Kemudian, di antara halaman-halaman n****+ tebal itu terselip sebuah gambar Aliyyah, Saira, dan Bian yang diambil dengan menggunakan kamera polaroid saat mereka bertiga merayakan kemenangan Bian atas lomba esainya. Di belakang fotonya tertulis, “Happy Birthday, Aliyyah! Semoga suka novelnya! –Arisbian Haryo.” Bian inisialnya A juga ya? Tanya Saira dalam hati seperti menyadari sesuatu. Namun ia tidak memikirkannya lebih jauh. Ia cepat-cepat membereskan kamar Aliyyah dan turun untuk sarapan. ***             Seorang laki-laki dengan tubuh tinggi dan tegap, wajah yang tidak terlalu tampan namun memiliki tatapan mata jenaka nan teduh serta bola mata dengan lingkaran sempurna berjalan dari halte Trans Jakarta terdekat menuju pintu gerbang Perumahan Baguette Village. Ia tidak membawa kendaraan apapun. Motor tua satu-satunya yang merupakan peninggalan almarhum ayahnya telah ia jual untuk biaya pengobatan ibunya di rumah sakit. Ternyata beberapa pekerjaan paruh waktu sebagai pelayan di café dan toko-toko kue yang ia ambil tidak cukup untuk melunasi semua tagihan rumah sakit. Dan ibunya yang hanya seorang penjual roti goreng di kantin tempat ia bersekolah, tidak memiliki tabungan yang cukup untuk pengeluaran tak terduga seperti rumah sakit. Ia bahkan bisa bersekolah karena kemampuannya bermain basket, membuat sekolah elitnya mau memberi beasiswa dan menawarkan kesempatan-kesempatan menjanjikan lainnya.             Laki-laki itu akhirnya sampai di depan rumah tingkat dua yang ia tuju. Ia masuk dan menemukan pemilik rumah yang ia ketahui sebagai anak pertama, sedang kedatangan tamu. Tamunya adalah seorang anak laki-laki seumuran dirinya dan berambut cepak. Anak laki-laki itu memakai jaket kanvas coklat dan celana chino warna senada.             Saat hendak masuk rumah, ia mendengar anak laki-laki itu bertanya pada pemilik rumah, “Saira mana?”             “Lo kangen sama adek gue?” tanya si pemilik rumah.             “Ya enggaklah Mas. Cuma kemarin pas gua anter pulang dia kayak gak tau jalan. Aneh banget,” kata anak dengan rambut cepak dan jaket kanvas tadi.             “Assalamualaikum!” Lelaki dengan tubuh tinggi itu cepat-cepat mengucapkan salam. Ia tidak ingin mendengarkan pembicaraan dua orang ini lebih lama lagi.             Si pemilik rumah langsung sadar bahwa ada tamu lain, ia segera menghampiri dan menyuruhnya laki-laki yang sedikit berkeringat karena berjalan kaki tadi masuk. “Eh, Gibran? Nyari Saira ya?”             “Iya, Mas.”             “Katanya dia bentar lagi pulang. Tunggu aja ya?”             “Iya, Mas.”             Si pemilik rumah segera ke dapur dan mengambil minum untuk tamunya, dan tamu adiknya. ***             “Assalamualaikum. Saira pulang!” Saira sampai di depan rumahnya dengan menggunakan taksi online karena sedang malam panas-panasan menggunakan motor. Sementara ia menolak tawaran dua kakaknya untuk dijemput, karena memang ingin pulang sendiri.             “Waalaikumsalam warohmatullah,” suara yang tidak asing bagi Saira menjawab salamnya. Suara Gibran.             Sebenarnya ia sudah bertanya-tanya apakah Gibran jadi datang ke rumahnya atau belum. Namun ternyata lelaki itu sampai lebih dulu.             “Hai, Kak,” kata Saira ramah. Ia meletakkan semua barang bawaannya di kamar dan kembali lagi keluar menemui Gibran.             “Dari tadi gak ada orang di rumah?” tanya Saira saat mendapati rumahnya kosong.             “Tadi ada Mas Salman, tapi kayaknya tadi keluar sama…” kata-kata Gibran terhenti.             “Sama siapa?” tanya Saira.             “Sama orang yang nganter Saira kemarin.”             “Hah maksudnya?” Saira bertanya tak mengerti.             Gibran tersenyum, “Lupain aja,” katanya.             Saira tidak lanjut bertanya. Ia duduk di sofa di seberang Gibran setelah sebelumnya menyadari bahwa lampu kamar bunda yang tadinya padam, kini sudah dinyalakan. Tandanya bunda ada di kamarnya sejak tadi.             “Jadi?” tanya Saira. Ia menuntut Gibran untuk bicara.             “Gue bukan siapa-siapa, Sar.” Gibran mencoba mengawali penjelesannya dengan cara yang membuata Saira bingung.             “Maksudnya?”             “Gue suka sama Saira. Tapi gue bukan siapa-siapa. Kita beda level, Sar,” kata Gibran. “Gue dari keluarga biasa, yang super sederhana. Gue bahkan bisa sekolah di Pelita Mulia karena bisa main basket, jadi dapat beasiswa. Kalau enggak, ibu gak akan mampu sekolahin gue di Pelita Mulia. Ibu gue itu…”             Saira diam. Ia menunggu Gibran melanjutkan pembicaraannya.             “Saira kenal ibu, kok,” kata Gibran.             Mata Saira membesar karena kaget, “Siapa? Siapa ibunya Kak Gibran?”             “Ibu jual roti goreng di kantin sekolah,” jawab Gibran.             “Ibu Dewi?” tanya Saira setelah mengingat-ingat nama ibu penjual roti goreng yang stand-nya selalu ramai. Ia juga mengingat-ingat bahwa Gibran sering sekali memberinya roti goreng dari stand Ibu Dewi. Kini Saira tau alasannya.             “Iya. Ibu juga kenal sama Saira, loh. Kata ibu, Saira anaknya sopan. Gue cerita kalo kita deket. Dia seneng banget, tapi dia khawatir kalo lo malu,” Gibran menunduk. “Jadi gue bilang lo udah tau tentang keadaan gue sama ibu.”             “Malu kenapa? Emang menurut lo, gue orang yang kayak gitu ya?”             “Just in case…”             “Terus, apa hubungannya sama pertanyaan gue waktu itu, Kak?” Saira mengecilkan suaranya meskipun ia yakin obrolan mereka tidak akan terdengar sampai kamar bunda.             “Pertanyaan apa?”             “Kak Gibran bilang ada yang harus diurus. Ngurusin apa?”             “Saira inget kan kalo gue akan ada seleksi masuk Univ Pelita Mulia?”             “Iya.”             “Rencana gue, setelah gue udah pasti keterima di sana, gue baru berani ngajak Saira jadian. Itu pun kalo Saira mau.”             “Apa hubungannya sama keterima Pelita Mulia? Takut ganggu belajar?” tanya Saira, ia benar-benar bingung.             “Karena kalau gak keterima, gue gak akan ada kesempatan kuliah. Setelah lulus SMA gue harus langsung cari kerja. Yang pasti tetap gak cocok sama keluarga Saira yang berada.”             Saira mengerti. Kini Saira benar-benar mengerti maksud Gibran. Kapten basket di depannya ini merasa harus memiliki masa depan yang pasti untuk menjadikan Saira pacarnya. Ia selama ini diam karena belum merasa pantas.             “Jangan anggap gue buruk lagi ya, Kak. Bunda dan kakak-kakak gue orangnya baik. Kita gak pernah anggap jelek tentang orang lain. Apalagi cuma karena uang, pekerja, posisi...” pinta Saira.             “Maafin gue ya, Sar?”             “Gak salah, kok. Maafin gue juga ya, Kak?” Saira tersenyum malu. Ia malu pada Gibran, sekaligus merasa tak enak hati.             “Iya. Penjelasan gue diterima, kan?”             “Diterima dong,” kata Saira. Ia kembali menjad adik kecil Gibran yang biasanya. “Kalo gitu, Saira ikutin rencanan Kak Gibs ya?”             Gibran tersenyum mendengar Saira memanggilnya Gibs lagi. Ia suka panggilan itu keluar dari mulut Saira.             “Apa?”             “See you later? After the selection?” Yang Saira maksud adalah hasil dari seleksi masuk Universitas Pelita Mulia melalui pertandingan basket nanti.             “Oke!” Gibran mengacak rambut Saira seperti biasanya.             Sebenernya tanpa diterima di Universitas Pelita Mulia pun gue mau aja kalo Kak Gibran nembak, kata Saira dalam hati.             “Kak Gibs, sebenarnya…” kata-kata Saira menggantung.             “Apa?”             “Enggak. Gak jadi,” kata Saira berubah pikiran. Ia akan membiarkan Gibran dengan rencananya. Mereka masih bisa berteman. Toh paling tidak, Saira tau bahwa perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.             “Gue pulang ya, Sar? Ibu sendirian di rumah.” Gibran bangun dari tempat duduknya dan pamit pada Saira. Saira buru-buru mengangguk dan melambaikan tangan. Ia juga mengantar Gibran sampai pagar rumahnya.             “Motor Kak Gibs belum keluar bengkel?” tanya Saira saat melihat Gibran tidak membawa kendaraan.             “Oh iya, lupa. Gue kerja part-time di beberapa café sama toko kue sebenernya untuk biaya rumah sakit ibu. Motor juga bukan masuk bengkel, tapi gue jual buat bayar rumah sakit. Maaf ya, udah bohong waktu itu,” jelas Gibran.             “Iya, gapapa. Hati-hati di jalan, ya! Nanti kalau sampai rumah, kabarin ya?” tanya Saira ragu.             “Ehm… oke nati kalau sampai rumah gue kabarin. Tapi, mungkin gue gak akan sesering dulu ganggu Saira,” kata Gibran.             Saira berpikir, kemudian menjawab, “Oke.”             “Oh iya, lupa.” Gibran membalikkan badannya yang sudah hampir mejauh dari rumah.             “Apa lagi?” tanya Saira sambil tertawa.             “Gue gak pernah deketin siapa-siapa kecuali Saira. Saira yang pertama.” *** “…” – Saira
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN